Fung Yiyan menemukan
ajaran Aquinas ketika ia mendalami topik penderitaan dalam Kitab Ayub untuk
tugas kursus teologi yang ia ikuti sejak tahun 2023.
“Salah satu pertanyaan
dalam tugas ini adalah bagaimana ajaran Ayub dapat membantu kita selama masa
penderitaan,” katanya.
Fung berpikir untuk
menempatkan dirinya pada posisi seseorang yang mengalami penderitaan yang tidak
adil, seperti seorang ibu yang kehilangan anak satu-satunya karena kejahatan
yang mengerikan dan dikecewakan oleh sistem peradilan.
“Namun, saya tidak
menemukan sesuatu yang memuaskan dalam karya para sarjana Protestan,” katanya,
seraya menambahkan bahwa mereka tidak menjelaskan mengapa seseorang perlu
bertekun di tengah penderitaan.
Pencariannya mengarah
pada Thomas Aquinas dan karya para sarjana Katolik.
“Bagi St. Thomas
Aquinas, keadilan, imbalan, dan penghiburan sejati tidak bisa ditemukan di masa
sekarang ini. Namun di akhirat,” jelasnya.
Aquinas adalah salah
satu teolog dan filsuf besar Gereja Katolik. Fung juga menemukan bahwa bukan
hanya ajarannya tentang penderitaan namun secara keseluruhan teologi
Katolik benar-benar menarik bagi dia.
“Saya sering mengalami
kekeringan rohani di mana saya merasa seolah-olah Tuhan telah meninggalkan
saya. Ini adalah pengalaman yang mengerikan dan membingungkan,” kata auditor
berusia 32 tahun yang tinggal di Kuala Lumpur tersebut kepada UCA News.
Saat masih bergabung
dengan Gereja Anglikan, Fung mencari jawaban dari Alkitab karena, dalam
Protestantisme, Kitab Suci adalah otoritas tertinggi.
“Saya memang menemukan
beberapa ayat harapan dan dorongan, namun saya masih merasa bingung,”
kenangnya.
“Kekeringan rohani
tidak banyak dibicarakan dalam Protestantisme. Katekismus Gereja Katolik adalah
satu-satunya yang membahasnya,” tambahnya.
Beberapa orang kudus, seperti
St. Yohanes dari Salib, St. Ibu Teresa, dan St. Theresia dari Lisieux,
mengungkapkan bagaimana mereka mengatasi kekeringan rohani dalam tulisan
mereka.
Bagi Fung, itu adalah
bukti bahwa dia bukanlah satu-satunya. “Sungguh melegakan mengetahui bahwa
Tuhan tidak pernah meninggalkan siapa pun dan kekeringan rohani ini belum tentu
karena saya melakukan sesuatu yang salah,” katanya.
Teologi Katolik mulai
masuk akal bagi dia. Tradisi suci menjadikan ajaran Alkitab jauh lebih praktis
dan mudah dipahami.
“Itulah sebabnya saya
bisa menerima ajaran Katolik dengan begitu mudah,” tambahnya.
Awal tahun lalu, dia
mulai menghadiri Misa di Gereja Santa Maria Fatima di Brickfields dekat
rumahnya.
Setelah dia mulai
membaca dan memahami lebih banyak tentang agama Katolik, minatnya semakin
besar.
“Saya sangat senang
menghadiri Misa. Indah sekali, seperti surga di bumi,” kata Fung.
Beberapa bulan
kemudian, pada Agustus, dia mendaftar untuk menerima Sakramen Inisiasi
untuk Dewasa (RCIA).
Dia akan dikukuhkan
pada Malam Paskah ini dan tidak perlu dibaptis karena Gereja Katolik mengakui
baptisan dari Gereja Anglikan.
Gereja Anglikan tidak
menghentikan dia untuk pergi, begitu pula orang tuanya yang beragama Tao-Buddha
juga tidak menghalangi dia ketika dia menjadi seorang Anglikan tahun 2003.
Kehadiran umat Kristen
telah menjadi bagian dari hidupnya, meskipun Fung berasal dari Kelantan, sebuah
negara bagian di bagian timur di mana hampir 96 persen penduduknya adalah
Muslim-Melayu.
Gabungan umat Katolik
dan Protestan berjumlah sekitar 0,4 persen, menurut statistik resmi tahun 2020.
“Sepanjang hidup saya,
saya menghadiri pernikahan dan acara kegiatan sosial lainnya di gereja-gereja
di Kelantan. Saya tertarik pada agama Kristen, tapi saya tidak menekuninya
karena saya tinggal bersama orang tua saya,” katanya.
Fung mengenang
keinginannya menjadi anak yang penurut semasa sekolah. Seiring bertambahnya
usia, minatnya terhadap agama berkurang. Dia datang ke Kuala Lumpur untuk studi
lebih tinggi dan kemudian mulai bekerja.
“Saya menjadi seperti
orang muda lainnya – agama dianggap kuno, tidak keren.”
Namun kehidupan kota
penuh tekanan dan Fung kesulitan mengatasinya.
Stres bekerja di salah
satu dari empat kantor akuntan terbesar di dunia mulai menguras tenaganya.
“Di luar sana sangat
kompetitif – dunia anjing-makan-anjing. Namun saya begitu terjebak di
dalamnya,” kenangnya.
Akhirnya, dia mencari
gereja, gereja mana saja – dan menemukan Gereja Anglikan.
“Khotbahnya tentang bagaimana
Tuhan tidak peduli dengan pencapaian kami. Saya menganggapnya sebagai tanda
untuk tetap menghadiri gereja.”
Dia menemukan kedamaian
dalam Tuhan, namun kebutuhan akan pemahaman yang lebih dalam membawa dia ke
Gereja Katolik.
Fung menantikan Malam Paskah
pada 19 April, di mana dia akan menggunakan Katharina sebagai nama baptisnya.
“St. Katharina dari
Sienna. Saya menyukai penyerahan penuh keinginannya kepada Tuhan. Dia memiliki
cinta yang membara kepada Tuhan. Saya menyukai gagasan menyatukan penderitaan
kita dengan Kristus, bersatu erat dengan Tuhan sepanjang waktu.”
Fung adalah salah satu
dari 11 katekumen dan calon RCIA di bagian berbahasa Inggris di paroki itu.
Assunta Januarius,
salah satu fasilitator program RCIA, mengatakan jelas bahwa keinginan Fung
untuk mengenal Tuhan lebih pribadi dan intim tidak terpenuhi di Gereja
Anglikan.
“Ketertarikannya pada
tulisan St. Thomas Aquinas telah memungkinkan dia menemukan kepuasan dalam
Gereja Katolik, yang telah membawa dia ke dalam program RCIA,” katanya kepada
UCA News.
Januarius, yang telah
menjalankan pelayanan ini selama dua tahun terakhir, terkesan dengan pertanyaan
dan tanggapan antusias Fung, yang “menunjukkan kedewasaannya dalam memahami,
menerima, dan berkomitmen terhadap ajaran Gereja Katolik.”
Fung menjadi orang yang
jauh lebih bahagia sekarang, karena kehidupan spiritualnya bergerak “di jalur
yang lebih mantap dan ke arah yang lebih terarah.”
Salah satu tantangan
terbesar bagi seorang Protestan dalam menerima ajaran Gereja Katolik adalah
peran Bunda Maria.
Namun bagi Fung, hal
itu sama sekali bukan masalah.
“Ketika Anda memahami
siapa itu Bunda Maria dan perannya sebagai perantara, Anda akan mencintai dia,”
katanya.
Sumber: The
aquinas pull factor that led an anglican to catholicism