banner Sekolah dan Kebohongan yang Sering Kita Abaikan : Sebuah Renungan Sunyi tentang Pendidikan, Bangsa, dan Diri Sendiri

Sekolah dan Kebohongan yang Sering Kita Abaikan : Sebuah Renungan Sunyi tentang Pendidikan, Bangsa, dan Diri Sendiri



Suara Numbei News - Ada kegelisahan lama yang masih terasa sampai hari ini, mengapa banyak yang diajarkan di sekolah terasa jauh dari kenyataan?. Setelah melewati lika liku sekolah, dari Taman Kanak-Kanak, sampai menyelesaikan jenjang Magister, pertanyaan dan kegelisahan tersebut tidak menghilang. Dulu, masih ingat waktu di bangku sekolah, diajari bahwa demokrasi adalah dari, oleh, dan untuk rakyat. Tapi kini, yang kita saksikan adalah realitas yang nyaris terbalik, rakyat hanya menjadi alat dalam permainan politik, sementara keputusan-keputusan penting seolah diambil demi kepentingan segelintir elit, atau lebih buruk lagi, sebagaian demi hasrat negara lain yang tak kasat mata.

Saya tidak sedang menyalahkan guru di sekolah, sama sekali bukan. Saya sedang menggugat, lebih tepatnya mempertanyakan sistem yang memutarkan cerita, mengajarkan hafalan, tapi gagal menumbuhkan kesadaran. Sistem yang lebih sibuk mencetak kepatuhan daripada menumbuhkan keberanian berpikir. Itulah mungkin sebabnya saya merasa sekolah telah berbohong. Bukan karena apa yang diajarkan sepenuhnya salah, tapi karena ilmu yang paling penting tidak diajarkan, yaitu sebuah keberanian untuk melihat kenyataan, mendengar hati, dan berpikir merdeka.

Saat Dunia Luar Semakin Gaduh

Bangsa ini pernah dibentuk dari semangat gotong royong, dari cita-cita tentang keadilan sosial, tentang kemerdekaan yang tidak hanya simbolik. Tapi hari ini, kita menyaksikan keputusan-keputusan yang mengkhianati makna itu. Penjualan aset negara, program kebijakan yang tidak berpihak pada yang kecil, politik yang kehilangan empati hanya sebagian kecil cerita bahwa negara ini semakin menjauh dari cita-citanya. Rakyat kecil seperti dicekik perlahan dalam jeratan sistem yang katanya demokratis.

Muncul pertanyaan dari dalam diri, apakah yang salah dengan semua ini? Demokrasi? Rakyat? Sekolah? Ataukah cara kita membaca dunia yang semakin dangkal, cepat, dan kehilangan daya refleksi. Di era yang penuh narasi artifisial dan polesan media sosial, berpikir jernih adalah tindakan spiritual yang semakin menjauh dari kebiasaan kita semua.

Kekecewaan Batin dan Universitas Kehidupan

Dulu kecewa karena apa yang dipelajari di sekolah tidak sesuai dengan kenyataan. Tapi kini memahami, bahwa kekecewaan itu adalah pintu menuju kesadaran. Karena kehidupan sendiri adalah sekolah yang lebih utuh, meski tanpa bangku dan papan tulis. Di sinilah saya belajar bahwa ternyata kesombongan masih sering menyusup dalam diri. Bahwa merasa tahu adalah jebakan yang paling nyaman dan lebih sering tidak kita sadari. Bahwa menjadi baik itu jauh lebih sulit daripada sekadar terlihat baik.

Saya belajar bahwa Universitas kehidupan tidak memberikan gelar. Ia memberi luka, ragu, pertanyaan, dan pada akhirnya, memberikan makna tentang perendahan hati dan kejernihan yang sering orang menghindarinya. Karena seringkali yang ada adalah sebuah keheningan dan kesepian, tidak seheboh dan seberisik sosial media yang setiap hari banyak orang mencari simpati, perhatian, dan juga pengakuan diri di dalamnya.

Pendidikan yang Menghidupkan Kesadaran

Setelah merenung dan melihat dengan sudut pandang lain, kini saya sadari bahwa menggugat sekolah karena kebohongannya merupakan hal percuma yang justru akan membuat tumpukan beban di dalam diri. Itu seperti menggugat tembok tebal yang tidak pernah tahu di mana ujungnya. Saya memilih untuk menggugat diriku sendiri, mempertanyakan apa yang telah saya lakukan dengan pelajaran hidup yang kuterima? Apakah saya tetap mengulang keluh tanpa perubahan? Ataukah saya sudah berani mendidik diriku sendiri?

Pendidikan sejati adalah kesadaran yang lahir dari keterbukaan hati dan perjumpaan sekaligus penerimaan dengan kenyataan. Ia tidak selalu butuh kelas, tapi pasti butuh kejujuran. Ia tidak tergantung kurikulum, tapi tumbuh dari keberanian untuk bertanya ulang, siapa aku, untuk apa aku hidup, dan apa peranku di tengah bangsa yang resah ini?

Menemukan Suara Hati di Tengah Kebisingan Dunia

Mungkin tulisan ini tidak akan mengubah sistem. Tapi seperti seorang pengembara di tengah padang sepi, saya hanya ingin menuliskan sesuatu agar saya tidak lupa, bahwa hidup yang sejati adalah hidup yang sadar, bukan hanya tahu tapi juga bertanggung jawab. Bukan hanya paham, tapi juga peduli. Bukan hanya marah, tapi juga bergerak dalam diam, melalui cara hidup yang jujur, sederhana, dan tidak korup.

Kini saya tahu, sekolah formal penting. Tapi tidak pernah cukup. Yang lebih penting adalah menjadi murid dari kehidupan. Yang terpenting adalah bagaimana kita mau belajar dari luka, mau berubah saat tahu diri salah, dan tetap rendah hati walau merasa benar. Karena dalam dunia yang penuh kepalsuan dan polesan, belajar menjadi manusia yang utuh adalah perjuangan yang sunyi, hening, dan septi, tetapi itulah perjalanan yang membebaskan. Dan satu hal yang kuyakini, kejujuran yang tenang lebih berharga daripada kemenangan yang gaduh.



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama