Akan tetapi, sejarah
selalu punya caranya sendiri untuk bergerak. Dari ketidakadilan yang dipelihara
terlalu lama, dari suara-suara kecil yang awalnya diabaikan, lahirlah tuntutan
akan hak, akan partisipasi, akan kebebasan memilih. Demokrasi lahir bukan dari
meja perundingan, melainkan dari rasa jengah dan perlawanan yang terus menyala.
Perubahan besar itu
baru datang di akhir abad ke-18. Dunia mulai goyah ketika Revolusi Prancis
meledak tahun 1789. Tiga kata yang menjadi semboyannya, “liberté, égalité, fraternité”,
mengubah cara orang melihat kekuasaan. Bebas. Setara. Bersaudara. Itu mimpi
baru yang tak bisa lagi dibendung. Dari sana lahir ide besar bahwa rakyat harus
ikut menentukan arah negara, bukan hanya menjadi penonton. Sejak saat itu,
demokrasi mulai dikenal. Dua abad kemudian, hampir semua negara mengaku
menganutnya.
Namun, seperti sejarah
yang sering berulang dalam waktu yang berbeda, kini di tengah demokrasi yang
menjamur di berbagai belahan dunia, muncul kembali pertanyaan lama, benarkah
suara rakyat itu sungguh didengar? Ataukah hanya dipinjamkan momen sesaat,
sekadar untuk berkuasa?
Laporan Freedom in the
World 2023 memperlihatkan penurunan kebebasan global selama 13 tahun
berturut-turut. Anehnya, bukan di negara-negara yang sejak awal ragu pada
demokrasi seperti Rusia atau Tiongkok, melainkan justru di Amerika Serikat,
yang dulu lantang menyuarakan impian demokrasi ke seluruh dunia. Kini,
dasar-dasar demokrasi itu pun mulai retak. Bukan karena invasi militer atau
kudeta, tapi akibat polarisasi politik yang meruncing, kebijakan proteksionis
seperti tarif impor, dan erosi kepercayaan publik terhadap institusi dan
lembaga keuangan.
Kejadian serupa
terlihat di Hongaria, India, dan Brasil. Kekuasaan diraih melalui pemilu demokratis,
namun kemudian dimanfaatkan untuk menggeser oposisi, menyebarkan propaganda,
dan membungkam kebebasan pers. Meskipun kemunduran ini belum mencapai titik
nadir selama 13 tahun terakhir, arahnya jelas, menurun. Demokrasi sedang surut,
perlahan namun pasti.
Inilah sebabnya, banyak
negara yang lahir dari euforia pasca-Perang Dingin kini berbalik arah,
meninggalkan nilai-nilai demokrasi. Bukan karena cacat inheren dalam gagasan
demokrasi itu sendiri, melainkan karena merajalelanya korupsi, populisme dan
rapuhnya fondasi penegakan hukum. Fenomena ini sejalan dengan menguatnya arus
otoritarianisme modern.
Dalam The End of Power,
Moisés Naím mengurai bahwa bangkitnya otoritarianisme modern bukan sekadar
respons terhadap gejolak sosial, tapi juga merupakan konsekuensi dari kegagalan
sistem demokrasi dalam menjawab kompleksitas tantangan global.
Negara-negara yang
sempat diliputi harapan pasca-Perang Dingin itu, kini dihadapkan pada dilema,
mempertahankan prinsip demokrasi yang ideal atau menempuh jalan pintas
penguatan kontrol dan sentralisasi kekuasaan demi stabilitas semu jangka
pendek.
Ironisnya, klaim
sebagai negara demokratis sering kali justru bertolak belakang dengan fakta
yang mencuat, yaitu kecenderungan mempersempit kebebasan berpendapat dan
memanipulasi hukum. Tren-tren yang bergerak bertahap dan sering kali tanpa
disadari ini secara perlahan menggiring negara-negara tersebut menuju jurang
otoritarianisme baru.
Kini, denyut tren
serupa terasa kian kuat di jantung Indonesia, negara yang mendeklarasikan diri
sebagai kiblat demokrasi terbesar ketiga di dunia. Sebuah bangsa yang
membanggakan ritual pemilu lima tahunan dan retorika partisipasi rakyat, namun
acapkali mengabaikan bagaimana cara partisipasi itu bekerja.
Pemilu dan pilkada 2024
telah terlaksana sesuai prosedur formal, menandakan bahwa mekanisme demokrasi
masih berjalan. Namun, di balik pesta demokrasi elektoral, tersembunyi
kenyataan pahit, demokrasi kita kian tereduksi menjadi sekadar formalitas.
Apa yang tampak sebagai
pesta rakyat, dalam banyak hal, telah dirancang di balik layar. Bahkan,
tendensi menuju praktik otoritarianisme modern bukan lagi sekadar ancaman
laten, melainkan telah menjelma dalam realitas Indonesia.
Manifestasinya begitu
kentara, semakin banyak warga sipil, termasuk pejabat negara, yang memamerkan
atribut militer. Seolah militerisme bukan lagi warisan kelam yang patut
diwaspadai, tapi identitas baru kekuasaan yang harus dirayakan. Ketika para
menteri dan kepala daerah berlomba-lomba mengenakan seragam loreng, kita
semacam dipaksa bertanya, kekuasaan seperti apa yang sedang dibentuk?
Percepatan pengesahan
Undang-Undang TNI beberapa waktu lalu, yang didorong oleh kekuatan dominan di
parlemen dan tak terlepas dari latar belakang militer Presiden Prabowo, semakin
menguatkan keraguan ini. Demokrasi yang sehat seharusnya bertumpu pada transparansi,
akuntabilitas, dan partisipasi substantif. Namun, elemen-elemen krusial ini
justru tergerogoti dari dalam oleh pembungkaman suara kritis, manipulasi
prosedur elektoral, serta glorifikasi kekuasaan koersif.
Pertanyaannya bukan
lagi sekadar “apakah demokrasi berjalan?”, melainkan “demokrasi macam apa yang
kini sedang kita hidupi?”.
Saat melakukan
refleksi, saya teringat pada apa yang Platon sebutkan dalam Politeia (549a-b),
yaitu timokrasi. Ia mendefinisikan bentuk kekuasaan ini sebagai rezim yang dijalankan
oleh semangat kehormatan dan kebanggaan. Dalam analisis psiko-politik,
timokrasi muncul ketika thumos, bagian jiwa yang bernafsu akan gengsi,
mendominasi kehidupan politik.
Penguasa dalam
timokrasi bukan hanya ingin dihormati (philotimos), tetapi juga ingin selalu
menang (philonikos) dan berkuasa tanpa batas (philarkhos). Dalam arsitektur
jiwa Platonis, thumos bersifat ambivalen. Ia bisa menjadi sumber keberanian,
tetapi juga menjadi bahan bakar nafsu akan suprem, jika tidak ditundukkan oleh
logos dan nalar yang memimpin.
Maka, timokrasi adalah
kondisi ketika politik kehilangan kompas, ketika nilai-nilai kolektif
terdegradasi, dan thumos naik takhta. Legitimasi dalam timokrasi tidak diukur
dari kebijakan yang adil atau argumentasi rasional, tapi dari gelar, pangkat,
dan simbol kehormatan yang menjadi komoditas dalam bursa kekuasaan.
Dalam lanskap politik
kontemporer Indonesia, timokrasi menjelma dalam sosok-sosok yang awalnya
merupakan produk demokrasi, namun perlahan membangun dinasti kekuasaan
berdasarkan loyalitas buta.
Presiden Jokowi, yang
dahulu tampil sebagai representasi rakyat jelata yang merangkak naik ke puncak
kekuasaan, justru memperluas pengaruhnya melalui garis keturunan di akhir masa
jabatannya. Ini bukan sekadar fenomena dinasti, melainkan artikulasi thumos
dalam wujud paling vulgar, kehormatan sebagai warisan turun-temurun.
Prabowo, yang semula
adalah rival politik, kini menjadi sekutu dan melanggengkan logika yang sama,
kekuasaan yang ditopang bukan oleh gagasan, melainkan oleh personifikasi
simbolik yang menuntut kepatuhan mutlak.
Timokrasi, dengan
demikian, adalah tangga menuju kekuasaan yang alergi terhadap kritik, seperti
tercermin dalam retorika "Ndasmu" dan "Kau Yang Gelap". Ia
membangun legitimasi kekuasaan bukan dari argumentasi substansial, melainkan
dari impresi kehormatan semata. Lantas, adakah antitesis bagi patologi
kekuasaan semacam ini?
Sayangnya, kita
terlampau lama membiarkan demokrasi tereduksi menjadi sekadar seremoni pemilu.
Pun demikian, data dan tren global saja tak cukup untuk menggerakkan. Kita
seolah-olah masih percaya bahwa suara rakyat adalah penentu, padahal kotak
suara telah menjelma menjadi cermin bagi keputusan yang telah dirancang
sebelumnya.
Segala tampak legal, normatif,
bahkan tertib. Namun, realitas yang kita saksikan adalah distopia demokrasi,
permukaan yang mengkilap menyembunyikan pembusukan dari dalam.
Di tengah keteraturan
yang dipaksakan ini, kita menyaksikan ironi terbesar demokrasi modern,
kekuasaan dapat berjalan tanpa oposisi, hukum dipermainkan tanpa kepastian dan
keadilan, dan rakyat dihitung tanpa pernah benar-benar didengarkan aspirasinya.
Maka, pertanyaan
mendasar saat ini bukan lagi berkutat pada "bagaimana cara menyelamatkan
demokrasi?". Lebih krusial adalah keberanian jujur untuk mengakui bahwa
realitas yang sedang kita saksikan ini bukanlah lagi demokrasi.
Sebab, jika kita
terus-menerus menyetarakan keteraturan semu dengan keadilan, dan menukar
stabilitas politik dengan kebenaran, maka kita akan tiba pada paradoks
demokrasi dalam proses metamorfosisnya menuju timokrasi, yaitu saat tirani
diktator tidak lagi hadir dengan derap sepatu bot dan dentuman senjata,
melainkan disambut dengan riuh tepuk tangan.