Dengan satu klik dan
ditambah sedikit bahasa provokatif, sekejap video itu viral di media sosial.
Hal ini memicu kemarahan para pecinta hewan dan mendesak pihak Plaza Indonesia
untuk bersikap tegas.
Namun belakangan
diketahui ternyata, alasan dibalik satpam memukul anjing itu lantaran menerkam
seekor anak kucing. Ia berusaha menyelamatkan dan melindungi anak kucing
tersebut. Fakta itu dikuatkan dengan video rekaman CCTV yang ada di lokasi.
Seringkali di era pasca
kebenaran ini, kebenaran menjadi kabur atau memang dengan sengaja dikaburkan.
Kita sulit membedakan antara fakta dan fiksi. Banyak orang tak peduli lagi
apakah itu sebuah fakta atau bukan, pada intinya bagi pengguna media sosial
adalah realitas keviralan.
Sebagaimana kesadaran
Descartes, aku berpikir maka aku ada maka di era digital ini,
kesadaran itu dipelesetkan menjadi aku viral maka aku ada. Seorang
dikatakan bereksistensi jika ia pandai menggunakan gawai. Kesadarannya bukan
lagi aku yang berpikir tetapi aku klik.
Perspektivisme Kebenaran
Manusia terdorong untuk
menguasai kebenaran menurut perspektifnya meskipun perspektinya sangat lemah
untuk dibuktikan sebagai sebuah kebenaran. Hal ini senada dengan apa yang
dikatakan oleh Frederich Nietzsche, filsuf Jerman abad ke-19. Baginya tidak ada
kebenaran absolut, yang ada hanya interpretasi.
Ia menyatakan bahwa
setiap klaim dan keyakinan bahkan filsafat pun terikat pada suatu perspektif
dan oleh karena itu bersifat subyektif. Dalam masyarakat yang didorong oleh
teknologi saat ini, di mana berita palsu dan misinformasi merajalela,
perspektiftivisme memiliki kejelasan yang mengkhawatirkan.
Dunia digital dipenuhi
dengan beragam perspektif, namun batas antara fakta dan fiksi sering kali
kabur. Dualitas ini memerlukan pandangan yang tajam untuk menavigasi labirin
narasi digital dan mencapai interpretasi individu terhadap kebenaran.
Keinginan Untuk Berkuasa
Dalam kerangka
Nietzsche, “keinginan untuk berkuasa” adalah dorongan mendasar dalam
diri manusia, suatu kekuatan naluri yang memaksa kita untuk berjuang mencapai
posisi tertinggi dalam hidup. Saat ini, teknologi dan platform digital
menawarkan jalur yang dipercepat untuk mencapai tujuan tersebut.
Platform media sosial
seperti Facebook, Instagram atau Twitter memungkinkan individu untuk menyajikan
versi kehidupan untuk mendapatkan pengakuan, pengaruh, dengan memanfaatkan
kekuatan digital. Nietzsche mungkin melihat ini sebagai ekspresi keinginan
untuk berkuasa. Namun, dia mungkin juga mempertanyakan autentisitas upaya ini,
mengingat kekhawatirannya tentang ilusi dan penipuan diri sendiri.
Dunia digital telah
menciptakan kebebasan baru di mana siapa pun yang memiliki koneksi internet
dapat mengakses informasi, membuat konten dan menentang kebijakan konvensional.
Namun, dengan kebebasan ini muncul tanggung jawab untuk menavigasi kebenaran
dan informasi yang salah, sebuah dinamika yang membawa kita pada eksplorasi
kebenaran Nietzsche.
Filsafat Nietzsche
menawarkan wawasan mendalam yang terus menerangi eksistensi manusia, bahkan di
tengah kekacauan digital abad ke-21. Dunia yang dipenuhi teknologi, penuh
dengan segudang peluang dan tantangan, tampaknya menggemakan pernyataan
Nietzsche tentang kekuasaan dan kebenaran bahkan moralitas.
Seiring kita terjebak
dalam kubangan lautan digital, kita mesti kembali pada petuah atau nasehat
Nietzsche. Sebagaimana ia mengatakan demikian” “To become who we truly are.”
Ini merupakan sebuah
seruan untuk menjadi autentik, sebuah karakteristik yang sering kali tertahan
dalam identitas digital kita. Saat kita berjuang untuk mendapatkan kekuasaan di
dunia digital, bergulat dengan perubahan kebenaran dan menegosiasikan posisi
kita di dunia teknokratis, kita juga harus berjuang untuk realisasi diri dan
autentisitas diri kita.
Sama seperti Nietzsche
yang berusaha mengkritik dan membentuk kembali narasi dominan pada masanya,
kita juga harus siap untuk terlibat secara kritis dengan teknologi yang
membentuk masyarakat kita. Dengan melakukan hal ini, kita mengambil alih
kendali “keinginan untuk berkuasa” yang diusung Nietzsche, mendefinisikan kembali
peran kita dari sekedar konsumen menjadi partisipan yang aktif dan sadar diri
di arena digital.*