Demokrasi dalam (Hukum) Gereja Katolik: Tentang Dewan Pastoral Paroki

Demokrasi dalam (Hukum) Gereja Katolik: Tentang Dewan Pastoral Paroki



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) Istilah paroki pada awalnya menunjuk pada wilayah teritorial yang sekarang disebut keuskupan. Seiring dengan meningkatnya jumlah umat mulai dari desa hingga ke kota menuntutpula penyerahan reksa pastoralnya kepada sejumlah imam supaya pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik. Sejak abad ke-V, para imam mulai ditahbiskan dan tinggal tetap di gereja atau paroki yang sudah ditentukan di lingkungan pedesaan. Di wilayah perkotaan, penugasan seperti itu baru mulai abad ke-X, kecuali di Roma dan Alexandria yang sudah mulai juga pada abad ke-V.Sejak konsili Trento, wilayah dalam satu keuskupan mulai dibagi ke dalam paroki-paroki dan reksa pastoralnya diserahkan kepada gembala yang tetap. Sesudah revolusi perancis muncul figur pastor paroki yang bisa dipindahtugaskan sesuai kehendak uskup.

Dalam Kitab Hukum Kanonik, kanon 515 § 1tertulis: “Umat beriman kristiani yang berada dalam batas territorial tertentu dibentuk secara tetap dalam suatu gereja partikular dan yang reksa pastoralnya, di bawah otoritas Uskup diosesan, dipercayakan kapada pastor paroki sebagai gembalanya sendiri” (Bdk. CD 30).

Umat beriman berlandaskan sakramen pembaptisan dan penguatan yang telah diterima, mempunyai peranan yang khas yang dimiliki bukan karena pemberian dari gembala rohani tetapi karena rahmat pembaptisan dan penguatan, sehingga tidak bisa dihilangkan begitu saja. Peranan khas yang semakin mengefektifkan karya perutusan Gereja. Oleh karena itu sebenarnya umat beriman tidak hanya menerima harta rohani tetapi juga memberikan; bukan hanya penerima tetapi juga pemberi. Umat beriman mempunyai tugas perutusan sesuai dengan panggilan hidupnya (kan. 204), berarti mereka juga mempunyai tugas mengajar, menyucikan, memerintah sesuai dengan panggilan.

 

Dewan Pastoral Paroki

Pendirian DPP hanya pilihan fakultatif, tidak wajib, tergantung pertimbangan uskup diosesan setelah mendengarkan pendapat dewan imam. Namun, persoalan ini tidak perlu kita bahas panjang lebar karena para Bapak Uskup di Indonesia sudah melihat perlunya didirikan DPP (entah apa masih ada Bapak Uskup yang belum melihat keuntungan pembentukan DPP sehingga belum berani memutuskan). Dalam bahasa hukum kanonik, para Bapak Uskup di Indonesia sudah menganggap bahwa pembentukan DPP itu menguntungkan Gereja karena karya missioner Gereja dapat semakin efektif dan efisien.

Sejak konsili vatikan kedua, sudah ditegaskan bahwa seluruh umat Allah mempunyai kesamaan mendasar dalam keberadaan sebagai orang-orang kristiani berdasarkan pembaptisan (LG 31-32), bahkan kaum awam yang sederhana pun bersama dengan para imam mempunyai hak dan kewajiban tersendiri yang harus diakui dan didukung.

 

Siapa saja yang bisa terlibat dalam Dewan Pastoral Paroki?

Kitab Hukum yang baru menekankan bahwa Gereja secara mendasar adalah suatu komunitas orang-orang beriman, dari komunitas itu muncul satu bagian yang disebut dengan hirarki. Hirarki muncul dari komunitas umat beriman dan bukan pencipta komunitas. Yang pertama ada adalah komunitas, setelah itu hirarki. Kesamaan sebagai umat beriman jauh lebih penting ketimbang bagaimana mereka dibedakan lewat status hidup sebagai imam, religius, dan awam. Apa yang disampaikan Gereja lewat kanon 208 sangat menarik untuk disimak: “Di antara semua orang beriman kristiani, berkat kelahiran kembali mereka dalam Kristus, ada kesamaan sejati dalam martabat dan kegiatan; dengan itu mereka semua seusai dengan kondisi khas dan tugas masing-masing, bekerjasama membangun Tubuh Kristus” (bdk. LG 32). Tidak seorang pun dari umat beriman kristiani yang dikecualikan dari tugas membangun Tubuh Kristus, Gereja.

Kesamaan tidak berarti bahwa keberbedaan itu tidak ada. Kita tidak bisa memungkiri keberbedaan, tetapi juga tidak bisa mengacaukan kesamaan dasar dengan keberbedaan dalam fungsi atau status hidup. Antara awam, religius, dengan imam tidak mungkin bertukar fungsi, ketiganya sama dalam martabat sebagai orang beriman kristiani tetapi masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda.

Dua hak paling penting yang diberikan kepada semua orang kristiani adalah kesempatan untuk mengungkapkan pendapat-pendapat mereka kepada para Gembala Gereja, mengungkapkan keinginan-keinginan mereka, terutama untuk kebutuhan hidup rohani mereka (kan. 211 § 2). Dengan pengetahuan, kompetensi, dan kedudukan mereka terlebih karena integritas iman dan moral, mereka dapat menyampaikan kepada Gembala rohani pendapat mereka demi demi kebaikan Gereja (kan. 212 § 3). Kaum awam yang “berkualitas” mempunyai hak untuk menjadi penasihat dalam dewan-dewan (kan. 228 § 3). Hak itu menjadi kewajiban bila kebaikan Gereja menuntut partisipasi mereka. Bahkan berkat keberadaannya di dalam dan bersama dunia, kaum awam seharusnya dapat menyumbangkan pengalaman mereka lewat nasihat persaudaraan kepada para Gembala rohani sehingga dapat mempertajam image Gereja sendiri, menerangi dan memperkaya karya pastoral Gereja dan membuat Gereja menjadi sosok yang membumi karena menanggapi realitas hidup dengan terang iman.

 

Pemilihan dan/atau Pengangkatan anggota DPP

Baik kanon 536 maupun kanon 512 tidak memberikan gambaran siapa saja yang dapat menjadi anggota DPP. Tuntutan dari kanon 512 § 1 hanya: mereka yang ada dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik., dalam § 3 ditambahkan bahwa mereka hendaknya orang-orang yang teguh imannya, baik kesusilaannya dan unggul dalam kearifan. Uskup Diosesan dapat mengatur bagaimana anggota DPP dipilih atau dinominasikan. Baik pemilihan maupun penominasian mengandung keuntungan dan resiko. Pemilihan adalah metode yang baik untuk mengidentifikasi karisma dan talenta para calon, dalam soal ini tidak jarang umat paroki lebih tahu ketimbang pastor paroki. Di samping itu memberikan tanggungjawab yang besar pada anggota untuk membangun kepercayaan dalam komunitas paroki. Namun, pemilihan juga merupakan suatu proses yang kompleks dan selalu ada bahaya bahwa yang terpilih merasa yakin bahwa dirinya adalah wakil yang dikehendaki umat, yang kemudian memaksakan pendapat dan pemikirannya pribadi dengan mengatasnamakan umat. Penominasian, di lain pihak prosesnya lebih mudah dan bisa jadi lebih efektif juga karena pastor paroki dapat mengangkat orang-orang yang sudah terlibat aktif. Cara ini biasanya lebih praktis untuk memulai pertama kali membentuk DPP. Namun, ada resiko juga, pastor paroki bisa memilih orang-orang yang dekat dengannya atau selalu menurut apa yang diperintahkannya; akibatnya DPP menjadi kelompok elit dan eksklusif yang tidak memberi peluang bagi orang lain untuk masuk dan kemudian bisa menghilangkan kredibilitas mereka sendiri.

Untuk mengeliminasi hal-hal yang negatif baik lewat pemilihan maupun lewat penominasian, prioritas mesti ditentukan, secara khusus mesti melihat realitas kehidupan umat beriman di dalam paroki karena masing-masing paroki mempunyai kekhasan dalam komposisi kehidupan umat.

 

Mekanisme pengambilan keputusan

Dalam dunia demokrasi, norma wewenang yang dimiliki DPP tampak sulit dipahami dan diterima, hanya mempunyai suara konsultatif dan tidak bisa mengatur kebijakan serta program sendiri adalah sesuatu yang tidak ada faedahnya. Untuk banyak pihak DPP tampaknya dilihat sebagai badan yang akan mengukuhkan kekuasaan para Gembala. Di lain pihak, beberapa Gembala rupanya masih belum menyadari kecermelangan arti berbagi tanggungjawab dalam dan lewat DPP serta cenderung untuk mempertahankan kekuasaan sebagai pengambil kebijakan atau keputusan. Akibatnya antara gembala dan anggota dewan sering tercipta suasana perlawanan, ketidakpercayaan satu sama lain yang meracuni kehendak baik dan kerjasama yang sangat dan akhirnya mengacaukan kehidupan pastoral seluruh komunitas paroki.

Alasan mengapa orang mau meminta usulan atau nasihat kepada orang lain, yang dalam hal ini anggota DPP adalah: di satu pihak karena anggota DPP itu ahli atau mewakili sekelompok umat tertentu yang mengetahui secara baik permasalahan dan menilainya secara jernih; di lain pihak karena yang meminta nasihat itu tidak mengetahui secara baik permasalahan dan atau tidak yakin pada keputusan yang akan diambilnya. Jadi, motifnya sungguh manusiawi dan sosiologis, menyadari keterbatasan diri dan bukan sekedar berbasa-basi yang akhirnya malah menjadi basi betul.

Muncul pertanyaan, apa yang sebenarnya dimaksud dengan suara konsultatif di dalam lingkungan Gereja? Alasan mengapa gembala rohani itu meminta nasihat, pendapat, usulan dari umat beriman: pertama, karena umat itu mampu memberikannya baik secara umum maupun secara khusus dalam bidang-bidang tertentu karena ada yang ahli dalam bidang-bidang tersebut (kan. 212 § 3) dan gembala rohani memang perlu diberi “penerangan” baik secara umum maupun secara khusus; kedua, karena rahmat baptisan dan penguatan yang sudah diterima umat yang membuat mereka mempunyai hak dan kewajiban untuk memberi masukan bagi gembala rohani demi hidup Gereja yang lebih baik.

 

Kesimpulan

Kehidupan demokrasi dalam dunia sipil yang semakin kuat menjadi tantangan tersendiri bagi Gereja, karena seringkali Gereja justru dilihat sebagai lembaga kontradiktif: di satu pihak menyerukan demokrasi dalam dunia sipil, di lain pihak sepertinya mengabaikan peluang masuknya demokrasi ke dalam Gereja. Gereja ditantang untuk demokratis di dalam dirinya sendiri juga, bukan hanya berseru-seru tetapi juga turut berlomba menjadi demokratis.

 


 

 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama