Pergantian kurikulum, membuat sekolah
harus menggudangkan buku-buku yang bernuansa K13, bahkan buku-buku tersebut
banyak yang belum sempat dibuka sampunlya. Tentu saja hal ini sangat mubazir.
Ada sekitar 165. 256 sekolah negeri di Indonesia.
Bayangkan saja jika semua sekolah harus menggudangkan buku-buku K13 tersebut,
ada berapa juta buku yang harus dibiarkan rusak di gudang?
Dibiarkan rusak memang istilah yang tepat. Sebab
jumlah buku ribuan yang dimiliki satu sekolah itu hendak dikemanakan? Mau
dijual di pasar loak, siapa yang hendak membeli? Buku-buku itu adalah buku-buku
yang sudah dimasukkan kategori jadul atau "tertinggal dengan kereta".
Kurikulum baru tentu saja berubah secara
keseluruhan. Walaupun Kurikulum Merdeka masih mirip-nmirip K13, namun tetap
saja tidak akan berguna di masa Kurikulum Merdeka ini.
Melihat fenomena mubazir ini, mungkin memang sudah
saatnya sekolah tidak usah lagi memakai buku cetak. Buku digital saja. Terlebih
Kurikulum Merdeka, adalah kurikulum yang menjunjung tinggi model digitalisasi.
Sangat disayangkan uang yang bisa membangun
infrastruktur sekolah, hannya jadi onggokan kertas yang dibuang begitu saja
berupa buku cetak. Pemakaian buku digital akan meminimalisasi potensi
pembuangan jutaan buku cetak jika tiba-tiba saja kurikulum kita berubah lagi
dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Pergantian kepemimpinan dan pemerintahan akan
berlangsung di 2024. Pemimpin baru akan segera menyusun kabinetnya. Visi, misi
dan slogan akan diganti yang tentu saja akan berimbas kepada program-program
prioritas kementerian dan lembaga.
Ada kecenderungan, pemimpin baru tidak mau
meneruskan visi dan misi pemimpin lama. Tentu bisa saja semua program-program
pemimpin lama akan ditenggelamkan. Jadi siapa yang menjamin bahwa pemimpin baru
tidak akan mengganti Kurikulum Merdeka?
Walaupun digencarkan bahwa Kurikulum Merdeka ini
akan menjadi kurikulum nasional di tahun 2024, namun jika menterinya ganti, apa
masih mau memakai program Merdeka Belajar?
Jika itu terjadi, maka buku-buku cetak Kurikulum
Merdeka yang berjumlah jutaan tersebut terpaksa dibuang lagi sebagaimana
buku-buku Kurtilas (Kurikulum 2013) saat ini. Sehingga memang sebaiknya buku
elektronik saja yang disiapkan oleh pihak sekolah.
Cobalah jalan-jalan ke toko buku Gramedia. Buku-buku
paket Kurikulum Merdeka tidak murah, bahkan mencecah angka ratusan ribu untuk
satu buku. Itu baru satu pelajaran. Jika dikalikan sejumlah mata pelajaran,
bisa-bisa menyentuh angka jutaan rupiah.
Pembuangan buku
bisa digolongkan tindakan kekerasan terhadap buku. Jika saja alokasi dana BOS
untuk membeli buku paket mata pelajaran yang umurnya tidak bisa dijamin
tersebut, lebih baik dibelikan buku bacaan saja. Itu akan lebih bermanfaat.
Buku bacaan tidak mengenal musim dan pergantian
kurikulum. Buku bacaan juga lebih disukai siswa ketimbang buku pelajaran yang
begitu membosankan. Buku bacaan berpotensi mendongkrak minat baca siswa.
Jika berkaca dari kasus pembuangan jutaan buku paket
yang dilindas kurikulum baru, maka sebaiknya pihak sekolah mulai memikirkan
agar tidak lagi menggunakan dana BOS untuk melakukan pengadaan buku paket.
Dana BOS sebaiknya digunakan hanya untuk membeli
Buku bacaan untuk meningkatkan minat baca dan kemampuan literasi siswa. Pihak
sekolah, sebaiknya memiliki selera yang bagus dalam membeli buku bacaan siswa.
Agar siswa mau membaca, carilah buku-buku yang bisa menggugah minat baca siswa.
Pengelola perpustakaan sebaiknya ditunjuk guru yang
gemar membaca dan paham buku mana saja yang akan disukai siswa dan mana buku
yang tidak akan pernah dibaca oleh para siswa. Jangan membeli buku-buku bacaan
yang didiskon oleh toko-toko buku karena mutu dan tema di buku-buku tersebut
kurang menarik.
Perpustakaan sekolah tidak usah digunakan untuk
menampung buku paket. Sehingga buku-buku bacaan tertutupi keberadaannya. Buku
paket sebaiknya diurusi oleh guru mata pelajaran yang juga lebih tepat
menggunakan buku digital.
Fenomena buku-buku paket yang dilindas kurikulum
baru, seharusnya menjadi satu pertimbangan untuk para pengambil kebijakan agar
tidak mudah mengganti kurikulum. Kalaupun kurikulum harus berganti, jangan ada
kejadian buku-buku paket menjadi teronggok dan terabai di pojok-pojok gudang
sekolah menanti lapuk dihancurkan oleh waktu.
Sayang sekali, uang negara berjumlah miliaran yang
dipakai untuk membeli buku-buku tersebut—yang bahkan didapat dengan jalan
berutang ke negara lain—hancur dan mubazir karena ketidaksiapan dalam
pergantian kurikulum.
Buku-buku yang disingkirkan tersebut mungkin saja mengandung mutiara-mutiara ilmu pengetahuan yang belum sempat terjamah tangan-tangan mungil penerus bangsa. *** kumparan.com (Waode Nurmuhaemin, Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan)