![]() |
Peserta didik kelas III SDK Naibone Kabupaten Malaka sedang berdiskusi bersama pada saat pembelajaran Bahasa Inggris |
Hal tersebut tertuang
dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perkara Nomor
3/PUU-XXII/2024 yang menguji konstitusionalitas norma Pasal 34 ayat 2
Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas).
MK mengabulkan sebagian
permohonan uji materi UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia
(JPII).
Poin yang dikabulkan MK
adalah soal negara wajib menjamin pendidikan dasar gratis baik untuk sekolah
negeri maupun madrasah atau swasta untuk pendidikan dasar.
Adapun pendidikan
dasar yang dimaksud dalam UU tentang Sistem Pendidikan Nasional itu yakni SD
hingga SMP atau bentuk lain yang sederajat sebagaimana diatur dalam Pasal 17
ayat (2).
"Mengadili,
mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Hakim
Suhartoyo saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (27/5/2025).
"Menyatakan pasal
34 ayat (2) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional
bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "pemerintah dan
pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang
Pendidikan Dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan Pendidikan Dasar yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan Pendidikan Dasar yang
diselenggarakan masyarakat"," sambungnya.
Hal tersebut mengubah
bunyi dalam pasal 34 ayat (2) UU Nomor 20 tahun 2003 itu yang
sebelumnya: Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib
belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Biaya per Siswa
Dalam proses sidang uji
materi, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pernah menyampaikan
hitungan biaya per siswa dalam setahun jika SD-SMP ditanggung pemerintah.
"Ini untuk
ilustrasi saja, kalau memenuhi standar pelayanan minimal di negeri per siswa Rp
24,9 juta. Di sekolah swasta bisa berlipat-lipat dan mencapai Rp 200 juta per
siswa per tahun. Kita bisa cari sekolah swasta yang mana," kata
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Bappenas,
Amich Alhumami, di hadapan majelis hakim MK pada Kamis (1/8/2024) dikutip dari
Kompas.com.
"Yang bisa
menjangkau ini (biaya sekolah swasta semahal itu) tentunya anak-anak
dari keluarga yang kaya. Kalau pemerintah atau APBN harus juga menanggung
bagian yang seperti ini, ada isu juga soal keterbatasan anggaran,"
sambungnya.
Pemerintah, ujar Amich,
saat ini mengutamakan siswa-siswi dari keluarga tidak mampu yang masih belum
berkesempatan menempuh sekolah bahkan sampai ke jenjang pendidikan
menengah.
Menurutnya, prinsip
dalam alokasi anggaran pendidikan yang disusun pemerintah yakni sepanjang
memenuhi standar pelayanan minimal dan sejauh ini dianggap telah relatif
cukup.
"Yang tidak
mencukupi adalah beban-beban lain di luar standar pelayanan minimal, (misalnya)
kegiatan ekstrakurikuler, study visit, itu yang sekolah sebagian dari mereka
memungut biaya kepada orang tua," kata Amich.
Itu pula alasan yang
membuat pemerintah menganggap penggratisan seluruh sekolah swasta tidak
realistis. Sebab, sekolah-sekolah swasta dinilai memiliki standar tertentu
untuk pembiayaan yang mereka sebut sebagai sekolah dengan karakter keunggulan.
Sebagian sekolah
swasta, misalnya, menerapkan kurikulum internasional dan sejumlah kegiatan
ekstrakurikuler yang berdampak pada pembengkakan biaya studi di luar standar
pelayanan minimal yang tidak bisa dicakup oleh APBN.
"Keunggulan-keunggulan
yang khas pada sekolah-sekolah swasta ini adalah preferensi sekolah
swasta dan orangtua murid yang ingin menyekolahkan ke sekolah-sekolah yang
menurut mereka standarnya bagus dan sesuai aspirasi mereka, orangtua yang
umumnya dari keluarga mampu, keluarga kaya," kata Amich. "Sebagian
dari mereka tidak mau menerima BOS (bantuan operasional sekolah)," ucap
dia.
Negara Wajib Menanggung Biaya
Hakim Konstitusi Guntur
Hamzah menegaskan ihwal negara memiliki kewajiban konstitusional untuk
membiayai pendidikan dasar.
Ia mengingatkan Pasal
31 ayat (2) UUD 1945 mewajibkan setiap warga negara mengikuti pendidikan dasar
dan menugaskan negara untuk membiayainya.
“Tanpa ada pemenuhan
kewajiban pemerintah dalam membiayai pendidikan dasar, maka berpotensi
menghambat upaya warga negara untuk melaksanakan kewajiban konstitusionalnya,”
ujar Guntur.
Ia menyebut, selama ini
pembiayaan wajib belajar hanya difokuskan pada sekolah negeri.
Padahal, secara faktual, banyak anak mengikuti pendidikan dasar di sekolah yang
diselenggarakan oleh masyarakat, seperti sekolah swasta atau madrasah swasta.
“Negara tidak boleh
lepas tangan atau mengalihkan tanggung jawab pembiayaan kepada penyelenggara
pendidikan swasta,” tegas Guntur.
Mahkamah menekankan,
meski Pasal 34 ayat (3) UU Sisdiknas mencantumkan peran masyarakat dalam
penyelenggaraan wajib belajar, tanggung jawab utama tetap berada di tangan
negara.
“Negara tidak dapat
melepaskan tanggung jawabnya, bahkan dalam konteks pendidikan dasar
yang diselenggarakan oleh swasta,” katanya.
Menurut MK, frasa
“tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas harus dimaknai
sebagai kewajiban negara untuk membiayai pendidikan dasar tanpa diskriminasi
antara sekolah negeri dan swasta, selama dalam kerangka wajib belajar.