Saya tidak sedang
menyalahkan guru di sekolah, sama sekali bukan. Saya sedang menggugat, lebih
tepatnya mempertanyakan sistem yang memutarkan cerita, mengajarkan hafalan,
tapi gagal menumbuhkan kesadaran. Sistem yang lebih sibuk mencetak kepatuhan
daripada menumbuhkan keberanian berpikir. Itulah mungkin sebabnya saya merasa
sekolah telah berbohong. Bukan karena apa yang diajarkan sepenuhnya salah, tapi
karena ilmu yang paling penting tidak diajarkan, yaitu sebuah keberanian untuk
melihat kenyataan, mendengar hati, dan berpikir merdeka.
Saat Dunia Luar Semakin Gaduh
Bangsa ini pernah
dibentuk dari semangat gotong royong, dari cita-cita tentang keadilan sosial,
tentang kemerdekaan yang tidak hanya simbolik. Tapi hari ini, kita menyaksikan
keputusan-keputusan yang mengkhianati makna itu. Penjualan aset negara, program
kebijakan yang tidak berpihak pada yang kecil, politik yang kehilangan empati
hanya sebagian kecil cerita bahwa negara ini semakin menjauh dari cita-citanya.
Rakyat kecil seperti dicekik perlahan dalam jeratan sistem yang katanya
demokratis.
Muncul pertanyaan dari
dalam diri, apakah yang salah dengan semua ini? Demokrasi? Rakyat? Sekolah?
Ataukah cara kita membaca dunia yang semakin dangkal, cepat, dan kehilangan
daya refleksi. Di era yang penuh narasi artifisial dan polesan media sosial,
berpikir jernih adalah tindakan spiritual yang semakin menjauh dari kebiasaan
kita semua.
Kekecewaan Batin dan Universitas Kehidupan
Dulu kecewa karena apa
yang dipelajari di sekolah tidak sesuai dengan kenyataan. Tapi kini memahami,
bahwa kekecewaan itu adalah pintu menuju kesadaran. Karena kehidupan sendiri
adalah sekolah yang lebih utuh, meski tanpa bangku dan papan tulis. Di sinilah
saya belajar bahwa ternyata kesombongan masih sering menyusup dalam diri. Bahwa
merasa tahu adalah jebakan yang paling nyaman dan lebih sering tidak kita
sadari. Bahwa menjadi baik itu jauh lebih sulit daripada sekadar terlihat baik.
Saya belajar bahwa
Universitas kehidupan tidak memberikan gelar. Ia memberi luka, ragu,
pertanyaan, dan pada akhirnya, memberikan makna tentang perendahan hati dan
kejernihan yang sering orang menghindarinya. Karena seringkali yang ada adalah
sebuah keheningan dan kesepian, tidak seheboh dan seberisik sosial media yang
setiap hari banyak orang mencari simpati, perhatian, dan juga pengakuan diri di
dalamnya.
Pendidikan yang Menghidupkan Kesadaran
Setelah merenung dan
melihat dengan sudut pandang lain, kini saya sadari bahwa menggugat sekolah
karena kebohongannya merupakan hal percuma yang justru akan membuat tumpukan
beban di dalam diri. Itu seperti menggugat tembok tebal yang tidak pernah tahu
di mana ujungnya. Saya memilih untuk menggugat diriku sendiri, mempertanyakan
apa yang telah saya lakukan dengan pelajaran hidup yang kuterima? Apakah saya
tetap mengulang keluh tanpa perubahan? Ataukah saya sudah berani mendidik
diriku sendiri?
Pendidikan sejati
adalah kesadaran yang lahir dari keterbukaan hati dan perjumpaan sekaligus
penerimaan dengan kenyataan. Ia tidak selalu butuh kelas, tapi pasti butuh
kejujuran. Ia tidak tergantung kurikulum, tapi tumbuh dari keberanian untuk
bertanya ulang, siapa aku, untuk apa aku hidup, dan apa peranku di tengah
bangsa yang resah ini?
Menemukan Suara Hati di Tengah Kebisingan Dunia
Mungkin tulisan ini
tidak akan mengubah sistem. Tapi seperti seorang pengembara di tengah padang
sepi, saya hanya ingin menuliskan sesuatu agar saya tidak lupa, bahwa hidup
yang sejati adalah hidup yang sadar, bukan hanya tahu tapi juga bertanggung
jawab. Bukan hanya paham, tapi juga peduli. Bukan hanya marah, tapi juga
bergerak dalam diam, melalui cara hidup yang jujur, sederhana, dan tidak korup.
Kini saya tahu, sekolah
formal penting. Tapi tidak pernah cukup. Yang lebih penting adalah menjadi
murid dari kehidupan. Yang terpenting adalah bagaimana kita mau belajar dari
luka, mau berubah saat tahu diri salah, dan tetap rendah hati walau merasa
benar. Karena dalam dunia yang penuh kepalsuan dan polesan, belajar menjadi
manusia yang utuh adalah perjuangan yang sunyi, hening, dan septi, tetapi
itulah perjalanan yang membebaskan. Dan satu hal yang kuyakini, kejujuran yang
tenang lebih berharga daripada kemenangan yang gaduh.