Dari Pemujaan Hingga Loyalitas Buta: Bagaimana
Pengkultusan Terjadi?
Pengkultusan terjadi
ketika seorang tokoh politik dipandang sebagai sosok yang sempurna, tak bisa
salah, bahkan seolah memiliki kualitas ilahi. Dalam konteks politikus
Indonesia, polanya kini mulai terlihat bagaimana ia terbentuk. Seorang tokoh
yang menunjukan kedekatannya dengan rakyat kecil, miskin. tak segan-segan
memberikan segepok uang di lapangan kepada masyarakat, berani marah-marah
ketika melihat hal yang janggal dan yang terakhir mau terjun ke tempat yang
kotor. jika ini semua di upload ke media sosial dalam sekejap akan meraup
penonton setiap.
Penonton-penonton setia
ini akan menjelma menjadi loyalis garis keras. Loyalitas buta ini semakin
diperkuat oleh algoritma media sosial yang hanya menampilkan konten sesuai
preferensi pengguna. Akibatnya, masyarakat terjebak dalam ruang gema informasi
yang memperkuat pandangan tanpa paparan perspektif lain. Selain itu, manusia
cenderung mengaitkan keberhasilan atau kegagalan suatu ide dengan individu
tertentu, sehingga seorang politikus dapat menjadi simbol harapan yang
dikultuskan. Ketika misinformasi merajalela dan identitas kelompok menjadi
bagian dari politik, pengkultusan semakin berkembang tanpa disadari.
Jokowi dan Fenomena Kultus Pemimpin di Indonesia
Salah satu contoh nyata
pengkultusan politik terjadi pada Joko Widodo selama masa kepemimpinannya
sebagai Presiden Indonesia. Jokowi, yang awalnya dikenal sebagai pemimpin
sederhana dan dekat dengan rakyat, lambat laun menjadi figur yang dikultuskan
oleh sebagian pendukungnya. Loyalitas terhadapnya begitu kuat hingga kritik
terhadap kebijakan pemerintah seringkali dianggap sebagai serangan pribadi
terhadap Jokowi. Bahkan, ketika muncul isu kontroversial seperti titipan
keluarga Jokowi, sebagian pendukungnya langsung menolak mentah-mentah tanpa
mempertimbangkan fakta yang ada.
Pengkultusan terhadap
Jokowi membawa dampak buruk bagi demokrasi. Kritik terhadap kebijakan
pemerintah seringkali dibungkam oleh pendukung fanatik, sehingga ruang diskusi menjadi
terbatas. Polarisasi politik semakin tajam, dengan masyarakat terpecah menjadi
dua kubu ekstrem: mereka yang mendukung Jokowi tanpa syarat dan mereka yang
menentangnya dengan keras. Akuntabilitas politik pun terganggu, karena setiap
upaya untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah sering kali dihadang oleh
loyalis yang menganggap kritik sebagai fitnah. Fenomena ini menunjukkan
bagaimana pengkultusan dapat menghambat demokrasi yang sehat dan mengurangi
transparansi pemerintahan.
Dedi Mulyadi: Harapan Baru atau Bibit Pengkultusan
Berikutnya?
Kini, fenomena serupa
mulai terlihat dalam kepemimpinan Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat.
Dedi dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat dan memiliki gaya khas
dalam membangun identitas budaya lokal. Popularitasnya yang tinggi di media
sosial membuatnya memiliki basis pendukung yang kuat. Namun, ada kekhawatiran
bahwa loyalitas terhadapnya bisa berkembang menjadi pengkultusan yang
berbahaya.
Jika pengkultusan
terhadap Dedi Mulyadi terjadi, dampaknya bisa serupa dengan yang dialami
Jokowi. Kritik terhadap kebijakan pemerintah daerah bisa dianggap sebagai
serangan terhadap pribadi Dedi, sehingga ruang diskusi menjadi terbatas.
Polarisasi politik di Jawa Barat bisa semakin tajam, dengan pendukung fanatik
yang menolak segala bentuk kritik. Akuntabilitas pemerintahan daerah pun bisa
terganggu, karena pengawasan terhadap kebijakan gubernur menjadi sulit
dilakukan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk tetap kritis dan
menilai kepemimpinan berdasarkan kebijakan serta dampaknya bagi rakyat, bukan
sekadar persona yang dibangun di media sosial.
Melawan Kultus Politik: Tanggung Jawab Kita Bersama
Untuk menghindari
bahaya pengkultusan politik, masyarakat perlu mengambil langkah kritis.
Menumbuhkan nalar kritis adalah kunci utama dalam menghadapi fenomena ini,
dengan selalu memverifikasi informasi dari berbagai sumber sebelum mempercayai
suatu narasi politik. Masyarakat juga harus fokus pada kebijakan, bukan figur,
dengan menilai seorang politikus berdasarkan program dan kebijakan yang mereka
tawarkan, bukan sekadar persona yang dibangun di media sosial. Selain itu,
penting untuk membuka diri terhadap perspektif berbeda dan keluar dari gelembung
informasi agar diskusi politik tetap seimbang.
Demokrasi yang sehat
tidak membutuhkan pemujaan berlebihan terhadap figur politik, melainkan
masyarakat yang kritis dan berani mengawasi kekuasaan. Alih-alih membangun
kultus individu, kita perlu memastikan bahwa politikus bekerja sesuai
kepentingan rakyat, bukan sekadar citra di media sosial.