Sama seperti pemilu,
pilkades juga mengandung beragam soal. Di dalamnya para pihak berkepentingan
menyasar pilkades sebagai gelanggang politik yang harus direbut. Sebab itu,
pilkades tak pernah lepas dari hal-hal yang menjadi problem pada pemilu ataupun
pilkada.
Aktor-aktor yang
terlibat dalam pilkada juga pemilu dipastikan akan kembali menyasar proses
demokrasi desa. Satu hal yang pasti mereka sedang menghubungkan jalan bagi
kemenangan di pemilu dan pilkada dengan menguasai para kontestan yang terlibat
dalam pilkades.
Asumsinya sederhana,
mereka yang menang di desa tentu memiliki loyalis pribadi ditambah dengan
perangkat kekuasaan yang dimilikinya. Menguasai hasil demokrasi desa sama
dengan selangkah menguasai konstestasi pilkada dan pemilu di masa depan.
Meskipun kita sama mahfum praktik tersebut membut peta jalan mundur penguatan
demokrasi Indonesia.
Pilkades dan Bayang Politik Uang
Soal ini menjadi
serius, sebab praktik politik uang tak hanya menyasar pemilu juga pilkada.
Kontestasi perebutan kekuasaan di desa juga tak kalah menjadi perbincangan
publik bagaimana politik uang memiliki daya tekan dalam proses pilkades.
Problem data pemilih di
desa, netralitas ASN, aparat desa, juga politik uang menjadi soal yang mengiris
proses demokratisasi desa. Problem itu setidaknya turut muncul dari problem
Undang-Undang Desa, Peraturan Menteri Dalam Negeri, sampai Perbup Pilkades.
Misal tidak terang bagaimana politik uang diatur dalam Undang-Undang Desa dan
bagaimana Perbup di berbagai daerah mengatur tentang sanksi administrasi
pembatalan bagi calon yang terbukti terlibat politik uang.
Kuatnya beragam
kepentingan dalam proses pilkades, membuat pilkades perlu menjadi pusat
pembicaraan publik. Proses pilkades yang bermartabat tentu membuat pemilu juga
pilkada menjadi berkualitas. Terbebas dari bayang politik uang, paling tidak
mendatangkan harapan tentang kuatnya demokrasi Indonesia pada masa depan terkhusus
Pemilu dan Pilkada 2024.
Politik uang sebagai
satu bagian dari musuh bebuyutan demokrasi, jika tidak segera diatasi akan
menggerogoti harapan tentang demokrasi yang lebih baik. Politik Uang yang terus
menguat digerakkan oleh kelompok-kelompok yang menganggap kemenangan dalam
kontestasi tertentu harus direbut dengan cara apapun. Tak tanggung-tanggung
mereka yang terlibat dalam ruang ini mengendarai ketaksadaran warga Negara
tentang bahaya laten politik uang.
Para politisi melihat
pilkades sebagai momen membangun kemenangan dalam pemilu dan pilkada pada masa
depan. Sebab itu, melihat pilkades semata perebutan kepemimpinan di tingkat
desa adalah kurang tepat. Pilkades setidaknya akan turut andil membangun rupa
kualitas pemilu dan pilkada Indonesia.
Mendorong partisipasi
publik dalam pengawasan proses demokrasi desa memang merupakan satu keharusan.
Namun dalam konsepsi negara hukum demokrasi, partsipasi harus selalu
disandingkan dengan ketersediaan norma yang mengatur secara khusus dan tegas
tentang politik uang dalam pilkades.
Prasyarat ini akan
membuat proses penyelesaian masalah dalam pilkades menjadi lebih mudah,
sekaligus membuat pemerintah daerah tanggap dalam menyelesaikan permaslahan
yang muncul. Partisipasi adalah dari kesadaran objektif warga negara sementara
hukum soal keteraturan yang harus negara sediakan, keduanya tak boleh saling
meniadakan dalam ruang demokrasi. Apalagi beranggapan pilkades kurang “elite”
untuk diperbincangkan.
Menjaga Demokrasi Desa
Soal yang paling serius
dan mendasar, bagaimana desa menjadi sumber kekuatan menyanggah bangunan
demokrasi Indonesia?
Membangun kualitas
pilkades sebelum tahun 2024 sama dengan mendesain kualitas pemilu dan Pilkada
2024. Kesiapan keserentakan pilkades di setiap daerah bukan hanya dilihat dari
bagaimana pelaksanaan itu dapat terselenggara tepat waktu, tetapi pada tahapan
proses terselenggaranya pilkades harus dibangun lewat proses-proses bermartabat
dalam demokrasi.
Sebenarnya para tim
sukses di tingkat desa pada pemilihan atau pemilu adalah wajah-wajah yang sama
yang menjadi tim sukses pada pilkades. Kelompok ini terlibat dalam pemenangan
para kandidat, sebab itu tim sukses dalam proses pilkades selalu akan beririsan
dengan tim sukses yang akan terlibat dalam pilkada maupun dalam proses pemilu.
Aspinal dalam bukunya “Demokrasi For Sale” bahkan menyebutkan
kelompok-kelompok di level Desa tersebut, saat kontestasi pemilihan akan
terbentuk sendiri untuk mendapatkan kesempatan menikmati praktik politik uang
dengan “menghubungkan” para elite dengan pemilih di desanya. Suatu praktik yang
tentu sangat membahayakan demokrasi kita.
Jika proses pilkades
adalah hasil dari proses yang berdaulat maka tentu ketika Pemilu atau Pilkada
2024 para kepala desa itulah yang akan terlibat penuh mengkampayekan
antipolitik uang. Ia membangun politik sadar di masyarakatnya karena mampu
mencontohkan apa yang telah dilaluinya dalam pilkades.
Praktik penyadaran
tentu akan lebih mudah saat menghadapi pilkada dan pemilu oleh Bawaslu dan
lembaga-lembaga pemerhati demokrasi, sebab gagasan pengawasan partisipatif,
antipolitik uang sebelumnya telah tumbuh dalam ruang sosial masyarakat desa.
Pengendali politik uang
di tingkat pilkades harus sudah menjadi percakapan publik, merevisi
Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan membuat norma khusus yang
mengatur tentang politik uang dan pemberian sanksi administratif pembatalan
calon dalam pilkades adalah satu agenda penting menguatkan pemilu dan pilkada
Indonesia.
Dengan kehadiran norma
seperti itu, kekuatan sosial masyarakat di level desa akan semakin menguat
melawan praktik kotor politik uang. Dan tidak menutup kemungkinan perlawanan
terhadap praktik yang merusak demokrasi tersebut akan tumbuh menghiasi
proses-proses pemilu juga pilkada Indonesia. []
****
Tanjakan Beitara
Kamis, 17 November 2022