Catatan Pinggir Setapak Rai Numbei : Keinginan Untuk Berkuasa di Zaman Digital

Catatan Pinggir Setapak Rai Numbei : Keinginan Untuk Berkuasa di Zaman Digital



Suara Numbei News - Beberapa Minggu yang lalu, seorang satpam sebuah mall di Jakarta dipecat akibat keisengan jempol nakal seorang pengguna gawai yang merekam satpam itu tengah memukul seekor anjing. Tanpa berpikir panjang sorot kamera berhasil merekam pristiwa itu.

Dengan satu klik dan ditambah sedikit bahasa provokatif, sekejap video itu viral di media sosial. Hal ini memicu kemarahan para pecinta hewan dan mendesak pihak Plaza Indonesia untuk bersikap tegas.

Namun belakangan diketahui ternyata, alasan dibalik satpam memukul anjing itu lantaran menerkam seekor anak kucing. Ia berusaha menyelamatkan dan melindungi anak kucing tersebut. Fakta itu dikuatkan dengan video rekaman CCTV yang ada di lokasi.

Seringkali di era pasca kebenaran ini, kebenaran menjadi kabur atau memang dengan sengaja dikaburkan. Kita sulit membedakan antara fakta dan fiksi. Banyak orang tak peduli lagi apakah itu sebuah fakta atau bukan, pada intinya bagi pengguna media sosial adalah realitas keviralan.

Sebagaimana kesadaran Descartes, aku berpikir maka aku ada maka di era digital ini, kesadaran itu dipelesetkan menjadi aku viral maka aku ada. Seorang dikatakan bereksistensi jika ia pandai menggunakan gawai. Kesadarannya bukan lagi aku yang berpikir tetapi aku klik.

Perspektivisme Kebenaran

Manusia terdorong untuk menguasai kebenaran menurut perspektifnya meskipun perspektinya sangat lemah untuk dibuktikan sebagai sebuah kebenaran. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Frederich Nietzsche, filsuf Jerman abad ke-19. Baginya tidak ada kebenaran absolut, yang ada hanya interpretasi.

Ia menyatakan bahwa setiap klaim dan keyakinan bahkan filsafat pun terikat pada suatu perspektif dan oleh karena itu bersifat subyektif. Dalam masyarakat yang didorong oleh teknologi saat ini, di mana berita palsu dan misinformasi merajalela, perspektiftivisme memiliki kejelasan yang mengkhawatirkan.

Dunia digital dipenuhi dengan beragam perspektif, namun batas antara fakta dan fiksi sering kali kabur. Dualitas ini memerlukan pandangan yang tajam untuk menavigasi labirin narasi digital dan mencapai interpretasi individu terhadap kebenaran.

Keinginan Untuk Berkuasa

Dalam kerangka Nietzsche, “keinginan untuk berkuasa” adalah dorongan mendasar dalam diri manusia, suatu kekuatan naluri yang memaksa kita untuk berjuang mencapai posisi tertinggi dalam hidup. Saat ini, teknologi dan platform digital menawarkan jalur yang dipercepat untuk mencapai tujuan tersebut.

Platform media sosial seperti Facebook, Instagram atau Twitter memungkinkan individu untuk menyajikan versi kehidupan untuk mendapatkan pengakuan, pengaruh, dengan memanfaatkan kekuatan digital. Nietzsche mungkin melihat ini sebagai ekspresi keinginan untuk berkuasa. Namun, dia mungkin juga mempertanyakan autentisitas upaya ini, mengingat kekhawatirannya tentang ilusi dan penipuan diri sendiri.

Dunia digital telah menciptakan kebebasan baru di mana siapa pun yang memiliki koneksi internet dapat mengakses informasi, membuat konten dan menentang kebijakan konvensional. Namun, dengan kebebasan ini muncul tanggung jawab untuk menavigasi kebenaran dan informasi yang salah, sebuah dinamika yang membawa kita pada eksplorasi kebenaran Nietzsche.

Filsafat Nietzsche menawarkan wawasan mendalam yang terus menerangi eksistensi manusia, bahkan di tengah kekacauan digital abad ke-21. Dunia yang dipenuhi teknologi, penuh dengan segudang peluang dan tantangan, tampaknya menggemakan pernyataan Nietzsche tentang kekuasaan dan kebenaran bahkan moralitas.

Seiring kita terjebak dalam kubangan lautan digital, kita mesti kembali pada petuah atau nasehat Nietzsche. Sebagaimana ia mengatakan demikian” “To become who we truly are.”

Ini merupakan sebuah seruan untuk menjadi autentik, sebuah karakteristik yang sering kali tertahan dalam identitas digital kita. Saat kita berjuang untuk mendapatkan kekuasaan di dunia digital, bergulat dengan perubahan kebenaran dan menegosiasikan posisi kita di dunia teknokratis, kita juga harus berjuang untuk realisasi diri dan autentisitas diri kita.

Sama seperti Nietzsche yang berusaha mengkritik dan membentuk kembali narasi dominan pada masanya, kita juga harus siap untuk terlibat secara kritis dengan teknologi yang membentuk masyarakat kita. Dengan melakukan hal ini, kita mengambil alih kendali “keinginan untuk berkuasa” yang diusung Nietzsche, mendefinisikan kembali peran kita dari sekedar konsumen menjadi partisipan yang aktif dan sadar diri di arena digital.*

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama