Pentahtaan Arca Bunda Maria Paroki St. Lukas Wekfau Keuskupan Atambua di salah satu Lingkungan di wilayah Kapela Harekain, Kabupaten Malaka |
Berbagai bentuk keyakinan dan ekspresi iman tersebut
mencakup doa, madah dan kebiasaan yang dikaitkan dengan waktu atau tempat
tertentu, panji-panji, medali, busana, atau kebiasaan yang dijiwai oleh sikap
iman dan mengunkapkan hubungan khusus kaum beriman dengan Tritunggal, santa
Maria dan para kudus.
Devosi bersifat personal dan cenderung emosional. Ia
bersifat personal karena tidak terikat dengan kebersamaan. Devosi bisa dijalankan
bersama kalau orang memiliki keinginan hati yang sama. Ia cenderung emosional
karena berkaitan dengan perasaan seseorang.
Maria adalah tokoh penting dalam sejarah
keselamatan. Sepanjang sejarah Gereja, Maria juga berperan penting sejak awal
pembentukan Gereja bersama para rasul hingga perkembangan Gereja masa kini. Ia
selalu mengambil bagian dalam sejarah Gereja melalui berbagai bentuk devosi
yang dihidupi oleh umat Allah sepanjang sejarah.
Umat Allah sepanjang waktu membangun relasi yang
personal dengan Maria dan menunjukkan kedekatan emosional yang mendalam
dengannya dalam berbagai devosi yang mereka tujukan kepada Maria. Mengapa Maria
begitu penting bagi Gereja? Mengapa devosi kepada Maria selalu hidup? Mengapa
orang muda harus berdevosi kepada Maria?
Maria dalam
Kitab Suci
Kitab suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
memiliki korelasi yang khas ketika berbicara tentang Maria. Keduanya saling
mengandaikan baik itu secara historis maupun secara teologis. Secara historis
Hawa dan Maria adalah dua tokoh yang berbeda zaman, Hawa adalah tokoh perempuan
Perjanjian Lama sedangkan Maria adalah tokoh perempuan Perjanjian Baru.
Secara teologis kedua tokoh ini pada dasarnya bercerita tentang perempuan yang
sama. Maria adalah Hawa baru sebagaimana dinubuatkan secara tersamar dalam
Perjanjian Lama dan memperoleh kepenuhannya dalam Perjanjian Baru (bdk.
Kej:3-15, Yes 7:14).
Kesinambungan kisah tentang Hawa dan Maria juga
ditunjukkan secara implisit dalam kata Gune, dalam Bahasa Yunani
berati Perempuan. Kata ini dipakai Yohanes untuk menyebut Maria pada
peristiwa perkawinan di Kanaan (bdk. Yoh 2:4); juga pada peristiwa Kalvari,
menjelang kematian Yesus (bdk. Yoh 9:26). Paulus menggunakan kata yang sama
untuk menyebut Maria dalam suratnya kepada jemaat di Galatia (bdk. Gal 4:4).
Menurut Groenan Kata Gune dalam teks-teks asli digunakan Yohanes dan
Paulus untuk menegaskan korelasi spiritual antara Hawa dan Maria (bdk.
Kej:3-15, Yes 7:14).[1]
Secara kualitatif kisah tentang Maria sebagai Hawa
baru memang kurang ditonjolkan di dalam Kitab Suci sebab Penginjil sendiri
berbicara tentang Maria sejauh ia relevan dengan Yesus. Visi utama dari
pewartaan Injil adalah tentang Yesus Kristus dan karya keselamatan-Nya.
Meskipun demikian, Maria tetap mengambil peran penting dalam hidup dan karya
Yesus. Maria malah disebut sebagai yang bahagia justru karena ia bersedia
mengandung Yesus dan mendidikNya hingga dewasa (bdk. 1:45).
Peran Maria
sebagai Ibu Yesus
Orang Kristen percaya bahwa Maria adalah ibu Yesus.
Kenyataan ini memiliki relevansi Kristologiknya. Hubungan Kristologik ini dapat
ditemukan dalam Injil Matius 1-2 dan Lukas 1-2. Dalam Matius 1-2 dan Lukas 1-2
dibicarakan cukup terperinci berkaitan dengan kelahiran Yesus hingga Ia
beranjak dewasa. Setelah Yesus beranjak dewasa, Ia hadir bersama Maria saat
perjamuan di Kanaan.
Penginjil Yohanes menceritakan momen kebersamaan itu
demikian: Ketika anggur habis di pesta pernikahan di Kana, Maria berpaling
kepada Yesus dan berkata: “Mereka tidak punya anggur lagi,…perempuan, mengapa
kamu melibatkan aku? Jawab Yesus. Waktuku belum tiba.” Ibunya berkata
kepada para pelayan, “Lakukan apa pun yang dia katakan padamu” (Yoh 2:3-5). Meskipun
peristiwa itu bersifat Biblis namun pada sisi yang lain kisah itu menggambarkan
kedekatan yang khas antara Maria dan Yesus sebagai seorang ibu dan anak.
Kedekatan Maria dengan Yesus bukan hal yang baru.
Sejak kelahirannya, Maria merawat Yesus dengan penuh kasih dan
tanggungjawab. Yesus dilahirkan di Betlehem dengan kondisi yang sangat tidak
beruntung, di sebuah kandang yang tidak layak. Kesulitan itu tidak sedikitpun
mengurangi tanggungjawab Maria sebagai seorang Ibu. Hal ini sekaligus
menggenapkan nubuatkan Yesaya, bahwa: “Sesungguhnya seorang
perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia
akan menamakan Dia Emanuel” (Yes 7:14).
Sebagai seorang Ibu, Maria tidak hanya mengandung
Yesus sebagai manusia melainkan juga Yesus sebaga Putera Allah. Lukas menggambarkannya
demikian. Ketika Maria diberi kabar oleh Malaikat bahwa Ia akan mengandung,
Maria menjawab: “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu” (Luk
1:38).
Maria sungguh ingin mendengarkan sabda Allah dan
bersedia mengandung Yesus sebagai Putera Allah sekaligus biologisnya. Inilah
yang menentukan relasi antara Maria dengan Allah bagi misi penyelamatan
manusia. Bayangkan saja kalau Maria tidak menghendaki atau menolak untuk
mengandung Yesus, kita tidak tahu persis bagaimana karya keselamatan Allah akan
direalisasikan.
Meskipun diberikan penekanan lebih pada relasi
personal antara Maria dengan Yesus, namun hal itu tidak berarti bahwa relasi
biologis antara keduanya tidak penting. Sebab bagaimanapun juga,
kedekatan biologis antara Maria dengan Yesus Anaknya turut membentuk karakter
Yesus kecil hingga dewasa. Secara manusiawi dapat dikatakan bahwa kehadiran
Yesus selalu mengandaikan Maria sebagai sorang ibu.
Sikap dan peran Maria sebagai ibu Yesus baik itu
secara biologis maupun secara personal berdampak lansung pada perealisasian
karya penyelamatan Allah melalui Yesus Puteranya. Berdasarkan peran itu, Maria
memiliki di dalam dirinya apa yang disebut sebagai “visi kerygma apostilik”.
Secara apostolik, Maria tentu bukan murid Yesus, namun seperti para rasul Maria
termasuk dalam golongan orang yang mendengarkan sabda Allah.[2]
Dengan memahami peran Maria yang demikian, maka
cukup beralasan bagi kaum Muda Katolik untuk menjadikan Maria sebagai locus Ziarah
devosional mereka. Maria mencerminkan sikap iman yang taat kepada Allah. Sikap
iman itu direalisasikan ke dalam hidup Maria bersama Yesus. Spirit dan sikap
iman yang tercermin dalam diri Maria dapat menjadi bekal spiritual kaum muda
dalam seluruh aspek hidup mereka menuju kedewasaan iman akan Allah, sebagaimana
ditunjukkan oleh Maria ketika mengasuh Yesus.
Devosi kepada
Maria
Devosi berasal dari kata devotion, dalam Bahasa
Latin disebut Devorare berarti kesetiaan, ketaatan atau
ketertundukkan. Devotion berarti kebaktian keagamaan. Salah satu hal
yang membedakan Gereja Katolik dengan Gereja Kristen lainya adalah adanya
devosi kepada para kudus termasuk devosi kepada Bunda Maria.
Umat Katolik merupakan warisan tradisi yang
diajarkan Gereja Katolik melalui penjelasan-penjelasan Biblis. Hal tersebut
ditegas Paus Paulus VI dalam Marialis Cultus. Surat tersebut berisi
tentang penataan dan perkembangan yang benar bagi devosi kepada Maria yang
mesti didasarkan pada isi Kitab Suci.[3]
Selain itu, Lumen Gentium, melalui Konsili
Vatikan II menegaskan bahwa penghormatan Gereja terhadap Maria mesti dipahami
dalam konteks Kristologi. Sebab pusat iman Kristiani adalah pada Allah
Tritunggal Maha Kudus dengan tokoh sentral Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus.
Maria bukan tokoh sentral dalam iman Kristiani. Namun Devosi terhadap Maria
berakar pada Tritunggal Maha Kudus.
Bila Maria dimasukkan di seputar pusat iman Katolik,
sejauh devosi kepada Maria dapat membantu menumbuhkan cinta kasih kepada Allah,
menghantara kita kepada Allah dan semata-mata demi kemuliaan Allah.[4] Dengan kata lain, devosi kepada
Bunda Maria tidak diartikan sebagai penyembahan kepada Maria apalagi
menempatkan Maria sama seperti Allah sebab hanya Allah Tritunggal Maha Kudus
yang boleh disembah.
Dengan maksud itu, maka devosi kepada Maria menjadi
penting. Makna terdalam dan utama dari kebaktian serta devosi kepada Maria
dalam Gereja Katolik ialah menghormati Maria bunda Allah secara pantas. Peran
Maria sebagai bunda Allah dalam tata keselamatan dan karya penebusan Allah bagi
dunia yang dilaksanakan oleh Yesus sangat besar. Bagi Gereja, sebagaimana
ajaran Kitab suci dan Tradisi, peran Maria adalah sebagai pembela,
penolong dan penghantar umat yang sedang berziarah.
Devosi
sebagai Locus Ziarah Spiritual Kaum Muda Katolik
Kaum muda adalah kelompok kategorial yang rentan
dengan persoalan “identitas” baik itu secara psikologis maupun secara
spiritual. Krisis identitas dan kebutuhan akan intimitas merupakan masalah
orang muda pada umumnya.[5] Meskipun demikian, secara spiritual
jati diri kaum muda dapat ditemukan melalui pendalaman rohani.
Jati diri yang dimaksud erat kaitannya dengan
intimitas dan perkembangan spiritual mereka sebagai orang Katolik, salah
satunya melalui praktik devosi kepada Maria. Beberapa alasan mengapa devosi
kepada Bunda Maria dapat menunjang perkembangan spiritual kaum muda katolik
sebagai berikut:
Pertama, devosi bersifat konkret dan
realistik. Devosi bertitik tolak dari kehidupan sehari-hari dengan segala
kebutuhannya. Orang meminta kepada Maria penyembuhan, pekerjaan, jodoh, lulus
ujian, tambahan penghasilan, pertobatan orang-orang tertentu, dibebaskann dari
bencana dsb. Demikianlah ciri-coraknya dan menjadi lebih konkret dan personal,
sebagaimana para pemuda lebih tertarik dengan hal-hal yang konkret dan
realistik sebab hal semacam itu lebih menyentuh kepribadian orang muda.
Kedua, Maria adalah ibu bagi umat katolik. Secara
psikologis dan spiritual kedekatan seorang ibu sangat berpengaruh terhadap
perkembangan seseorang. Seorang ibu biasanya selalu mengupayakan hal yang baik
bagi anaknya. Ia mengasuh, menyayangi, bahkan lebih dari itu, seorang ibu yang
baik akan selalu berdoa kepada anaknya. Ketika anaknya tidak berhasil, ia akan
merasa sedih namun ketika anaknya sukses ia akan merasa bahagia. Sikap-sikap
seperti ini merupakan bagian dari panggilan hati seorang ibu pada umumnya.
Orang muda Katolik melihat Bunda Maria sebagai
seorang ibu. Maria adalah Ibu yang senantiasa mendoakan anak-anaknya.
Kelembutan hati Maria sebagai seorang ibu dan sikap penyerahan diri yang total
kepada Allah membantu orang muda semakin dewasa baik secara spiritual. Sikap
“Iman seorang ibu” yang tercermin dalam diri Maria memungkinkan pemuda Katolik
untuk semakin dekat kepada Allah. Doa-doa yang disampaikan secara pribadi,
dalam lingkungan, kegiatan OMK atau Goa Maria terasa lebih khusuk, karena
pendoa menyampaikan permohonannya sebagai seorang anak kepada sorang ibu.
Ketiga, Maria adalah pendoa yang baik. Sikap
doa bunda Maria yang tulus dan jujur di hadapan Allah menjadi dasar kehidupan
rohaninya. Sebagai seorang hamba Allah, Maria tidak berdoa dengan cara
menuntut melainkan lebih bersifat “penyerahan” kepada Allah. Saat Maria berada
bersama Yesus di Kanaan (bdk. Yoh 2:1-11), dikisahkan bahwa tuan pesta
kekurangan anggur. Karena itu Maria berinisiatif untuk menyampaikannya kepada
Yesus. Maria tidak memaksa Yesus, melainkan sifatnya bercerita.
Ibu Yesus berkata kepada-Nya: “Mereka kehabisan
anggur” (Yoh 2:3). Meski sikap Yesus di awal kurang simpatik namun
dalam imannya Maria percaya Yesus akan membantunya. Malah Maria menyuruh para
pelayan untuk mengisi semua tempayan yang ada. Sikap Doa semacam itu dapat
membantu kaum muda Katolik untuk tidak selalu menuntut kepada Allah. Karena
itu, kaum muda dapat belajar bersama Maria cara berdoa yang baik, yaitu doa
yang bersifat penyerahan diri kepada Allah.
Kelima, Maria adalah ibu yang penuh kasih. Karena
kasihnya ia merelakan diri untuk mengandung dan melahirkan Yesus secara
biologis dan mengasuhnya di dalam kebudayaan Yahudi yang taat, suatu budaya
yang pada zaman itu sangat kaku. Dalam tradisi itu, Maria ditantang untuk
menjadi seorang ibu yang pada satu sisi taat kepada hukum Taurat tetapi pada
sisi yang lain ia harus menjadi seorang ibu yang mengasihi.
Bukan tidak mungkin bahwa hukum kasih yang
ditanamkan Maria pada Yesus turut membentuk sikap Yesus yang kritis terhadap
hukum Taurat yang malah menjadi alat untuk mengekang manusia. Bagi Yesus, “bukan
manusia untuk hukum melainkan hukum untuk hukum” (Luk 13:10). Bahasa
kasih yang ditawarkan Yesus tentu tidak muncul begitu saja tanpa
dipengaruhi oleh Maria ibuNya.
Sikap penolakan terhadap hukum biasanya menjadi ciri
khas kaum muda pada umumnya, termasuk kaum muda Katolik. Mereka bahkan selalu
mengambil sikap kontra terhadap hukum yang ada, baik itu hukum sosial maupun
Negara. Mereka pada dasarnya tidak ingin terikat dengan suatu hukum yang formal.
Karena itu melalui kasih yang tercermin dalam diri
seorang Maria, pemuda Katolik menjadi lebih matang dalam menyikap diri di
hadapan hukum, sama seperti Yesus. Yesus pada dasarnya tidak menolak hukum,
yang ditolak adalah konsep tertentu yang menganggap hukum di atas segalanya.
Bagi Yesus hukum adalah sarana bagi kestabilan sosial, bukan sebaliknya menjadi
penentu bagi setiap tindakan sosial. Pada masa sekarang, hukum malah menjadi
momok, yang sengaja menjerat orang pada ketidakadilan.
Keenam, Maria adalah ibu yang suci. Kesucian Maria
tidak semata-mata diperolah melalui perbuatan baik Maria sendiri melainkan
lebih karena sikap imannya kepada Allah. Maria adalah orang yang dianggap suci
karena Ia termasuk golongan yang beriman dan setia kepada Allah. Hal itu juga
berlaku bagi orang Kristen terutama pemuda Katolik.
Para pemuda Katolik biasanya akan cepat merasa
bersalah, merasa minder karena ia banyak melakukan dosa. Padahal bagi orang
Kristen, dosa apapun tidak mengubah sikap Allah kepada manusia. Allah tetap
mengasihi kaum muda sejauh mereka percaya dan beriman kepada Allah sama seperti
Maria.
Kesimpulan
Bagaimanapun juga bentuk dan rupa devosi marial itu
selalu harus didasarkan pada gambaran Maria seperti yang ditampilkan Kitab
Suci. Maria nampak sebagai orang beriman yang merelakan diri bagi Allah dan
karya-Nya. Itulah ciri khas dasar ibu Yesus. Setiap devosi dan setiap teologi
yang melepaskan dasar itu menempuh jalan keliru.
Sebagai orang beriman, Maria menjadi model bagi
semua sebab setiap orang beriman menghayati sikap dasar yang sama dalam dirinya
seadanya dan dalam situasi hidup yang nyata. Tetapi Maria dalam devosi kaum
muda tidak hanya atau bahkan tidak pertama-tama suatu model yang bersifat
ritualistik diteladani.
Maria terutama ibu Yesus yang menampung dan membantu
pemuda Katolik dalam ziarah hidup mereka sehari-hari tetap merupakan bagian
dari pangglian Allah sendiri melalui Roh Kudus sebagai penggerak utama. Meski
terdapat beberapa tafsiran teologis yang hendak menyampingkan Maria, tapi
intinya sama: ibu yesus membantu umatnya, secara khusus kaum muda Katolik. ***
DAFTAR PUSTAKA
Groenan,C. 1988. Mariologi, Teologi dan Devosi.
Yogyakarta: Kanisius.
Musakabe, Herman. 2003. Berkarya dalam kasih dan Iman. Jakarta: Citra
Insan Pembaru.
Musakabe, Herman. 2009. Bunda Maria Pengantara, Pembela dan Penolong Kita.
Bogor: Grafika Mardi Yuana.
Shelton, M. Charles. Spiritualitas Kaum Muda: Bagaimana Mengenal dan
Mengembangkannya. Yogyakarta: Kanisius.
[1] Herman Musakabe. Berkarya dalam kasih dan Iman (Jakarta: Citra Insan
Pembaru, 2003), p. 96.
[2] C. Groenan, Mariologi, Teologi dan Devosi (Yogyakarta: Kanisius, 1988), p.
34.
[3] Herman Musakabe, Op. Cit., p. 77.
[4] Herman Musakabe, Bunda Maria Pengantara, Pembela dan Penolong Kita (Bogor:
Grafika Mardi Yuana, 2009), p. 78.
[5] Charles M. Shelton, Spiritualitas Kaum Muda: Bagaimana Mengenal dan
Mengembangkannya (Yogyakarta: Kanisius, 1987), p. 66.