Putusan disampaikan
oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi di Ruang
Sidang Pleno, Gedung I MK, Jakarta, Senin (24/2/2025). "Menyatakan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima," ujar Suhartoyo.
Hakim Konstitusi Arief
Hidayat menyampaikan pertimbangan Mahkamah, bahwa Vicente Hornai Gonsalves
memang pernah dihukum penjara selama 11 bulan pada 17 Januari 2004. Hal
tersebut tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri (PN) Atambua Nomor:
186/PID/B/2003/PN.ATB.
Calon wakil bupati
terpilih Kabupaten Belu itu dinyatakan bersalah karena melanggar Pasal 332 ayat
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mahkamah berpendapat bahwa
tersebut mengatur mengenai Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang, sebagaimana
termaktub dalam BAB XVIII.
"Sementara itu,
ketentuan yang mengatur mengenai kejahatan seksual terdapat dalam BAB yang
berbeda, yaitu BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Oleh karena itu,
tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut," ujar Arief.
Di samping itu, Vicente
Hornai Gonsalves juga sudah menyampaikan statusnya sebagai mantan narapidana.
Sebab dalam Formulir Pernyataan Surat Rekomendasi Catatan Kriminal yang
dikeluarkan Kepolisian Resor Belu Nusa Tenggara Timur (NTT), calon wakil bupati
nomor urut 1 itu dengan tulisan tangan telah menerangkan bahwa dirinya pernah
dihukum pada 2004 dan sudah diputus di PN Atambua.
"Sehingga menurut
Mahkamah, pengusulan bakal calon, pemeriksaan bakal calon, hingga penetapan
calon telah dilaksanakan sesuai dengan mekanisme, tata cara, dan prosedur yang
ditentukan peraturan perundang-undangan," ujar Arief.
Karena tidak dapat
dibuktikannya dalil pokok permohonan Pemohon, pemberlakuan Pasal 158 ayat (2)
huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Wali Kota (UU Pilkada) tidak beralasan untuk disimpangi. Pemohon tidak
memenuhi ketentuan pasal tersebut yang berkenaan dengan kedudukan hukum.
"Andaipun
ketentuan tersebut disimpangi, quod non, telah ternyata dalil-dalil pokok
permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum," ujar Arief.
Diketahui, Pasangan
calon bupati dan wakil bupati nomor urut 2 Taolin Agustinus-Yulianus Tai Bere
selaku Pemohon mendalilkan Vincente Hornai Gonsalves tak memenuhi persyaratan
calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
Vicente diketahui sebagai calon wakil bupati nomor urut 1 pernah terlibat kasus
tindak pidana melarikan anak di bawah umur pada 2003 dan divonis 11 bulan
penjara pada Januari 2004.
Yafet Yosafet Wilbel
Rissy yang dihadirkan sebagai Ahli Pihak Terkait menjelaskan, kasus tersebut
bukanlah tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak berdasarkan Putusan
Pengadilan Negeri Atambua Nomor: 186/PID/B/2003/PN.ATB tanggal 17 Januari 2004.
Guru Besar Universitas Ilmu Hukum Kristen Satya Wacana (UKSW) itu menyampaikan,
Vicente Hornai Gonsalves dikenai Pasal 332 ayat 1 KUHP yang berkaitan dengan
melarikan perempuan di bawah umur. Calon wakil bupati nomor urut 1 itu tidaklah
dijatuhkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Lanjutnya dari sisi
pengaturan Pasal 332 ayat 1 KUHP, melarikan perempuan di bawah umur adalah
salah satu jenis tindak pidana perampasan kemerdekaan. Sedangkan tindak pidana
kekerasan seksual terhadap anak seperti pemerkosaan, pencabulan, dan
persetubuhan diatur dalam Pasal 287 sampai Pasal 295 KUHP.
"Ahli berpendapat,
jika dibandingkan antara Pasal Pasal 332 ayat 1 dengan Pasal 287 sampai Pasal
295, terlihat jelas bahwa tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur
tidaklah sama dengan tindak kekerasan seksual terhadap anak. Tindak kekerasan
seksual terhadap anak, tindak pidana itu diatur dalam undang-undang tersendiri,
yakni dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan
Seksual," ujar Yafet.(*) mkri.id