2 NOVEMBER PERINGATAN HARI ARWAH BAGI UMAT KATOLIK
PENGALAMAN DI KAMPUNG NUMBEI
PERINGATAN arwah semua orang beriman menjadi momentum reflektif untuk mengenang dan merayakan kembali hubungan antara orang yang sudah meninggal dan yang masih hidup. Kematian diimani sebagai anugerah dari Allah. Sebab, baik hidup maupun mati kita adalah milik Tuhan. Dalam pemahaman demikian, sesungguhnya Kristus menjadi pemersatu dan jembatan penghubung antara hidup dan mati. Kristus jugalah yang menjadi jaminan hidup kekal. Pepatah klasik mengatakan,; ‘hodie mihi cras tibi’, Hari ini saya, besok Anda’. Kematian akan dialami semua orang. Kematian adalah jalan untuk mengalami perjumpaan dengan Kristus yang diimani.
Momentum peringatan semua orang beriman memberi ruang dan waktu untuk menghadirkan kembali nilai-nilai dan sikap pribadi-pribadi yang pernah berziarah bersama di dunia. Kebiasaan mendoakan arwah dalam Ekaristi kudus, mengenang dan berziarah ke makan anggota keluarga menjadi tanda iman dan kasih yang melahirkan harapan akan kebangkitan kekal.
Mengapa 2 November Sebagai Hari Arwah?
Dalam Kekristenan Barat, perayaan tahunan ini sekarang diperingati
setiap Tanggal 2 November dan terkait dengan Hari Raya Semua Orang Kudus
Tanggal 1 November.
Sehari setelah hari Perayaan Orang Kudus disebut sebagai hari arwah (all souls day) yaitu hari yang ditetapkan untuk mengenang dan mempersembahkan doa-doa atas nama semua orang beriman yang telah wafat.
Mengingat
makna antara keduanya demikian dekat, maka tak mengherankan bahwa
Gereja merayakannya secara berurutan. Setelah kita merayakan hari para
orang kudus, kita mendoakan para saudara- saudari kita yang telah
mendahului kita, dengan harapan agar merekapun dapat bergabung dengan
para orang kudus di surga.
Umat Kristiani telah berdoa bagi para saudara/ saudari mereka yang telah wafat sejak masa awal agama Kristen.
Liturgi-
liturgi awal dan teks tulisan di katakomba membuktikan adanya doa- doa
bagi mereka yang telah meninggal dunia, meskipun ajaran detail dan
teologi yang menjelaskan praktek ini baru dikeluarkan kemudian oleh
Gereja di abad berikutnya.
Mendoakan jiwa orang- orang yang sudah
meninggal telah tercatat dalam 2 Makabe 12:41-42. Di dalam kitab
Perjanjian Baru tercatat bahwa St. Paulus berdoa bagi kawannya
Onesiforus (lih. 2 Tim 1:18) yang telah meninggal dunia. Para Bapa
Gereja, yaitu Tertullian dan St. Cyprian juga mengajarkan praktek
mendoakan jiwa- jiwa orang yang sudah meninggal.
Hal ini
menunjukkan bahwa jemaat Kristen perdana percaya bahwa doa- doa mereka
dapat memberikan efek positif kepada jiwa- jiwa yang telah wafat
tersebut. Berhubungan dengan praktek ini adalah ajaran tentang Api
Penyucian. Kitab Perjanjian Baru secara implisit mengajarkan adanya masa
pemurnian yang dialami umat beriman setelah kematian.
Yesus
mengajarkan secara tidak langsung bahwa ada dosa-dosa yang dapat
diampuni setelah kehidupan di dunia ini, (lih. Mat 12:32) dan ini
mengisyaratkan adanya tempat/ keadaan yang bukan Surga -karena di Surga
tidak ada dosa; dan bukan pula neraka -karena di neraka sudah tidak ada
lagi pengampunan dosa. Rasul Paulus mengatakan bahwa kita diselamatkan,
“tetapi seolah melalui api” (1 Kor 3:15).
Para Bapa Gereja, termasuk St. Agustinus (dalam Enchiridion of Faith, Hope and Love dan City of God), merumuskannya dalam ajaran akan adanya pemurnian jiwa setelah kematian.
Pada hari- hari awal, nama- nama jemaat yang wafat dituliskan di atas plakat diptych. Di abad ke-6, komunitas Benediktin memperingati jiwa- jiwa mereka yang meninggal pada hari perayaan Pentakosta.
Perayaan
hari arwah menjadi peringatan universal, di bawah pengaruh rahib Odilo
dari Cluny tahun 998, ketika ia menetapkan perayaan tahunan di rumah-
rumah ordo Beneditin pada tanggal 2 November, yang kemudian menyebar ke
kalangan biara Carthusian. Sekarang Gereja Katolik merayakannya pada
tanggal 2 November, seperti juga gereja Anglikan dan sebagian gereja
Lutheran.
Dari keterangan di atas, tidak disebutkan mengapa
dipilih bulan November dan bukan bulan- bulan yang lain. Namun jika kita
melihat kepada kalender liturgi Gereja, maka kita mengetahui bahwa
bulan November merupakan akhir tahun liturgi, sebelum Gereja memasuki
tahun liturgi yang baru pada masa Adven sebelum merayakan Natal
(Kelahiran Kristus).
Maka sebelum mempersiapkan kedatangan
Kristus, kita diajak untuk merenungkan terlebih dahulu akan kehidupan
sementara di dunia; tentang akhir hidup kita kelak, agar kita dapat
akhirnya nanti tergabung dalam bilangan para kudus di surga. Kita juga
diajak untuk merenungkan makna kematian, dengan mendoakan para saudara-
saudari kita yang telah mendahului kita. Juga, pada bulan November ini,
bacaan- bacaan Misa Kudus adalah tentang akhir dunia, yaitu untuk
mengingatkan kita tentang akhir hidup kita yang harus kita persiapkan
dalam persekutuan dengan Kristus.
Harapannya adalah, dengan
merenungkan akhir hidup kita di dunia, kita akan lebih dapat lagi
menghargai Misteri Inkarnasi Allah (pada hari Natal) yang memungkinkan
kita untuk dapat bergabung dalam bilangan para kudus-Nya dalam kehidupan
kekal di surga.
Catatan Usang Sebuah permenungan tentang Kehidupan dan Kematian
Di setiap bandara, terminal bus atau stasiun kareta api ada dua hal yang menjadi pusat perhatian. Pertama, waktu kedatangan, kedua waktu keberangkatan. Waktu kedatangan menjadi penting bagi mereka yang menantikan kedatangan atau kehadiran seseorang yang akan dijemputnya. Sementara itu waktu keberangkatan menjadi penting bagi mereka yang akan meninggalkan tempat itu untuk pergi ke suatu tempat atau beberapa tempat. Demikianlah ada yang datang dan ada yang pergi.
Dinamika kehidupan manusia juga ditandai dengan dua hal tersebut, datang dan pergi. Setiap hari di halaman surat kabar dan media sosial semisal facebook atau wahtsApp terpasang berita duka atau kematian dalam berbagai macam versinya. Dalam kolom berita itu terpasang foto dan caption tentang seseorang yang telah menyelesaikan hidupnya dan pergi ke alam baka. Sementara itu, pada halaman yang sama terpasang berita kelahiran di pelbagai belahan dunia. Kontras antara yang pergi dan datang hadir setiap hari dalam ziarah kehidupan ini. Kelahiran mendatangkan suka cita sedangkan kematian mendatangkan duka cita.
Untuk kedua situasi tersebut, orang yang mengalaminya tak merasakan secara sungguh apa yang sebenarnya terjadi. Seorang bayi tentu sajak tak pernah mengetahui secara persis bagaimana situasi dirinya saat lahir untuk pertama kalinya di dunia ini. Barulah setelah cukup umur, ia akan mengerti, itupun tidak situasi yang dialaminya. Demikian pula dengan mereka yang meninggal dunia. Iklan atau ucapan duka cita tentu tidak mereka baca sendiri. Yang membacanya adalah orang lain. Kelahiran dan kematian hadir dalam diri keterbatasan manusia. Oleh karena itu dibutuhkan bantuan orang lain yang sungguh bisa sadar dan mengamati dan memberikan apa yang dibutuhkan oleh mereka yang baru lahir dan meninggal dunia.
Sebagai orang Kristen Katolik memperingati hari arwah, kita diajak mengingat mereka semua yang telah meninggal dunia dengan penuh kasih dan iman. Kita ingat jiwa-jiwa orang beriman itu dalam kasih supaya senantiasa terjalin relasi antara kita yang masih berziarah di dunia ini dengan mereka yang telah berziarah di alam baka. Relasi ini diungkapkan dalam kasih yang tidak pernah dipatahkan oleh apapun bahkan oleh kematian sekalipun. Selain itu, kita diajak mengenang mereka yang telah meninggal dengan penuh kepasrahan. Kita diajak untuk percaya bahwa Sang pemilik kehidupan senantiasa memberikan yang terbaik untuk mereka yang telah meninggal dunia.
Sudahkah kita siap?
Akhirnya, mari bersama-sama kita merenungkan, sudahkah kita siap
menghadapi kematian kita? Ini merupakan pertanyaan yang mudah dijawab
dengan mulut namun sebenarnya tidak semudah itu, jika itu melibatkan
segala konsekuensinya. Sebab walaupun kita telah memperoleh janji
keselamatan dan kehidupan kekal, namun kita harus memperjuangkannya
selama kita masih hidup di dunia ini, agar kita dapat menerimanya (lih.
Flp 2:12). Apakah kita telah sungguh mengenal Allah dan mengimani
Kristus? Apakah kita telah mengasihi Tuhan dengan segenap hati kita? Dan
mengasihi sesama demi kasih kita kepada Tuhan? Apakah kita telah
merindukan persatuan dengan Tuhan dan kehidupan surgawi yang Tuhan
janjikan? Apakah kita mau hidup dalam pertobatan terus menerus sampai
pada akhir hidup kita?
Ada baiknya pertanyaan- pertanyaan terus kita renungkan dalam hati
kita, agar kita mengingat bahwa hidup kita di dunia ini adalah
sementara. Namun, Tuhan telah mempersiapkan kehidupan yang kekal bagi
kita orang-orang percaya. Mari kita senantiasa berdoa agar kita setia
dalam iman, pengharapan dan kasih, sehingga pada saatnya nanti, kita
melihat penggenapan firman ini:
“Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar
oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua
yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia” (1 Kor 2:9).
WARGA NUMBEI BERZIARAH KE MAKAM(KUBURAN UMUM)
Dusun Numbei-Desa Kateri
Kecamatan: Malaka tengah
Kabupaten: Malaka
Provinsi: Nusa Tenggara Timur
Untuk setiap umatat Kristen, yang melakukan ziarah ke makam, mempuunyai
satu kesamaan pandangan, yaitu merupakan tanda dan lambang menghormati
dan penghormatan ke/pada mereka yang telah lebih dipanggil oleh Sang
Empunya Hidup dan Kehidupan.
Mereka yang ada di Numbei, dan relatif dekat dengan makam orang tua dan kerabat, maka ziarah ke makam, merupakan suat kebiasan, bahkan cenderung sebagai kewajiban yang selalu rutin dilakukan pada 2 November yang merupakan hari peringatan arwah semua orang beriman. Ziarah ke makam dilakukan dengan tindakan atau kegiatan praktis yakni membersihkan kuburan, membakar lilin, menabur bunga-bunga di atas kuburan, menaruh siri pinang, menaruh minuman berupa kopi atau teh dan juga jeni-jenis kue di setiap kuburan. Dan setalah itu dilanjutkan dengan berdoa bersama bagi mereka semua yang meninggal dunia. Setelah doa bersama setiap keluarga menikmati minuman dan makanan jenis kue yang mereka bawa dari rumah masing-masing di sekitar kuburan. Tindakan makan dan minum bersama para leluhur yang sudah meninggal berangkat dan kepercayaan masyarakat setempat bahwa mereka yang sudah meninggal memiliki kehidupan yang sama dengan keluarga yang masih hidup, yang membedakan hanya mereka sudah di dunia lain yakni alam baka (kehidupan abadi).
Inilah Potret Masyarakat Numbei Ketika Ziarah ke makam
Kesibukan membakar lilin |
Ziarah ke makam. Semua kularga yang tinggal di perantauanpun datang |
Setiap keluarga mencari kuburan anggota keluarganya yang sudah meninggal untuk membakar lilin |
lilin-lilin menyala di kuburan |
Senja berahmat bagi para peziarah |
Sirih pinang ditaruh di atas kuburan |
Mereka membakar lilin seraya menyampaikan doa spontan di dalam hati |
anak-anak kecil dibawa serta agar mereka mendapat matak malirin (Indo. Berkat) |
Si Adi berpose bersama Pusara Mama Mantunya |
Sang Penulis mengambil bagian dalam ziarah ini. |