Pendidikan, Sekolah dan Perubahan Sosial dalam Kacamata Pemikiran Paulo Freire

Pendidikan, Sekolah dan Perubahan Sosial dalam Kacamata Pemikiran Paulo Freire



Suara Numbei News - Paulo Reglus Neves Freire lahir dari keluarga kelas menengah di Recife, sebuah negara bagian Pernambuco di timur laut Brasil. Pengalaman hidup filsuf Amerika Selatan, Paulo Freire (1921-1997), turut membentuk visinya tentang pendidikan.

Di masa mudanya, Paulo Freire menghadapi kelaparan, kemiskinan, dan kesulitan pribadi karena depresi ekonomi di negaranya. Titik balik dalam hidupnya terjadi ketika Aluízio Pessoa de Araújo, kepala sekolah sebuah sekolah menengah memberinya kesempatan untuk belajar di sekolahnya dengan potongan biaya sekolah. Ini adalah satu-satunya kesempatan seumur hidupnya untuk mengenyam pendidikan formal.

Untuk membalas kebaikan ini, Paulo Freire memutuskan untuk mengajar di sekolah yang sama pada tahun 1942. Pada tahun 1947, ia diundang untuk bergabung dengan lembaga pemerintah bernama Serviço Social da Indústria (SESI) di mana ia mulai bekerja dengan para pekerja dan petani yang buta huruf di Brasil.

Pengalaman belajar-mengajarnya selama bertahun-tahun di SESI menuntunnya untuk mengembangkan metode literasi orang dewasa yang dipraktikkan di seluruh dunia hingga saat ini. Paulo Freire menulis dan menerbitkan secara luas tentang tindakan dan refleksinya.

Salah satu karya terlaris Paulo Freire, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1971, adalah Pedagogy of Oppressed yang telah terjual lebih dari satu juta kopi di seluruh dunia. Pada tahun 2018, Bloomsbury menerbitkan edisi ulang tahun ke-50 dengan kata pengantar dari Noam Chomsky. Buku ini secara luas dianggap bukan sebagai buku biasa, melainkan sebagai ‘teks transformatif’.

Ada kepentingan baru dalam membaca kembali buku Freire yang mencerahkan pada saat ini. Gagasan-gagasan radikalnya layak untuk dipelajari kembali sebab menjadi inspirasi bagi semua pendidik yang percaya pada keadilan sosial. Pedagogi Kaum Tertindas (Pedagogy of Oppressed) tetap relevan karena memimpikan tatanan sosial yang egaliter, inklusif, dan adil melalui pendidikan yang terpecah belah secara sosial, terlepas dari kemiskinan, pengangguran, dan ketidaksetaraan.

Ketidaksetaraan sosial-ekonomi seperti ini semakin memburuk di banyak negara termasuk Indonesia. Selain itu, masyarakat pasca-kolonial seperti masyarakat kita telah mewarisi aparatus pendidikan kolonial yang terputus dari kehidupan masyarakat mayoritas mereka.

Dalam konteks ini, perlu dicatat bahwa beberapa komentar telah menunjukkan bahwa kadang-kadang lembaga-lembaga keuangan internasional, dalam ‘perspektif pseudo-Freirean’, bekerja untuk memperkuat struktur penindasan yang ada dalam masyarakat yang timpang, bukannya membebaskan para petani di Dunia Ketiga dari dominasi kapital swasta.

Pembacaan terhadap karya-karya asli Freire sangat berharga untuk mengkonseptualisasikan kembali pendidikan yang otentik untuk mengubah masyarakat menuju humanisasi, keadilan sosial, dan pemberdayaan kaum miskin.

Artikel ini mencoba memahami tiga istilah inti kosakata Freirean: pendidikan perbankan, pendidikan penyelesaian masalah, dan dialog, sebagaimana disajikan dalam buku termasyurnya.

Konsep Pendidikan Perbankan

Freire menyadari bahwa satu-satunya tujuan pendidikan pada masanya adalah untuk memberikan informasi kepada para siswa yang dianggap sebagai makhluk pasif, atau bejana kosong. Pengajaran dipandang sebagai tugas penimbunan informasi atas nama pengetahuan. Guru yang berpengetahuan luas seharusnya menyimpan pengetahuan tersebut di dalam pikiran siswa, seperti proses perbankan.

Kapasitas pendidikan perbankan untuk meminimalkan atau membatalkan daya kreatifitas siswa dan untuk menstimulasi kepercayaan mereka melayani kepentingan para penindas, yang tidak peduli dengan dunia yang terungkap atau melihat dunia berubah.

Pendidikan semacam itu bersifat apolitis dan tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan untuk mengangkat masalah mereka sendiri ‘dalam hal pertanian, kesehatan, mata pencaharian, dan kepemilikan faktor-faktor produksi’.

Freire percaya bahwa pendidikan adalah alat yang digunakan oleh para penindas untuk mempertahankan kekuasaan mereka atas kaum tertindas dengan menjadikan mereka sebagai penerima yang lemah lembut dari ide-ide yang melegitimasi status quo ketidaksetaraan dalam masyarakat.

Pendidikan problem-posing (hadap masalah)

Freire, seorang aktivis, menawarkan sebuah penangkal: pendidikan problem-posing, sebagai pembebasan dari efek dehumanisasi pendidikan perbankan. Pendidikan problem posing, alih-alih berpusat pada pengetahuan dari buku teks, mengasumsikan realitas sebagai proses transformasi yang dinamis yang membahas masalah-masalah langsung yang dihadapi oleh orang-orang di lingkungan mereka sendiri. Ia menulis:

Metode Pendidikan problem-posing tidak mendikotomikan aktivitas guru-murid: guru tidak hanya ‘kognitif’ di satu titik dan ‘naratif’ di titik lainnya. Dia selalu ‘kognitif’, baik saat menyiapkan proyek atau berdialog dengan siswa. Dia tidak menganggap objek yang dapat dikenali sebagai milik pribadinya, tetapi sebagai objek refleksi bagi dirinya sendiri dan para siswa.

Dalam pendekatan pedagogis ini, masalah dari dunia luar disajikan kepada siswa sebagai isi pendidikan. Baik siswa maupun guru mencari cara untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Freire tidak melihat pendidikan hanya sebagai penguasaan standar akademis atau keterampilan yang mempersiapkan ‘profesional’, tetapi sebagai proses memanusiakan manusia yang mengembangkan siswa yang memahami masalah sosial mereka dan menemukan diri mereka sendiri sebagai agen yang kreatif. Pendidikan semacam itu mengubah siswa dari objek menjadi subjek dari proses pendidikan dengan mengatasi otoritarianisme dan persepsi yang salah tentang realitas.

Dialog

Fondasi dari pendidikan hadap masalah adalah dialog Freirean. Pendidikan yang mengajukan masalah hanya bisa bersifat dialogis karena harus didasarkan pada dialog yang bermakna tentang kehidupan nyata dan permasalahannya antara guru dan siswa. Tidak seperti pendidikan perbankan, pendidikan ini tidak hanya bersifat intelektual atau tekstual, tetapi pendidikan yang mampu menyelesaikan kontradiksi antara guru dan siswa berlangsung dalam situasi di mana keduanya mengarahkan tindakan kognisi mereka pada objek yang dimediasinya. Dengan demikian, karakter dialogis pendidikan sebagai praktik kebebasan tidak dimulai ketika guru-siswa bertemu dengan guru-siswa dalam situasi pedagogis, melainkan ketika guru-siswa pertama-tama bertanya pada dirinya sendiri tentang apa dialognya dengan guru-siswa tersebut.

Freire bahkan menyebut dialog sebagai kebutuhan eksistensial. Baginya keberadaan manusia tidak pernah bisa diam karena hidup manusiawi berarti berbicara satu sama lain dan bersama-sama mentransformasikan dunia. Penting untuk mematahkan budaya diam yang tersirat dalam model pendidikan perbankan yang mengarah pada praktik pendidikan yang melibatkan tindakan dunia nyata di luar dunia pengetahuan tekstual yang apolitis dan abstrak.

Praktik pendidikan dalam masyarakat pascakolonial

Para pendidik Freirean dihadapkan pada hubungan kompleks antara politik, sejarah dan perubahan sosial. Sebagian besar masyarakat pasca-kolonial seperti Indonesia telah melembagakan model pendidikan sekolah perbankan yang ditandai dengan kurikulum sekolah yang telah ditentukan sebelumnya dan dibingkai secara ketat, yang sebagian besar tidak peduli dengan realitas manusia.

Guru diharapkan mentransaksikan banyak bab dari beberapa buku pelajaran dari banyak mata pelajaran sekolah. Bab-bab ini merupakan kredit yang harus ditaruh di bank tempat mahasiswa tersebut berada.

Kementerian Pendidikan, yang berfungsi sebagai badan sertifikasi dan penetapan standar, mengharapkan siswa memiliki pemahaman dasar tentang materi yang dibahas dalam bab-bab ini. Nada suaranya cenderung anti dialogis ketika guru mengajar dan siswa diajar.

Guru berbicara dan siswa mendengarkan; guru menyajikan ilmu disiplin dan siswa mengikutinya. Guru tetap menjadi subjek dalam proses pembelajaran, sedangkan siswa menjadi objeknya.

Freire tidak mempercayai kurikulum sekolah formal, karena menurutnya pendidikan harus didasarkan pada tema generatif dari kehidupan nyata siswa. Eksplorasi tema-tema tersebut hendaknya bersifat dialogis yang dapat memberikan kesempatan untuk merangsang kesadaran peserta didik mengenai tema-tema tersebut.

Pendidikan hadap masalah bertujuan untuk memerdekakan manusia, yang langkah pertama adalah mematahkan otoritarianisme antara guru dan siswa, yang tidak mungkin dilakukan dalam model transmisi pendidikan perbankan. Sistem pendidikan di sebagian besar masyarakat mengikuti hubungan vertikal antara guru dan siswa di mana komunikasi (bukan dialog) dilakukan antara guru-dari-siswa dan siswa-siswa-guru sehingga meniadakan pedagogi harapan. Namun dengan membaca Freire, diharapkan terus menghidupkan impian pendidikan untuk keadilan sosial di kalangan pendidik di seluruh dunia.*

 


 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama