Dalam pertimbangannya,
Damanik menyatakan bahwa tidak ada saksi yang melihat secara langsung Ronald
Tanur berniat menganiaya atau membunuh korban. Putusan ini menuai kontroversi
dan menjadi perhatian Komisi Yudisial.
Sebelum kasus Ronald
Tanur, ketiga hakim ini telah menangani beberapa kasus besar. Erintuah Damanik
pernah menjadi ketua majelis hakim yang memvonis mati terdakwa Zuraida dalam
kasus pembunuhan Hakim PN Medan Jamaluddin pada tahun 2019. Ia juga pernah
menolak praperadilan yang diajukan empat tersangka kasus suap mantan Gubernur
Sumatera Utara, Gatot Pudjo Nugroho.
Mangapul sebelumnya
menjadi bagian dari majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara
Kanjuruhan Malang. Dalam kasus tersebut, Mangapul dan rekan-rekannya
menjatuhkan vonis bebas terhadap dua terdakwa, namun putusan ini kemudian
dianulir oleh Mahkamah Agung.
Heru Hanindyo pernah
mengadili gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang diajukan
oleh My Indo Airlines (MYIA) kepada Garuda Indonesia pada Oktober 2021 sebagai
ketua majelis hakim. Gugatan tersebut ditolak. Ia juga tergabung dalam susunan
majelis hakim yang mengabulkan gugatan perdata KLHK terhadap PT Agri Bumi
Sentosa pada Januari 2023.
Menariknya, ketiga
hakim ini memiliki aset yang cukup besar. Erintuah Damanik melaporkan harta
kekayaan senilai Rp8.055.000.000 pada 16 Januari 2023. Mangapul melaporkan
harta kekayaan sebesar Rp1.316.900.000 pada 11 Januari 2024. Sementara itu,
Heru Hanindyo memiliki harta kekayaan sejumlah Rp6.716.586.892 berdasarkan
laporan tertanggal 19 Januari 2024.
Keterlibatan ketiga
hakim ini dalam kasus Ronald Tanur dan putusan kontroversial yang dihasilkan
telah memicu penyelidikan oleh Komisi Yudisial. Kasus ini menjadi sorotan
publik dan menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan profesionalisme dalam
sistem peradilan Indonesia.
Analisis Putusan Kontroversial
Putusan majelis hakim
Pengadilan Negeri Surabaya dalam kasus Gregorius Ronald Tannur telah
menimbulkan kontroversi yang luas. Hakim Erintuah Damanik, yang memimpin
majelis hakim, menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan . Mereka menolak
dakwaan jaksa penuntut umum yang mengacu pada Pasal 338 KUHP, Pasal 351 ayat
(3) KUHP, dan Pasal 359 KUHP .
Dalam pertimbangannya,
hakim berpendapat bahwa kematian korban, Dini Sera Afriyanti, bukan disebabkan
oleh luka dalam yang dialami akibat dugaan penganiayaan oleh terdakwa.
Sebaliknya, hakim menyimpulkan bahwa kematian korban disebabkan oleh konsumsi
minuman beralkohol yang berlebihan. Hakim Erintuah menyatakan, "Kematian
Dini bukan karena luka dalam pada hatinya. Tetapi, karena ada penyakit lain
disebabkan minum-minuman beralkohol saat karaoke sehingga mengakibatkan
meninggalnya Dini".
Keputusan majelis hakim
untuk membebaskan Ronald Tannur telah menuai kritik keras dari berbagai pihak,
terutama dari pihak kejaksaan. Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Mia Amiati,
mengungkapkan kekecewaannya terhadap putusan tersebut. Ia menegaskan bahwa
jaksa penuntut umum telah mengajukan tuntutan berdasarkan bukti visum, namun
hal ini tampaknya diabaikan oleh majelis hakim.
Salah satu bukti kunci
yang diabaikan adalah rekaman CCTV yang memperlihatkan tubuh korban terlindas
mobil yang dikemudikan oleh terdakwa. Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Surabaya,
Ali Prakosa, menyoroti bahwa majelis hakim mengabaikan bukti penting ini. Bukti
visum dan rekaman CCTV menjadi dasar utama bagi jaksa untuk mengajukan kasasi,
mengingat kedua bukti tersebut tidak dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim
Pengadilan Negeri Surabaya.
Putu Arya Wibisana,
Kepala Seksi Intelijen Kejari Surabaya, mengungkapkan bahwa ada dua hal utama
yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan pembebasan terdakwa. Pertama,
hakim menyimpulkan bahwa korban meninggal karena cairan alkohol yang ditemukan
di dalam lambungnya. Kedua, tidak ada saksi yang secara langsung menyaksikan
penganiayaan yang dilakukan terdakwa dan menyebabkan kematian korban.
Namun, pihak kejaksaan
menekankan bahwa hasil visum menunjukkan adanya luka di bagian organ hati
korban akibat benda tumpul. Selain itu, rekaman video CCTV juga dengan jelas
memperlihatkan korban dilindas mobil yang dikemudikan oleh terdakwa. Meskipun
tidak ada saksi mata langsung, jaksa berpendapat bahwa bukti CCTV seharusnya
menjadi pertimbangan penting dalam kasus ini.
Putusan kontroversial
ini telah memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk anggota DPR RI,
khususnya dari Komisi III. Beberapa anggota DPR, seperti Habiburokhman, Ahmad
Sahroni, Sufmi Dasco Ahmad, dan Rieke Diah Pitaloka, menyatakan kemarahan
mereka dan berkomitmen untuk membantu keluarga korban.
Namun, sikap DPR,
khususnya Komisi III, dalam kasus Ronald Tanur ini menimbulkan pertanyaan
tentang konsistensi mereka dalam menyuarakan keadilan. Beberapa pengamat
mencatat bahwa sikap serupa tidak ditunjukkan dalam kasus-kasus lain, seperti
kasus Vina Cirebon, Afif Maulana, Pegi Setiawan, dan Saka Tatal. Bahkan dalam
kasus Ferdi Sambo, di mana terpidana adalah anggota kepolisian, reaksi DPR
tidak sekeras dalam kasus Ronald Tanur.
Komisi Yudisial (KY)
telah mengambil langkah proaktif dengan menggunakan hak inisiatifnya untuk
memeriksa majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang membebaskan Ronald
Tannur. Mukti, perwakilan KY, menegaskan bahwa langkah ini bukan untuk menilai
benar atau tidaknya vonis yang dijatuhkan, melainkan untuk menyelidiki
kemungkinan adanya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
KY juga membuka
kesempatan bagi publik untuk melaporkan dugaan pelanggaran kode etik hakim jika
ada bukti-bukti pendukung. Hal ini memungkinkan kasus tersebut dapat
ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur yang berlaku. Langkah ini menunjukkan
upaya untuk menjaga integritas sistem peradilan dan memastikan bahwa keadilan
ditegakkan secara konsisten.
Komisi Yudisial (KY)
telah mengambil langkah tegas dalam menanggapi kasus kontroversial yang
melibatkan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang memvonis bebas terdakwa
Gregorius Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti. Respons KY
ini mencakup proses pemeriksaan yang menyeluruh, dasar hukum yang digunakan
untuk pemecatan, dan sanksi yang akhirnya dijatuhkan kepada para hakim
tersebut.
KY memulai proses
pemeriksaan setelah menerima laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim (KEPPH) yang dilayangkan oleh keluarga Dini Sera, yakni ayah dan
adiknya, yang didampingi kuasa hukum Dimas Yemahura. Mukti, juru bicara KY,
menjelaskan bahwa setiap laporan yang masuk ke KY akan melewati proses
administrasi terlebih dahulu, diikuti dengan analisis laporan dari hasil
investigasi, dokumen, dan keterangan saksi yang ada.
Tim Investigasi KY
telah melakukan pemeriksaan terhadap tiga hakim PN Surabaya di Pengadilan
Tinggi Surabaya. Pemeriksaan ini berlangsung selama kurang lebih lima jam dan
dilakukan secara menyeluruh, terutama terkait ada atau tidaknya pelanggaran
selama proses sidang terhadap Ronald Tannur. Mukti Fajar Nur Dewata, anggota
sekaligus Juru Bicara KY, menegaskan bahwa hasil pemeriksaan ini akan diumumkan
dalam sidang pleno KY.
Selama proses
pemeriksaan, KY juga mengumpulkan data terkait perkara tersebut. Namun, data
yang telah dihimpun KY belum bisa disampaikan secara terbuka kepada publik
karena bersifat tertutup. Ketua KY, Andi Samsan Nganro, mengungkapkan bahwa ada
temuan baru yang didapatkan selama pemeriksaan, namun temuan tersebut masih
perlu dikaji lebih lanjut sebelum memutuskan langkah selanjutnya.
Dasar Hukum Pemecatan
Keputusan KY untuk
memecat ketiga hakim tersebut didasarkan pada sejumlah temuan penting. Joko,
perwakilan KY, memaparkan bahwa para hakim terbukti membacakan fakta-fakta
hukum dan pertimbangan hukum terkait unsur-unsur pasal dakwaan yang berbeda
antara yang dibacakan di persidangan dengan yang tercantum dalam salinan
putusan perkara Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby.
Selain itu, para hakim
juga membacakan pertimbangan hukum tentang penyebab kematian korban Dini Sera
Afrianti yang berbeda dengan hasil visum et repertum, serta keterangan saksi
ahli dr Renny Sumino dari RSUD Dr Soetomo. Yang lebih mengkhawatirkan, para
hakim tidak pernah mempertimbangkan, menyinggung, atau memberikan penilaian
tentang barang bukti berupa CCTV di area parkir basement Lenmarc Mall yang
diajukan oleh penuntut umum dalam sidang pembacaan putusan.
Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut, Majelis Sidang Pleno KY berpendapat bahwa
pelanggaran yang dilakukan oleh para terlapor masuk dalam klasifikasi
pelanggaran berat. Hal ini menjadi dasar hukum yang kuat bagi KY untuk
menjatuhkan sanksi berat kepada ketiga hakim tersebut.
Setelah melalui proses
pemeriksaan yang menyeluruh dan pertimbangan yang matang, KY akhirnya
menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap (pemecatan) dengan hak pensiun kepada
tiga hakim yang menjatuhkan vonis bebas kepada terdakwa Gregorius Ronald
Tannur. Keputusan ini diambil dalam sidang pleno KY setelah mempertimbangkan
semua bukti dan temuan yang ada.
Sanksi pemecatan ini
merupakan bentuk tindakan tegas KY dalam menjaga integritas sistem peradilan di
Indonesia. Keputusan ini juga sejalan dengan harapan keluarga korban yang
meminta KY untuk memberikan rekomendasi terbaik, yakni penghentian hakim yang
memeriksa perkara ini di PN Surabaya.
Dengan dijatuhkannya
sanksi pemecatan ini, KY menunjukkan komitmennya dalam menegakkan keadilan dan
memastikan bahwa para hakim menjalankan tugasnya sesuai dengan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim. Langkah tegas ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran
bagi para hakim lainnya dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem
peradilan di Indonesia.
Kasus Ronald Tanur
telah membuka mata publik terhadap kompleksitas sistem peradilan di Indonesia.
Pembebasan terdakwa yang menuai kontroversi ini memiliki pengaruh besar pada
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum. Tindakan tegas Komisi Yudisial
dalam memecat tiga hakim yang terlibat menunjukkan upaya serius untuk menjaga
integritas peradilan.
Langkah-langkah yang
diambil Komisi Yudisial ini diharapkan dapat menjadi pelajaran berharga bagi
para penegak hukum. Kasus ini juga menyoroti pentingnya transparansi dan
akuntabilitas dalam proses peradilan. peristiwa ini bisa menjadi momentum untuk
melakukan perbaikan sistem hukum dan memulihkan kepercayaan publik terhadap
lembaga peradilan di Indonesia.