Mulai dibangun tahun 2018, Bendungan Temef
ditargetkan rampung pada 2024. Dibuat dengan biaya Rp 2,7 triliun, daya tampung
airnya diperkirakan 45,75 juta meter kubik. Bendungan ini berada di perbatasan
Timor Tengah Selatan (TTS) dan Timor Tengah Utara (TTU).
”Selain mengairi irigasi hingga 4.500 hektar di TTS
dan TTU, keberadaannya juga bisa menampung air untuk meminimalkan banjir hingga
Belu dan Malaka melalui Sungai Benanai,” kata Direktur Timor Membangun
Nusantara, Martinus Duan, di Kupang, Kamis (16/11/2023).
Sungai Benanai pernah meluap menerjang jembatan,
merendam pemukiman penduduk, lahan pertanian, dan kematian ratusan ternak di
NTT tahun 2021. Kejadiannya terkait dengan Badai Seroja.
Martinus mengatakan, kehadiran Temef bersama empat
bendungan lainnya diyakini menjadi solusi bagi keterbatasan air di NTT. Empat
bendungan lainnya adalah Rotiklot, Raknamo, Manikin, dan Tilong.
Provinsi NTT memiliki iklim dengan curah hujan
rata-rata 1.200 mm per tahun dengan kondisi wilayah cenderung kering. Sebagian
besar dialami daratan Timor Barat, seperti TTU, TTS, Kabupaten Kupang, Belu,
Malaka, dan Kota Kupang. Air dari emapt bendungan tersebut bisa meminimalkan
dampak itu.
Selain mengairi irigasi hingga 4.500 hektar di TTS
dan TTU, keberadaannya juga bisa menampung air untuk meminimalkan banjir hingga
Belu dan Malaka melalui Sungai Benanai.
”Manfaat air dari Bendungan Temef di Malaka,
misalnya, masyarakat berpotensi menanam jagung, kacang, dan umbi-umbian hingga
tiga kali dalam setahun,” katanya.
Kepala Satuan Kerja Nonvertikal TertentuPembangunan
Bendungan Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II Frengki Welkis mengatakan,
selain irigasi dan mitigasi bencana, Temef juga difungsikan sebagai pembangkit
listrik tenaga air. Potensinya 1 x 2 megawatt. ”Namun, pengembangannya harus
melibatkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,” katanya. *** kompas.com