Di masa mudanya, Paulo
Freire menghadapi kelaparan, kemiskinan, dan kesulitan pribadi karena depresi
ekonomi di negaranya. Titik balik dalam hidupnya terjadi ketika AluÃzio Pessoa
de Araújo, kepala sekolah sebuah sekolah menengah memberinya kesempatan untuk
belajar di sekolahnya dengan potongan biaya sekolah. Ini adalah satu-satunya
kesempatan seumur hidupnya untuk mengenyam pendidikan formal.
Untuk membalas kebaikan
ini, Paulo Freire memutuskan untuk mengajar di sekolah yang sama pada tahun
1942. Pada tahun 1947, ia diundang untuk bergabung dengan lembaga pemerintah
bernama Serviço Social da Indústria (SESI) di mana ia mulai bekerja dengan para
pekerja dan petani yang buta huruf di Brasil.
Pengalaman
belajar-mengajarnya selama bertahun-tahun di SESI menuntunnya untuk
mengembangkan metode literasi orang dewasa yang dipraktikkan di seluruh dunia
hingga saat ini. Paulo Freire menulis dan menerbitkan secara luas tentang
tindakan dan refleksinya.
Salah satu karya
terlaris Paulo Freire, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1971, adalah
Pedagogy of Oppressed yang telah terjual lebih dari satu juta kopi di seluruh
dunia. Pada tahun 2018, Bloomsbury menerbitkan edisi ulang tahun ke-50 dengan
kata pengantar dari Noam Chomsky. Buku ini secara luas dianggap bukan sebagai
buku biasa, melainkan sebagai ‘teks transformatif’.
Ada kepentingan baru
dalam membaca kembali buku Freire yang mencerahkan pada saat ini.
Gagasan-gagasan radikalnya layak untuk dipelajari kembali sebab menjadi
inspirasi bagi semua pendidik yang percaya pada keadilan sosial. Pedagogi Kaum
Tertindas (Pedagogy of Oppressed) tetap relevan karena memimpikan tatanan
sosial yang egaliter, inklusif, dan adil melalui pendidikan yang terpecah belah
secara sosial, terlepas dari kemiskinan, pengangguran, dan ketidaksetaraan.
Ketidaksetaraan
sosial-ekonomi seperti ini semakin memburuk di banyak negara termasuk
Indonesia. Selain itu, masyarakat pasca-kolonial seperti masyarakat kita telah
mewarisi aparatus pendidikan kolonial yang terputus dari kehidupan masyarakat
mayoritas mereka.
Dalam konteks ini,
perlu dicatat bahwa beberapa komentar telah menunjukkan bahwa kadang-kadang
lembaga-lembaga keuangan internasional, dalam ‘perspektif pseudo-Freirean’,
bekerja untuk memperkuat struktur penindasan yang ada dalam masyarakat yang
timpang, bukannya membebaskan para petani di Dunia Ketiga dari dominasi kapital
swasta.
Pembacaan terhadap
karya-karya asli Freire sangat berharga untuk mengkonseptualisasikan kembali
pendidikan yang otentik untuk mengubah masyarakat menuju humanisasi, keadilan
sosial, dan pemberdayaan kaum miskin.
Artikel ini mencoba
memahami tiga istilah inti kosakata Freirean: pendidikan perbankan, pendidikan
penyelesaian masalah, dan dialog, sebagaimana disajikan dalam buku
termasyurnya.
Konsep Pendidikan Perbankan
Freire menyadari bahwa
satu-satunya tujuan pendidikan pada masanya adalah untuk memberikan informasi
kepada para siswa yang dianggap sebagai makhluk pasif, atau bejana kosong.
Pengajaran dipandang sebagai tugas penimbunan informasi atas nama pengetahuan.
Guru yang berpengetahuan luas seharusnya menyimpan pengetahuan tersebut di
dalam pikiran siswa, seperti proses perbankan.
Kapasitas pendidikan
perbankan untuk meminimalkan atau membatalkan daya kreatifitas siswa dan untuk
menstimulasi kepercayaan mereka melayani kepentingan para penindas, yang tidak
peduli dengan dunia yang terungkap atau melihat dunia berubah.
Pendidikan semacam itu
bersifat apolitis dan tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat miskin di
pedesaan dan perkotaan untuk mengangkat masalah mereka sendiri ‘dalam hal
pertanian, kesehatan, mata pencaharian, dan kepemilikan faktor-faktor
produksi’.
Freire percaya bahwa
pendidikan adalah alat yang digunakan oleh para penindas untuk mempertahankan
kekuasaan mereka atas kaum tertindas dengan menjadikan mereka sebagai penerima
yang lemah lembut dari ide-ide yang melegitimasi status quo ketidaksetaraan
dalam masyarakat.
Pendidikan problem-posing
(hadap masalah)
Freire, seorang
aktivis, menawarkan sebuah penangkal: pendidikan problem-posing, sebagai
pembebasan dari efek dehumanisasi pendidikan perbankan. Pendidikan problem
posing, alih-alih berpusat pada pengetahuan dari buku teks, mengasumsikan
realitas sebagai proses transformasi yang dinamis yang membahas masalah-masalah
langsung yang dihadapi oleh orang-orang di lingkungan mereka sendiri. Ia
menulis:
Metode Pendidikan
problem-posing tidak mendikotomikan aktivitas guru-murid: guru tidak hanya
‘kognitif’ di satu titik dan ‘naratif’ di titik lainnya. Dia selalu ‘kognitif’,
baik saat menyiapkan proyek atau berdialog dengan siswa. Dia tidak menganggap
objek yang dapat dikenali sebagai milik pribadinya, tetapi sebagai objek
refleksi bagi dirinya sendiri dan para siswa.
Dalam pendekatan
pedagogis ini, masalah dari dunia luar disajikan kepada siswa sebagai isi
pendidikan. Baik siswa maupun guru mencari cara untuk memecahkan
masalah-masalah tersebut. Freire tidak melihat pendidikan hanya sebagai
penguasaan standar akademis atau keterampilan yang mempersiapkan ‘profesional’,
tetapi sebagai proses memanusiakan manusia yang mengembangkan siswa yang
memahami masalah sosial mereka dan menemukan diri mereka sendiri sebagai agen
yang kreatif. Pendidikan semacam itu mengubah siswa dari objek menjadi subjek
dari proses pendidikan dengan mengatasi otoritarianisme dan persepsi yang salah
tentang realitas.
Dialog
Fondasi dari pendidikan
hadap masalah adalah dialog Freirean. Pendidikan yang mengajukan masalah hanya
bisa bersifat dialogis karena harus didasarkan pada dialog yang bermakna
tentang kehidupan nyata dan permasalahannya antara guru dan siswa. Tidak
seperti pendidikan perbankan, pendidikan ini tidak hanya bersifat intelektual
atau tekstual, tetapi pendidikan yang mampu menyelesaikan kontradiksi antara
guru dan siswa berlangsung dalam situasi di mana keduanya mengarahkan tindakan
kognisi mereka pada objek yang dimediasinya. Dengan demikian, karakter dialogis
pendidikan sebagai praktik kebebasan tidak dimulai ketika guru-siswa bertemu
dengan guru-siswa dalam situasi pedagogis, melainkan ketika guru-siswa
pertama-tama bertanya pada dirinya sendiri tentang apa dialognya dengan
guru-siswa tersebut.
Freire bahkan menyebut
dialog sebagai kebutuhan eksistensial. Baginya keberadaan manusia tidak pernah
bisa diam karena hidup manusiawi berarti berbicara satu sama lain dan
bersama-sama mentransformasikan dunia. Penting untuk mematahkan budaya diam
yang tersirat dalam model pendidikan perbankan yang mengarah pada praktik
pendidikan yang melibatkan tindakan dunia nyata di luar dunia pengetahuan
tekstual yang apolitis dan abstrak.
Praktik pendidikan
dalam masyarakat pascakolonial
Para pendidik Freirean
dihadapkan pada hubungan kompleks antara politik, sejarah dan perubahan sosial.
Sebagian besar masyarakat pasca-kolonial seperti Indonesia telah melembagakan
model pendidikan sekolah perbankan yang ditandai dengan kurikulum sekolah yang
telah ditentukan sebelumnya dan dibingkai secara ketat, yang sebagian besar
tidak peduli dengan realitas manusia.
Guru diharapkan
mentransaksikan banyak bab dari beberapa buku pelajaran dari banyak mata
pelajaran sekolah. Bab-bab ini merupakan kredit yang harus ditaruh di bank
tempat mahasiswa tersebut berada.
Kementerian Pendidikan,
yang berfungsi sebagai badan sertifikasi dan penetapan standar, mengharapkan
siswa memiliki pemahaman dasar tentang materi yang dibahas dalam bab-bab ini.
Nada suaranya cenderung anti dialogis ketika guru mengajar dan siswa diajar.
Guru berbicara dan
siswa mendengarkan; guru menyajikan ilmu disiplin dan siswa mengikutinya. Guru
tetap menjadi subjek dalam proses pembelajaran, sedangkan siswa menjadi
objeknya.
Freire tidak
mempercayai kurikulum sekolah formal, karena menurutnya pendidikan harus
didasarkan pada tema generatif dari kehidupan nyata siswa. Eksplorasi tema-tema
tersebut hendaknya bersifat dialogis yang dapat memberikan kesempatan untuk
merangsang kesadaran peserta didik mengenai tema-tema tersebut.
Pendidikan hadap
masalah bertujuan untuk memerdekakan manusia, yang langkah pertama adalah
mematahkan otoritarianisme antara guru dan siswa, yang tidak mungkin dilakukan
dalam model transmisi pendidikan perbankan. Sistem pendidikan di sebagian besar
masyarakat mengikuti hubungan vertikal antara guru dan siswa di mana komunikasi
(bukan dialog) dilakukan antara guru-dari-siswa dan siswa-siswa-guru sehingga
meniadakan pedagogi harapan. Namun dengan membaca Freire, diharapkan terus
menghidupkan impian pendidikan untuk keadilan sosial di kalangan pendidik di
seluruh dunia.*