Bagaimana Nasib Deja Vu Buku Paket pada Setiap Pergantian Kurikulum

Bagaimana Nasib Deja Vu Buku Paket pada Setiap Pergantian Kurikulum



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Dengan diterapkannya Kurikulum Merdeka, maka buku-buku paket Kurikulum 2013 (K13) harus dibuang. Buku-buku tersebut, diadakan di sekolah-sekolah dengan dengan menggunakan dana BOS. Dana BOS yang bisa digunakan untuk membeli buku paket pelajaran dan bacaan dibolehkan sampai dengan 20 persen.

Pergantian kurikulum, membuat sekolah harus menggudangkan buku-buku yang bernuansa K13, bahkan buku-buku tersebut banyak yang belum sempat dibuka sampunlya. Tentu saja hal ini sangat mubazir.

Ada sekitar 165. 256 sekolah negeri di Indonesia. Bayangkan saja jika semua sekolah harus menggudangkan buku-buku K13 tersebut, ada berapa juta buku yang harus dibiarkan rusak di gudang?

Dibiarkan rusak memang istilah yang tepat. Sebab jumlah buku ribuan yang dimiliki satu sekolah itu hendak dikemanakan? Mau dijual di pasar loak, siapa yang hendak membeli? Buku-buku itu adalah buku-buku yang sudah dimasukkan kategori jadul atau "tertinggal dengan kereta".

Kurikulum baru tentu saja berubah secara keseluruhan. Walaupun Kurikulum Merdeka masih mirip-nmirip K13, namun tetap saja tidak akan berguna di masa Kurikulum Merdeka ini.

Melihat fenomena mubazir ini, mungkin memang sudah saatnya sekolah tidak usah lagi memakai buku cetak. Buku digital saja. Terlebih Kurikulum Merdeka, adalah kurikulum yang menjunjung tinggi model digitalisasi.

Sangat disayangkan uang yang bisa membangun infrastruktur sekolah, hannya jadi onggokan kertas yang dibuang begitu saja berupa buku cetak. Pemakaian buku digital akan meminimalisasi potensi pembuangan jutaan buku cetak jika tiba-tiba saja kurikulum kita berubah lagi dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Pergantian kepemimpinan dan pemerintahan akan berlangsung di 2024. Pemimpin baru akan segera menyusun kabinetnya. Visi, misi dan slogan akan diganti yang tentu saja akan berimbas kepada program-program prioritas kementerian dan lembaga.

Ada kecenderungan, pemimpin baru tidak mau meneruskan visi dan misi pemimpin lama. Tentu bisa saja semua program-program pemimpin lama akan ditenggelamkan. Jadi siapa yang menjamin bahwa pemimpin baru tidak akan mengganti Kurikulum Merdeka?

Walaupun digencarkan bahwa Kurikulum Merdeka ini akan menjadi kurikulum nasional di tahun 2024, namun jika menterinya ganti, apa masih mau memakai program Merdeka Belajar?

Jika itu terjadi, maka buku-buku cetak Kurikulum Merdeka yang berjumlah jutaan tersebut terpaksa dibuang lagi sebagaimana buku-buku Kurtilas (Kurikulum 2013) saat ini. Sehingga memang sebaiknya buku elektronik saja yang disiapkan oleh pihak sekolah.

Cobalah jalan-jalan ke toko buku Gramedia. Buku-buku paket Kurikulum Merdeka tidak murah, bahkan mencecah angka ratusan ribu untuk satu buku. Itu baru satu pelajaran. Jika dikalikan sejumlah mata pelajaran, bisa-bisa menyentuh angka jutaan rupiah.

Pembuangan buku bisa digolongkan tindakan kekerasan terhadap buku. Jika saja alokasi dana BOS untuk membeli buku paket mata pelajaran yang umurnya tidak bisa dijamin tersebut, lebih baik dibelikan buku bacaan saja. Itu akan lebih bermanfaat.

Buku bacaan tidak mengenal musim dan pergantian kurikulum. Buku bacaan juga lebih disukai siswa ketimbang buku pelajaran yang begitu membosankan. Buku bacaan berpotensi mendongkrak minat baca siswa.

Jika berkaca dari kasus pembuangan jutaan buku paket yang dilindas kurikulum baru, maka sebaiknya pihak sekolah mulai memikirkan agar tidak lagi menggunakan dana BOS untuk melakukan pengadaan buku paket.

Dana BOS sebaiknya digunakan hanya untuk membeli Buku bacaan untuk meningkatkan minat baca dan kemampuan literasi siswa. Pihak sekolah, sebaiknya memiliki selera yang bagus dalam membeli buku bacaan siswa. Agar siswa mau membaca, carilah buku-buku yang bisa menggugah minat baca siswa.

Pengelola perpustakaan sebaiknya ditunjuk guru yang gemar membaca dan paham buku mana saja yang akan disukai siswa dan mana buku yang tidak akan pernah dibaca oleh para siswa. Jangan membeli buku-buku bacaan yang didiskon oleh toko-toko buku karena mutu dan tema di buku-buku tersebut kurang menarik.

Perpustakaan sekolah tidak usah digunakan untuk menampung buku paket. Sehingga buku-buku bacaan tertutupi keberadaannya. Buku paket sebaiknya diurusi oleh guru mata pelajaran yang juga lebih tepat menggunakan buku digital.

Fenomena buku-buku paket yang dilindas kurikulum baru, seharusnya menjadi satu pertimbangan untuk para pengambil kebijakan agar tidak mudah mengganti kurikulum. Kalaupun kurikulum harus berganti, jangan ada kejadian buku-buku paket menjadi teronggok dan terabai di pojok-pojok gudang sekolah menanti lapuk dihancurkan oleh waktu.

Sayang sekali, uang negara berjumlah miliaran yang dipakai untuk membeli buku-buku tersebut—yang bahkan didapat dengan jalan berutang ke negara lain—hancur dan mubazir karena ketidaksiapan dalam pergantian kurikulum.

Buku-buku yang disingkirkan tersebut mungkin saja mengandung mutiara-mutiara ilmu pengetahuan yang belum sempat terjamah tangan-tangan mungil penerus bangsa. *** kumparan.com  (Waode Nurmuhaemin, Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan)



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama