Namun, mempertahankan
idealisme bukanlah perkara mudah. Banyak mantan aktivis ’98 yang akhirnya
'menjilat ludah sendiri.' Mereka yang dulu lantang bersuara di jalanan kini
justru menjadi pembungkam. Janji manis kekuasaan dan kemewahan perlahan-lahan
menggerogoti idealisme mereka.
"Ah, tidak. Justru
kami sedang memperjuangkan rakyat dari dalam sini," kata mereka setelah
menikmati pengkhianatan akan kemewahannya di lingkaran penguasa.
Nama-nama seperti
Budiman Sudjatmiko, Adian Napitupulu, hingga Fadli Zon menjadi contoh nyata
bagaimana suara lantang idealisme berubah menjadi kepentingan pragmatis partai.
Perjalanan mereka itu kini dikenal sebagai fenomena 'dari Jalanan ke Parlemen'
adalah pola klasik yang terus berulang, menggambarkan bagaimana idealisme
pemuda sering kali tenggelam dalam pragmatisme politik.
Anak muda yang kritis
semestinya mempertahankan peran sebagai pengawas eksternal, menjaga
keseimbangan sistem politik. Namun, jika memilih masuk ke dalam sistem, mereka
harus tetap berpegang pada idealisme agar tidak mengkhianati prinsip awal
perjuangan. Meskipun itu terlihat mustahil karena alih-alih memperbaiki dari
dalam mereka justru menyelam semakin dalam.
Teriak karena
lapar,lalu diam karena sudah kenyang. Di Awal berkomentar, akhirnya menjadi
pemeran. Mungkin begitu kata-kata yang menggambarkan bagaimana pola klasik
karier politik aktivis kampus dari dulu hingga saat ini.
Peran pemuda yang kaya
akan kemewahan seperti yang dimaksud oleh Tan Malaka ternyata sulit ditemukan
di negeri ini. Padahal peran mereka teramat penting.
Fenomena Berulang Aktivis yang Masuk Sistem
Mantan aktivis
mahasiswa, seperti Gielbran Mohammad Noor, menjadi contoh terbaru. Ketika
menjabat sebagai Ketua BEM KM UGM, ia dikenal lantang mengkritik pemerintah.
Namun, kini ia bergabung dengan partai politik sebagai Wakil Ketua Harian PKB.
Langkah ini memunculkan pertanyaan besar: sejauh mana konsistensi idealisme
yang pernah diperjuangkannya?
Tekanan Politik dan Kompromi Kepentingan
Masuknya aktivis ke
sistem politik sering kali diiringi tekanan untuk berkompromi. Banyak laporan
dan pengamatan menunjukkan bahwa kader partai politik sering kali merasa
kesulitan mempertahankan idealisme mereka akibat tekanan internal dan tuntutan
kepentingan partai. Hal ini menunjukkan bahwa masuk ke dalam sistem tidak
selalu berarti membawa perubahan, tetapi justru berisiko larut dalam
pragmatisme politik.
Pentingnya Kritikus Eksternal
Kehadiran pemuda
sebagai pengawas eksternal sangat diperlukan untuk menjaga akuntabilitas
pemerintah. Gerakan mahasiswa pada tahun 1998, misalnya, berhasil menekan
pemerintah untuk melakukan reformasi politik yang substansial. Ini menjadi
bukti bahwa suara kritis dari luar sistem mampu menciptakan perubahan besar
tanpa harus terjebak dalam kompromi politik yang melemahkan.
Anak muda yang kritis
seharusnya menjadi pengawas eksternal yang menjaga keseimbangan sistem,
memastikan pemerintah tetap akuntabel. Mereka harus berpegang teguh pada
idealisme agar tidak menjadi 'badut partai' yang dicemooh oleh generasi
berikutnya.
Sebagai penutup, pemuda
memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kemewahan idealisme mereka,
sebagaimana yang dikatakan Tan Malaka. Dengan demikian, mereka tidak hanya
menjaga kehormatan pribadi, tetapi juga memenuhi harapan masyarakat yang
menggantungkan perubahan pada suara lantang mereka.