Sistem matriarki yang
terbayangkan sebelum mengunjungi kabupaten ini, saya dibayangi banyak sekali
pertanyaan tentang pola hidup mereka. Di tengah kehidupan masyarakat Kota
Kupang yang hidup dengan budaya patriarki, bayangan tentang budaya matriarki
mungkin berbeda dengan kekuasaan seutuhnya berada pada kaum perempuan. Apalagi
banyak sekali pejuang-pejuang hak perempuan yang dilakukan di Kota Kupang yang
aktif berjuang. Situasi ini menambah rasa penasaran saya akan sistem
matriarki di Malaka. Akhirnya, saya memutuskan untuk melakukan pengamatan pola
hidup masyarakat di Malaka.
Setelah seminggu di
Malaka, saya mengamati pola hidup masyarakatnya. Perempuan memang memiliki
posisi penting dalam masyarakat. Dengan kekuasaan penuh atas warisan orang tua
seperti tanah, hak atas keturunan dan dalam tradisi adat. Bahkan saat seorang
pria yang ingin menikahi perempuan Malaka harus menaati tradisi di Malaka,
yaitu “nikah masuk”. Tradisi untuk mengharuskan laki-laki menjadi bagian dari
keluarga perempuan dan tinggal di rumah perempuan. Begitupun hak atas
keturunan, anak-anak harus mengikuti marga Ibunya.
Kekuasaan perempuan
hanya akan nampak jelas pada akta tanah dan ritual adat, tapi tidak dalam
kehidupan sehari-hari. Perempuan Malaka melaksanakan “peran ganda” yaitu
sebagai Ibu rumah tangga dan berpartisipasi dalam mencari nafkah untuk
pemenuhan kebutuhan keluarga. Apalagi rutinitas dalam rumah seperti memasak,
mencuci dan merawat anak seakan sudah menjadi tugas perempuan. Konsep yang
sering diungkit-ungkit, adalah “kodrat wanita” yang juga merupakan semacam
instrumen untuk membatasi perempuan.
Untuk beberapa daerah,
peran kerja laki-laki dan perempuan seakan tidak ada lagi batasnya. Laki-laki
bisa mengerjakan pekerjaan memasak, mencuci, merawat anak dan menenun walaupun
tidak banyak yang melakukannya. Dalam hal berladang dan bertani, laki-laki dan
perempuan sama-sama bekerja untuk menggarap ladang. Laki-laki mempersiapkan
lahan, menanam dan juga memanen. Sedangkan perempuan akan terlibat saat mulai
menanam dan memanen. Kesetaraan peran mulai terlihat di Malaka walaupun belum
terlalu menunjukkan perubahan yang signifikan.
Perempuan Malaka pernah
berjuang untuk mempertahankan martabat dan kehormatannya melawan perbudakan
seks pada saat dijajah oleh Jepang. Salah satu tradisi melawan perbudakan seks
pada zaman penjajahan Jepang terpatri dari tato yang ada di tubuh mereka. Tato
sebagai identitas untuk memperjelas status mereka (status perkawinan). Jika
ditato pada kaki menunjukkan bahwa belum menikah sedangkan tato pada bagian
tangan sebagai identitas yang sudah menikah. Pada zaman penjajahan, perempuan
menyembunyikan status mereka dengan menato lengan dan kaki untuk menyatakan
bahwa mereka sudah menikah. Bukti perjuangan ini masih bisa ditemukan pada
lengan dan kaki perempuan Malaka yang berumur 60 tahun hingga 90 tahun. Untuk
sekarang ini tradisi di Malaka sudah banyak mengalami pergeseran begitupun
tradisi tato sudah tidak dilakukan lagi.