Gerakan Memuliakan Pangan Lokal Terus Menguat di Wilayah NTT

Gerakan Memuliakan Pangan Lokal Terus Menguat di Wilayah NTT

Gerakan memuliakan pangan lokal di sejumlah wilayah Nusa Tenggara Timur terus menguat. Upaya itu diharapkan bisa mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras.
Penjual kue putak di Pasar Betun, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, Jumat (20/1/2023) petang. Putak merupakan kue tradisional di Pulau Timor.

 

Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Gerakan untuk kembali memuliakan pangan lokal terus menguat di sejumlah perkampungan di Nusa Tenggara Timur. Makanan lokal juga tak hanya dikonsumsi di rumah, tetapi mulai masuk ke bisnis kuliner seiring meningkatnya minat masyarakat. Upaya itu diharapkan bisa mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras.

Kamilus Tupen Jumat (59), warga Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), misalnya, membuka warung pangan lokal di kebun miliknya. Lokasi kebun itu berada di bawah kaki Gunung Ile Boleng, tepatnya di Desa Honihama.

Sejak tahun 2004, Kamilus bercocok tanam jagung dan umbi-umbian. Hasil cocok tanam itu lalu ia jual ke pasar. Seiring waktu, dia membuka kesempatan kepada pembeli untuk memetik sendiri hasil kebun. Metode yang dinamai dengan ”swalayan kebun” itu berlangsung selama lima tahun belakangan.

Mulai tahun 2022, Kamilus membuka warung makan di kebun tersebut. Makanannya berupa jagung, pisang, umbi-umbian, kelapa, dan berbagai sayuran, seperti bunga pepaya, daun singkong, dan jantung pisang.

”Kalau ada yang pesan ayam atau ikan, itu kami olah secara tradisional, seperti masak di dalam bambu, pepes dengan kelapa, atau kami bakar. Makanan hasil dari kebun masak di kebun dan santap di kebun,” tutur Kamilus saat dihubungi melalui telepon, Minggu (26/3/2023).

Menurut Kamilus, upaya membuka warung makan di kebun bertujuan untuk memuliakan pangan lokal. Salah seorang petani sukses di Adonara itu menyebut, selama beberapa tahun terakhir, pangan lokal seperti ubi atau pisang kian jarang tersaji di meja makan penduduk di daerah itu.

Hal itu terjadi karena banyak orang telah meninggalkan pangan lokal dan memilih mengonsumsi beras. Padahal, daerah itu bukan produsen beras.

Di Kampung O’aem, Kabupaten Kupang, NTT, warga juga mulai kembali mengonsumsi pangan lokal. Kondisi itu terjadi setelah Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (Pikul) gencar melakukan kampanye untuk konsumsi pangan lokal.

”Dulu saat masuk ke sana, kami disajikan mi, padahal di situ banyak sayuran. Pagi hari, mereka hidangkan biskuit saat minum kopi, padahal di situ ada ubi, pisang, dan banyak lagi,” kata aktivis Pikul, Zadrak Mengge.

Menurut Zadrak, selama ini banyak warga menganggap makanan lokal di kampung adalah makanan kelas dua. Sementara itu, makanan dari kota, termasuk beras, dinilai lebih bergengsi. Hal itulah yang mendorong Pikul mengajak masyarakat mencintai makanan lokal.

”Saat mereka hidangkan mi dan biskuit, kami tidak mau makan. Kalau ubi atau pisang, baru kami makan. Di situ mereka mulai tersadar dan mulai bangga dengan makanan mereka sendiri. Makanan mereka tidak kalah dengan makanan orang kota dan malah lebih bergizi dibandingkan olahan pabrik,” ucap Zadrak.

Berdasarkan pemetaan di empat pulau, yakni Lembata, Rote, Sabun, dan sebagian Timor, didapat setidaknya 36 jenis pangan lokal.


Untuk memuliakan kembali makanan lokal, Pikul pun menggelar festival pangan lokal di Kampung O’aem. Berawal dari inisiatif Pikul, kini masyarakat kampung itu menggelar festival sendiri secara mandiri setiap tahun. Festival itu juga mulai diselenggarakan di kampung tetangga. Perilaku masyarakat terhadap pangan lokal pun berubah.

Zadrak memaparkan, NTT kaya akan pangan lokal. Berdasarkan pemetaan di empat pulau, yakni Lembata, Rote, Sabun, dan sebagian Timor, didapat setidaknya 36 jenis pangan lokal. Pangan lokal yang ditemukan itu belum mencakup Pulau Sumba, Flores, Kepulauan Alor, dan sejumlah pulau kecil lainnya.

Menu makan Tuti Lawalu (43) berupa parutan pisang rebus sebagai pengganti nasi, sayur, dan ikan untuk makan malam pada Selasa (21/3/2023). Sudah lebih dari satu tahun, warga Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, itu tidak lagi mengonsumsi nasi.


Sebelumnya, Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan NTT Lecky F Koli mengatakan, pemerintah terus mendorong pengembangan pangan lokal. Dia menyebut, para petani bisa menanam pangan lokal di lahan pertanian yang dibuka pemerintah. Lahan itu sudah dilengkapi prasarana air bersih dan alat pertanian sehingga penanaman tak perlu lagi menunggu musim hujan.

Menurut Lecky, pengembangan pangan lokal penting dilakukan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka produksi beras di NTT pada tahun 2022 sebesar 442.842 ton, sedangkan tingkat konsumsinya mendekati 1 juta ton per tahun. *** kompas.com



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama