Korban penyerangan di rumah sakit di Agan dan Makurdi, Benue State Nigeria. |
Dalam sebuah wawancara
dengan ACI Afrika, mitra berita CNA, Pastor Moses Aondover Iorapuu, vikjen
keuskupan, menceritakan penganiayaan “mengerikan” yang dialami umat Katolik
selama serangan itu.
“Gambar-gambar serangan itu mengerikan, dan
saya terus mengatakan bahwa ISIS pun tidak mampu melakukan kebrutalan seperti
itu,” katanya. “Setelah membunuh, orang-orang ini memenggal beberapa kepala dan
mengambil bagian-bagiannya sebagai bukti kepada siapa pun sponsornya.”
Aondover mengatakan
serangan itu terjadi Kamis (19/1) sekitar pukul 9 malam. di sebuah desa dekat
Makurdi, ibu kota Negara Bagian Benue, di mana terdapat kamp pengungsi.
“Sampai malam ini 11
orang tewas, termasuk wanita dan anak-anak, dan banyak dengan luka yang
mengancam jiwa di rumah sakit,” lapornya.
“Hampir semua korban”
serangan itu adalah umat Katolik, katanya, menambahkan, “Para penyerang,
menurut para korban, adalah Fulani, yang menduduki beberapa desa yang telah
mereka tinggalkan dalam serangan sebelumnya.”
Aondover mengkritik
tanggapan yang tertunda dari agen keamanan, dengan mengatakan, “Tanggapan dari
polisi dan militer seperti biasa: kedatangan terlambat yang normal di tempat
kejadian, dan penyerang tetap tidak teridentifikasi.”
Nigeria telah mengalami
ketidakamanan sejak 2009 ketika pemberontakan Boko Haram dimulai dengan tujuan
mengubah negara itu menjadi negara Islam.
Sejak itu, kelompok
tersebut, salah satu kelompok Islam terbesar di Afrika, telah mengatur serangan
teroris tanpa pandang bulu pada berbagai sasaran, termasuk kelompok agama dan
politik serta warga sipil.
Situasi ketidakamanan
di negara Afrika Barat semakin diperumit dengan keterlibatan para gembala
Fulani yang mayoritas Muslim, juga disebut sebagai Milisi Fulani, yang sering
bentrok dengan petani Kristen atas lahan penggembalaan.
Serangan 19 Januari di
desa tersebut membuat penduduk “diusir paksa dari rumah mereka oleh para
gembala ini,” kata Aondover, meratapi “serangan yang tak henti-hentinya tanpa
satu pun penangkapan dan reaksi yang berarti dari pemerintah.”
“Kami merasa sangat
frustrasi dan ditinggalkan oleh pemerintah kami dan komunitas internasional,”
katanya.
Jude Atemanke (Catholic
News Agency)/Frans de Sales, SCJ