Pertanyaan-pertanyaan
semacam ini membawa kita pada lorong sunyi filsafat matematika. Sebuah wilayah
pemikiran yang mencoba menjawab: dari mana sesungguhnya matematika berasal?
Apakah ia diciptakan atau ditemukan? Apakah ia nyata atau sekadar imajinasi
kolektif yang kita sepakati?
Di satu tikungan lorong
itu, kita akan bertemu dengan para pemikir Platonis. Mereka percaya bahwa objek
matematika seperti bilangan, titik, atau garis sejatinya hidup dalam dunia ide
yang abadi dan mandiri, sebagaimana dunia ide Plato (427–347 SM) yang
disebutnya sebagai topos ouranos. Matematika bagi mereka adalah penemuan.
Seperti Columbus yang
"menemukan" benua Amerika, para matematikawan menemukan teorema dan
pola yang memang sudah ada, tinggal diungkap. Kurt Gödel (1906–1978), seorang
tokoh penting abad ke-20, bahkan berani berkata bahwa dirinya memiliki intuisi
langsung terhadap dunia matematika sebagaimana indera yang menangkap dunia
fisik (Gödel, 1964). Tak heran, gagasan ini mendorong lahirnya keyakinan bahwa
matematika adalah bahasa Tuhan, sebagaimana sering dipetik dari Galileo Galilei
(1564–1642): "Buku alam semesta ditulis dalam bahasa matematika."
Bagi Isaac Newton
(1643–1727), pandangan Platonik ini menemukan ruang paling megah dalam karya
monumentalnya, Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica (1687). Dalam buku
itu, Newton menyusun hukum gerak dan gravitasi dalam bentuk matematika,
menandai kelahiran fisika klasik yang sangat matematis. Menurut Newton,
struktur matematika semesta ini bukan hanya bukti keteraturan alam, tetapi juga
bukti keberadaan Pencipta Yang Maha Cerdas. "Sistem yang amat indah dari
matahari, planet-planet, dan komet hanya bisa muncul dari rancangan dan
kekuasaan Makhluk Cerdas yang penuh daya," tulis Newton.
Albert Einstein
(1879–1955) juga menggemakan gagasan serupa. Ia pernah berkata, "Hal yang
paling tak bisa dimengerti dari alam semesta adalah bahwa ia bisa
dimengerti." Dalam kata-kata ini, Einstein mengungkapkan kekaguman bahwa
hukum alam dapat diekspresikan dengan kesederhanaan dan keindahan matematika,
seolah-olah semesta memang dirancang agar dapat dimengerti oleh pikiran
manusia.
Di era modern,
fisikawan seperti Michio Kaku (lahir 1947) melanjutkan tradisi ini. Dalam
bukunya The Future of the Mind (2014), Kaku menyebut bahwa "Matematika
adalah bahasa alam. Ia adalah bahasa semesta. Jika Anda ingin berbicara kepada
peradaban alien, Anda tidak berbicara dalam bahasa Inggris atau Prancis. Anda
berbicara dalam bahasa matematika."
Namun tak semua
sepakat. Di ujung lorong lain, kita bersua dengan kaum formalis. Bagi mereka,
matematika tak lebih dari permainan simbol. Tak ada bilangan atau titik yang
sungguh-sungguh eksis di luar kertas. Matematika adalah seperti catur: aturan
dan simbol disusun dan dimainkan, bukan dicari di luar sana. David Hilbert
(1862–1943) adalah panglima besar di kubu ini. Ia menggagas program untuk
membuktikan bahwa semua matematika bisa dibangun dari sistem aksioma yang
tertutup, konsisten, dan lengkap. Sayangnya, impian ini diruntuhkan oleh
teorema ketidaksempurnaan Gödel sendiri yang membuktikan bahwa dalam sistem
matematika yang cukup kompleks, akan selalu ada pernyataan yang benar tetapi
tidak bisa dibuktikan dalam sistem itu sendiri (Gödel, 1931).
Masuk ke lorong ketiga,
kita akan menjumpai logisisme. Di sini, logika dan matematika ibarat saudara
kembar. Gottlob Frege (1848–1925), Bertrand Russell (1872–1970), dan Alfred
North Whitehead (1861–1947) berusaha membuktikan bahwa seluruh matematika bisa
direduksi menjadi logika murni. Karya besar mereka, Principia Mathematica (1910–1913),
menjadi bukti tekad ini. Mereka mencoba mendefinisikan bilangan secara logis:
satu adalah himpunan semua himpunan yang ekuivalen dengan satu anggota, dan
seterusnya. Tapi usaha ini pun menemui dinding, karena muncul paradoks seperti
paradoks Russell, yang menunjukkan inkonsistensi dalam teori himpunan naif.
Lalu ada intuisionisme,
yang lebih memercayai intuisi batin dan konstruksi mental manusia. Matematika,
kata mereka, bukan sesuatu yang ditemukan di luar sana, tapi dibangun dari
dalam kesadaran. Luitzen Egbertus Jan Brouwer (1881–1966) memimpin gerakan ini,
menolak prinsip logika klasik seperti hukum tertium non datur (tidak ada
kemungkinan ketiga) dan hanya menganggap sah kebenaran matematika yang bisa
dibuktikan secara konstruktif. Perspektif ini memunculkan logika intuisionis
yang sangat hati-hati, hanya menerima bukti yang bisa dibangun langkah demi
langkah dalam pikiran. Arend Heyting (1898–1980), murid Brouwer, kemudian
memformalkan logika intuisionis ini.
Keempat aliran ini
masing-masing membawa dunia filsafat matematika pada lanskap yang menegangkan
dan memesona. Bayangkan: Platonisme memuncak pada optimisme Newton tentang
hukum alam yang pasti dan terukur, lalu menemukan tantangannya dalam
relativitas Einstein yang mengguncang absolutisme ruang dan waktu. Bahkan
semangat penemuan Platonik itulah yang memantik para fisikawan kuantum untuk
terus mencari hukum-hukum tersembunyi di balik probabilitas partikel subatomik.
Tentu, semua aliran ini
tidak sepenuhnya saling meniadakan. Dalam dunia filsafat matematika modern,
banyak pemikir menggabungkan pendekatan-pendekatan itu secara kreatif.
Misalnya, pendekatan strukturalis yang tidak terlalu peduli pada keberadaan
objek matematika itu sendiri, tapi lebih pada relasi antara objek-objek
tersebut dalam satu sistem. Tokoh kontemporer seperti Stewart Shapiro (1951–),
penulis Thinking About Mathematics (2000), dan Penelope Maddy (1950–) dengan
karya Realism in Mathematics (1990), mengeksplorasi realisme baru dan pandangan
naturalistik tentang eksistensi objek matematika yang menolak dikotomi
tradisional.
Ada juga nominalisme
yang menyangkal eksistensi entitas matematika dan melihat matematika hanya
sebagai cara berbicara tentang dunia. Hartry Field (1946–), dalam Science
Without Numbers (1980), mencoba menunjukkan bahwa teori ilmiah dapat
diformulasikan tanpa menyebut entitas matematika sama sekali.
Mengapa ini penting?
Karena cara kita memahami matematika akan memengaruhi cara kita mendidik
anak-anak kita, membangun sistem kecerdasan buatan, hingga merancang eksperimen
fisika di laboratorium. Ketika kita percaya bahwa matematika adalah kebenaran
yang abadi, maka kita akan mengajarkan siswa untuk mencarinya. Tapi jika kita
menganggapnya sebagai permainan simbol, maka pendidikan akan lebih menekankan
manipulasi logis dan pemahaman aturan.
Dalam sebuah kuliah di
Harvard, pelukis kontemporer Zhenya Gershman pernah menyitir pendapat Alfred
North Whitehead: "Peradaban maju dengan memperluas jumlah operasi penting
yang dapat kita lakukan tanpa perlu memikirkannya." Matematika, dalam arti
ini, menjadi infrastruktur tak kasat mata bagi kemajuan peradaban.
Maka di akhir
perjalanan lorong ini, kita kembali pada pertanyaan mula: apakah matematika
itu? Mungkin, ia cermin. Cermin tempat manusia melihat ke dalam pikirannya
sendiri, ke dalam struktur semesta, dan kadang-kadang, ke dalam wajah Tuhan.
Dan barangkali ini dinyatakan dalam matematikalisasi puisi berikut:
Satu
itu Tuhan Yang Maha Esa,
Tiada
sekutu, tiada terbagi selamanya.
Ia
meliputi semesta raya,
Cinta
dan Cahaya tak terbatas daya.
Dua
adalah pancaran mula,
Akibat
pertama dari Yang Mahamulia.
Tiga
dan seterusnya kejamakan nyata,
Informasi
penting disajikan secara kronologis
Rangkaian
wujud dalam rupa dan tata.
Bilangan
prima berdiri sendiri,
Hanya
dibagi oleh satu dan diri.
Lambang
rindu yang murni suci,
Menuju
Ilahi dalam sunyi.
Pecahan
menyiratkan relasi terbagi,
Eksistensi
saling melengkapi.
Antar
makhluk dan antar zaman,
Tersambung
dalam satu Tuhan.
Bilangan
irasional sulit dijangkau,
Panjang
tak terhingga, tak bisa kau tahu.
Melambangkan
batas nalar manusia,
Dalam
mencari hakikat semesta.
Bilangan
real gabungan makna,
Antara
nyata dan tak sempurna.
Mencerminkan
keterbatasan kita,
Menapak
jalan menuju cahaya.
Bilangan
imajiner bukan khayali,
Tapi
potensi dari nurani.
Kemampuan
insan berimprovisasi,
Bersama
Tuhan menjadi co-kreasi.