Dalam Kitab Hukum Kanonik, kanon 515 § 1tertulis:
“Umat beriman kristiani yang berada dalam batas territorial tertentu dibentuk
secara tetap dalam suatu gereja partikular dan yang reksa pastoralnya, di bawah
otoritas Uskup diosesan, dipercayakan kapada pastor paroki sebagai gembalanya
sendiri” (Bdk. CD 30).
Umat beriman berlandaskan sakramen pembaptisan dan
penguatan yang telah diterima, mempunyai peranan yang khas yang dimiliki bukan
karena pemberian dari gembala rohani tetapi karena rahmat pembaptisan dan
penguatan, sehingga tidak bisa dihilangkan begitu saja. Peranan khas yang
semakin mengefektifkan karya perutusan Gereja. Oleh karena itu sebenarnya umat
beriman tidak hanya menerima harta rohani tetapi juga memberikan; bukan hanya
penerima tetapi juga pemberi. Umat beriman mempunyai tugas perutusan sesuai
dengan panggilan hidupnya (kan. 204), berarti mereka juga mempunyai tugas
mengajar, menyucikan, memerintah sesuai dengan panggilan.
Dewan Pastoral
Paroki
Pendirian DPP hanya pilihan fakultatif, tidak wajib,
tergantung pertimbangan uskup diosesan setelah mendengarkan pendapat dewan
imam. Namun, persoalan ini tidak perlu kita bahas panjang lebar karena para
Bapak Uskup di Indonesia sudah melihat perlunya didirikan DPP (entah apa masih
ada Bapak Uskup yang belum melihat keuntungan pembentukan DPP sehingga belum
berani memutuskan). Dalam bahasa hukum kanonik, para Bapak Uskup di Indonesia
sudah menganggap bahwa pembentukan DPP itu menguntungkan Gereja karena karya
missioner Gereja dapat semakin efektif dan efisien.
Sejak konsili vatikan kedua, sudah ditegaskan bahwa
seluruh umat Allah mempunyai kesamaan mendasar dalam keberadaan sebagai
orang-orang kristiani berdasarkan pembaptisan (LG 31-32), bahkan kaum awam yang
sederhana pun bersama dengan para imam mempunyai hak dan kewajiban tersendiri
yang harus diakui dan didukung.
Siapa saja yang
bisa terlibat dalam Dewan Pastoral Paroki?
Kitab Hukum yang baru menekankan bahwa Gereja secara
mendasar adalah suatu komunitas orang-orang beriman, dari komunitas itu muncul
satu bagian yang disebut dengan hirarki. Hirarki muncul dari komunitas umat
beriman dan bukan pencipta komunitas. Yang pertama ada adalah komunitas,
setelah itu hirarki. Kesamaan sebagai umat beriman jauh lebih penting ketimbang
bagaimana mereka dibedakan lewat status hidup sebagai imam, religius, dan awam.
Apa yang disampaikan Gereja lewat kanon 208 sangat menarik untuk disimak: “Di
antara semua orang beriman kristiani, berkat kelahiran kembali mereka dalam
Kristus, ada kesamaan sejati dalam martabat dan kegiatan; dengan itu mereka
semua seusai dengan kondisi khas dan tugas masing-masing, bekerjasama membangun
Tubuh Kristus” (bdk. LG 32). Tidak seorang pun dari umat beriman kristiani yang
dikecualikan dari tugas membangun Tubuh Kristus, Gereja.
Kesamaan tidak berarti bahwa keberbedaan itu tidak
ada. Kita tidak bisa memungkiri keberbedaan, tetapi juga tidak bisa mengacaukan
kesamaan dasar dengan keberbedaan dalam fungsi atau status hidup. Antara awam,
religius, dengan imam tidak mungkin bertukar fungsi, ketiganya sama dalam
martabat sebagai orang beriman kristiani tetapi masing-masing mempunyai fungsi
yang berbeda.
Dua hak paling penting yang diberikan kepada semua
orang kristiani adalah kesempatan untuk mengungkapkan pendapat-pendapat mereka
kepada para Gembala Gereja, mengungkapkan keinginan-keinginan mereka, terutama
untuk kebutuhan hidup rohani mereka (kan. 211 § 2). Dengan pengetahuan,
kompetensi, dan kedudukan mereka terlebih karena integritas iman dan moral,
mereka dapat menyampaikan kepada Gembala rohani pendapat mereka demi demi
kebaikan Gereja (kan. 212 § 3). Kaum awam yang “berkualitas” mempunyai hak
untuk menjadi penasihat dalam dewan-dewan (kan. 228 § 3). Hak itu menjadi
kewajiban bila kebaikan Gereja menuntut partisipasi mereka. Bahkan berkat
keberadaannya di dalam dan bersama dunia, kaum awam seharusnya dapat
menyumbangkan pengalaman mereka lewat nasihat persaudaraan kepada para Gembala
rohani sehingga dapat mempertajam image Gereja sendiri, menerangi dan
memperkaya karya pastoral Gereja dan membuat Gereja menjadi sosok yang membumi
karena menanggapi realitas hidup dengan terang iman.
Pemilihan
dan/atau Pengangkatan anggota DPP
Baik kanon 536 maupun kanon 512 tidak memberikan
gambaran siapa saja yang dapat menjadi anggota DPP. Tuntutan dari kanon 512 § 1
hanya: mereka yang ada dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik., dalam § 3
ditambahkan bahwa mereka hendaknya orang-orang yang teguh imannya, baik
kesusilaannya dan unggul dalam kearifan. Uskup Diosesan dapat mengatur
bagaimana anggota DPP dipilih atau dinominasikan. Baik pemilihan maupun
penominasian mengandung keuntungan dan resiko. Pemilihan adalah metode yang
baik untuk mengidentifikasi karisma dan talenta para calon, dalam soal ini
tidak jarang umat paroki lebih tahu ketimbang pastor paroki. Di samping itu
memberikan tanggungjawab yang besar pada anggota untuk membangun kepercayaan
dalam komunitas paroki. Namun, pemilihan juga merupakan suatu proses yang
kompleks dan selalu ada bahaya bahwa yang terpilih merasa yakin bahwa dirinya
adalah wakil yang dikehendaki umat, yang kemudian memaksakan pendapat dan
pemikirannya pribadi dengan mengatasnamakan umat. Penominasian, di lain pihak
prosesnya lebih mudah dan bisa jadi lebih efektif juga karena pastor paroki
dapat mengangkat orang-orang yang sudah terlibat aktif. Cara ini biasanya lebih
praktis untuk memulai pertama kali membentuk DPP. Namun, ada resiko juga,
pastor paroki bisa memilih orang-orang yang dekat dengannya atau selalu menurut
apa yang diperintahkannya; akibatnya DPP menjadi kelompok elit dan eksklusif
yang tidak memberi peluang bagi orang lain untuk masuk dan kemudian bisa
menghilangkan kredibilitas mereka sendiri.
Untuk mengeliminasi hal-hal yang negatif baik lewat
pemilihan maupun lewat penominasian, prioritas mesti ditentukan, secara khusus
mesti melihat realitas kehidupan umat beriman di dalam paroki karena
masing-masing paroki mempunyai kekhasan dalam komposisi kehidupan umat.
Mekanisme
pengambilan keputusan
Dalam dunia demokrasi, norma wewenang yang dimiliki
DPP tampak sulit dipahami dan diterima, hanya mempunyai suara konsultatif dan
tidak bisa mengatur kebijakan serta program sendiri adalah sesuatu yang tidak
ada faedahnya. Untuk banyak pihak DPP tampaknya dilihat sebagai badan yang akan
mengukuhkan kekuasaan para Gembala. Di lain pihak, beberapa Gembala rupanya
masih belum menyadari kecermelangan arti berbagi tanggungjawab dalam dan lewat
DPP serta cenderung untuk mempertahankan kekuasaan sebagai pengambil kebijakan
atau keputusan. Akibatnya antara gembala dan anggota dewan sering tercipta
suasana perlawanan, ketidakpercayaan satu sama lain yang meracuni kehendak baik
dan kerjasama yang sangat dan akhirnya mengacaukan kehidupan pastoral seluruh
komunitas paroki.
Alasan mengapa orang mau meminta usulan atau nasihat
kepada orang lain, yang dalam hal ini anggota DPP adalah: di satu pihak karena
anggota DPP itu ahli atau mewakili sekelompok umat tertentu yang mengetahui
secara baik permasalahan dan menilainya secara jernih; di lain pihak karena
yang meminta nasihat itu tidak mengetahui secara baik permasalahan dan atau
tidak yakin pada keputusan yang akan diambilnya. Jadi, motifnya sungguh
manusiawi dan sosiologis, menyadari keterbatasan diri dan bukan sekedar
berbasa-basi yang akhirnya malah menjadi basi betul.
Muncul pertanyaan, apa yang sebenarnya dimaksud
dengan suara konsultatif di dalam lingkungan Gereja? Alasan mengapa gembala
rohani itu meminta nasihat, pendapat, usulan dari umat beriman: pertama, karena
umat itu mampu memberikannya baik secara umum maupun secara khusus dalam
bidang-bidang tertentu karena ada yang ahli dalam bidang-bidang tersebut (kan.
212 § 3) dan gembala rohani memang perlu diberi “penerangan” baik secara umum
maupun secara khusus; kedua, karena rahmat baptisan dan penguatan yang sudah
diterima umat yang membuat mereka mempunyai hak dan kewajiban untuk memberi
masukan bagi gembala rohani demi hidup Gereja yang lebih baik.
Kesimpulan
Kehidupan demokrasi dalam dunia sipil yang semakin
kuat menjadi tantangan tersendiri bagi Gereja, karena seringkali Gereja justru
dilihat sebagai lembaga kontradiktif: di satu pihak menyerukan demokrasi dalam
dunia sipil, di lain pihak sepertinya mengabaikan peluang masuknya demokrasi ke
dalam Gereja. Gereja ditantang untuk demokratis di dalam dirinya sendiri juga,
bukan hanya berseru-seru tetapi juga turut berlomba menjadi demokratis.