FOTO BERSAMA - Kepala DP3A NTT, Iien Adriany foto bersama Merry Mardiana dan dua lainnya dalam kegiatan Orientasi Klaster PP KBG PP di Hotel Swiss Belcourt Kupang, Rabu 15 November 2023. |
Kepala Dinas
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi NTT, Iien Adriany
menyampaikan, usai bencana dibutuhkan perhatian khusus dari berbagai pihak
terkait upaya untuk memberi perlindungan terhadap perempuan dan anak.
"Dengan kondisi dan pengawasan yang terbatas,
banyak terjadi hal yang tidak diinginkan, pelecehan dan sebagainya. Kita harus
sepakat dan komit satu hati satu kata, standarnya seperti apa," kata Iien
Adriany dalam kegiatan Orientasi Sub Klaster Pencegahan dan Penanganan Kekerasan
Berbasis Gender dan Pemberdayaan Perempuan (PP KBG PP) di Hotel Swiss Belcourt
Kupang, Rabu 15
November 2023.
Menurutnya, sering terjadi kepanikan ketika
sementara bencana berlangsung, padahal harusnya perlindungan anak dan perempuan
harus dipersiapkan sejak awal. Hal itu terbukti dengan fasilitas pengungsian
yang tidak tersedia dengan baik.
Misalnya, lanjut dia,
tenda pengungsian yang harus dibuat terpisah antara perempuan dan laki-laki,
kondisi toilet atau jamban yang sesuai dan nyaman digunakan, serta penerangan
yang mencukupi.
"Manajemen di lapangan harus diperhatikan,
bencana sudah diatasi, tapi dampak ikutan setelah bencana ternyata ada hal-hal
lain," ujarnya.
Iien menyebutkan, kasus kekerasan yang menimpa
perempuan cukup besar. Berdasarkan data kekerasan SIMFONI PPA Tahun 2023, di
NTT terdapat 339 kekerasan psikis, 411 kekerasan fisik dan 348 kekerasan
seksual.
Menurutnya, potensi kekerasan berbasis gender
berpotensi besar terjadi ketika bencana, karena itu ia berharap ada pencegahan
yang lebih intensif dengan menggandeng mitra lainnya.
"Saya bersyukur tahun ini semua OPD sudah
lakukan perencanaan responsif gender. Jadi kita libatkan semua mitra untuk
sama-sama mencegah hal itu terjadi," ungkapnya.
Sementara itu, Perencana Ahli Madya Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Merry Mardiana menyebutkan,
kekerasan berbasis gender tersebut membahayakan fisik dan psikologi.
Menurutnya, kerentanan kekerasan yang terjadi ketika
bencana diakibatkan oleh tenda yang masih digabung antara perempuan dan
laki-laki.
"Lokasi air yang jauh atau bahkan kadang
kesulitan air, sedangkan perempuan mempunyai keperluan tertentu. Toilet yang
kurang dan dalam kondisi yang memprihatinkan," katanya.
Selain itu, tambahnya, penerangan yang masih kurang.
Dalam keadaan gelap, rentan terjadi kekerasan seksual dan memberatkan perempuan
karena tidak mengetahui siapa pelakunya.
"Kami dari Kementerian juga telah fokus melihat
kebutuhan yang lebih spesifik ketika bencana, yakni ketersediaan pembalut bagi
perempuan," ungkapnya.
Sementara itu Kepala Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Provinsi NTT, Ambrosius Kodo mengatakan NTT berada dalam daerah
rawan bencana.
Yang mana, berdasarkan data Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi, NTT memiliki 25 gunung api. Data tersebut berbeda
dengan yang dimiliki BPBD NTT, yaitu 15 gunung berapi.
"Di catatan
kita 15 gunung api, berarti data kita harus diupdate," kata Ambros.
Ambros menyampaikan, gunung api tersebar dari Alor
hingga Flores, yang suatu waktu dapat erupsi dan mengancam kehidupan di NTT.
Menurutnya, meskipun di Timor dan Sumba tidak ada
gunung api, namun Ambros menegaskan bahwa dampak erupsi juga dapat dirasakan.
"Timor dan Sumba walaupun tidak ada gunung api,
tapi tidak aman karena apabila erupsi kuat, maka bisa terdampak abu vulkanik
juga," katanya.
Ambros pun meminta agar seluruh masyarakat dapat
selalu waspada, sebab erupsi gunung berapi sulit diprediksi.
Disamping itu, kata dia, NTT juga diapit oleh dua
zona penyebab gempa besar, yakni di utara dan selatan. Di bagian utara, yakni
Flores ada potensi gempa 7,5 SR. Sementara di selatan, Sumba ada potensi 8,5
SR.
"Gempa tersebut tidak dapat diprediksi, namun
berpotensi memicu tsunami. Apabila di Flores kekuatannya kecil, namun
episentrumnya dekat dengan darat sehingga jauh beresiko. Sedangkan, di Sumba
sendiri episentrumnya jauh ke laut, karena itu berpotensi tsunami,"
ungkapnya.
"Rawan lainnya adalah kita di ekuator, jadi NTT
juga rawan bencana hidrometeorologi," tambahnya.
Dia menjelaskan, bencana hidrometeorologi sendiri
adalah bencana yang diakibatkan oleh aktivitas cuaca seperti siklus hidrologi,
curah hujan, temperatur, angin dan kelembaban. Bahkan, sesuai data tahun 2022,
terdapat 176 kejadian bencana, dimana diantaranya hidrometeorologi, berupa
banjir sebanyak 59 kali, tanah longsor 45, cuaca ekstrem 21 kali dan kejadian
lainnya.
"Di tahun 2023 sampai Oktober ini ada 117
kejadian dan bencana hidrometeorologis dominan 75 persen," sebutnya.
Selain itu,
lanjutnya, ada pula bencana kekeringan yang mengancam NTT yang menimbulkan
kerugian tidak kecil.
"Bencana yang paling berdampak merusak
lingkungan adalah banjir, sedangkan yang memakan korban jiwa terbanyak ada
gempa bumi dan tsunami," sebutnya.
Ambros menyebutkan, bahkan kerugian yang tercipta
apabila terjadi bencana dapat mencapai Rp 30 triliun. Apabila APBD NTT yang
hanya Rp 5 triliun, maka sekali bencana dapat menyulitkan keuangan daerah
selama 5-6 tahun mendatang.
"Dalam upaya memperhatikan perempuan dan anak
ketika bencana, kami telah berupaya untuk terus memposisikan perempuan dan anak
secara baik dan benar, dengan terus berkoordinasi dengan mitra terkait,"
tutupnya. (cr20). ***