NUMBEI RAI MORIS FATIN
(Kampung Numbei Tanah Kelahiranku)
Oleh Frederick Mzq
Oleh Frederick Mzq
Otakku kemudian melanglang buana mencoba menemukan apa yang seru
dari sudut-sudut kampung halamanku. Apa yang spesial atau apa yang menarik dari
kampung halamanku ini?
Aku pun berjalan menuju pinggir sungai Benenai yang berada di
pinggir kampung halamanku. Aku menerawang. Jauh diantara pepohonan dan belukar
liar yang memenuhi kekosongan di sekitar bebatuan di bibir sungai ini. Sejurus
kemudian ada yang sayup-sayup berbisik tentang masa dulu di kampung halaman. Di
balik kesunyian senja sore itu, ingatanku pun kembali ke masa di mana ada
banyak keseruan yang menyelip bersama kenangan.
Kampung halamanku Numbei merupakan sebuah dusun dari wilayah
Desa Kateri yang berada di salah satu sudut kota Betun-Kabupaten Malaka, kampung
kecil di sisi selatan Pulau Timor.
Kampung halamanku bisa dibilang menyatu dengan alam khas yakni kawasan hutan
larangan wilayah Kateri dan aliran sungai Benenai (Mota Baen dan Mota Bot).
Suasana persauadaraan dan kekeluargaan sangat nampak di sini. Semboyan
dasar kehidupan masyarakat Numbei adalah “hadomi
malu” (bahasa Tetun) yang artinya saling mengasihi. Di kampungku ini ada
beberapa suku yang merupakan suku-suku bagian dari Kerajaan Fatuaruin-Builaran
yakni Suku Mamulak, Satan Taromi, Mota
Ibun, Tahu Atok, dan Uma Bot (Naisore).
Ketika aku masih seumuran SD di SD Inpres Numbei, Puluhan
tahun lalu lah kira-kira Masa yang sangat menyenangkan bagi kami
anak-anak untuk menikmati permainan tradisional. Adapun jenis-jenis permainan
yang kami lakukan yakni:lompat tali, petak umpet, balapan menggunakan ban motor
bekas, gasing, layang-layang, kejar-kejaran, hatau silahkan (gobak sodor atau hadang-hadang) dan permainan yang
lainnya.
Rutinitas yang kami lakukan setiap pagi hari adalah mandi, dan
menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah dengan berjalan kaki secara ramai-ramai.
Sekolah Dasar Inpres Numbei yang ada di kampung ini memiliki jumlah siswa yang
sangat sedikit setiap tahun ajarannya. Ada masa di mana ada kekosongan kelas
karena tidak ada murid. Alasanya karena anak-anak usianya belum mencapai
persyaratan untuk masuk sekolah dasar. Walaupun tinggal di kampung, kami juga
mendapatkan ilmu yang sama seperti anak-anak kota pada umumnya.
Numbei, Kampung halamanku adalah kampung yang sangat terisolasi,
tak ada laju bunyi kendaraan roda dua (Motor) dan empat (mobil) yang terdengar
di sana. Yang terdengar di sini adalah bunyi suara binatang peliharaan saja
seperti Babi, Sapi, Kambing dan Anjing dan aktivitas masyarakat yang mayoritas bermata
pencaharian sebagai Petani kebun. Akses jalan menuju ke sini sangat minim yakni
menguji kekuatan langkah kaki untuk menyeberangi Sungai Benenai, apabila
melewati Desa Kakaniuk. Di lain sisi, ketika banjir menyelimuti sungai Benenai,
maka jalan alternatif untuk ke Numbei adalah berjalan kaki melewati kampung
Kateri. Lagi-lagi kekuatan kaki diuji untuk berlangkah menuruni perbukitan dan
hutan larangan untuk sampai di Numbei.
Sungguh malang kampung halaman Numbei. Kami tak menikmati
penerangan listrik dari PLN sebagaimana mestinya. Yang ada pada setiap rumah
pada umunya adalah lampu sehen yang merupakan alat penerangan alternatif di
malam hari. Kesederhanaan masyarakat dalam melakoni rutinitas merupakan
ungkapan bahagia mereka tentang perjalanan hidup yang mereka nikmati. Kesederhanaan
merupakan tradisi untuk menjalani kehidupan bermakna. Adapun momen-momen
menakjubkan sebagai anak dari kampung Numbei:
1.
Hari dimulai dengan
segenggam pagi
Bangun pagi di desa adalah rahmat tak
terkira. Yang akan menyapamu bukan pemandangan motor atau debu,
namun udara bersih dan aroma pepohonan yang basah oleh embun. Mandi atau membasuh
muka pada pagi hari merupakan rutinitas pembuka yang dilakukan anak-anak
sekolah walaupun harus diakui kadang lupa menggosok gigi. Ini menjadi ritual
pagi yang komunal dan mengakar menjadi tradisi.
2.
Pendidikan bukan
sekedar nilai-nilai mata pelajaran
Anak-anak yang tumbuh di kampung
Numbei, mengenyam pendidikan formal seperti halnya anak-anak kota. Meskipun kadang
harus menghadapi tantangan ekstra. Yang pasti, ruangan kelas sederhana tak
pernah menjadi alasan untuk mereka tak bahagia. Pendidikan bukan hanya sekedar
mendapatkan nilai-nilai mata pelajaran atau ranking di kelas, tetapi juga soal
berbagi pengalaman serta semangat menyongsong masa depan.
3. Bermain dengan imajinasi
Lupakan
video game, komputer, gadget, atau smartphone. Produk-produk itu
memang sudah masuk ke kehidupan desa, tapi belum sepenuhnya menjadi
raja. Bagaimana bisa barang-barang itu berkuasa kalau listrik di desa saja
tidak selalu bisa ada? Tapi hal ini tak kemudian membuat para
penduduknya merasa kurang. Mereka justru kaya dengan imajinasi dan
kreativitas sendiri.
Siapa di
antara kita yang masih sudi membuat mainannya sendiri? Anak-anak yang tumbuh di
kota bisa lebih mudah mendapatkan mainan yang mereka inginkan, karena
di sana semuanya sudah disediakan oleh toko-toko dan supermarket. Tapi di sini,
setiap mainan adalah buah tangan mereka, hasil dari imajinasi mereka.
Anak-anak
Numbei juga suka sepakbola seperti kita. Bedanya, mereka tidak butuh sepatu
yang bagus atau lapangan indoor yang mewah untuk bermain. Yang mereka butuhkan
telah disediakan sendiri oleh alam.
4.
Hidup
tak habis untuk berpikir mau makan di mana. Tak perlu pula khawatir
tentang boraks atau pestisida. Cukup makan kesegaran yang disajikan bumi,
setiap hari.
5.
Di kampung,
keluargamu bukan hanya adik, kakak, dan ayah-ibu. Ada tetangga dekat
maupun jauh yang siap membantu dan mengasuhmu.
6.
Di
kota, kita membayar mahal untuk tempat tinggal dan ruang aktivitas
yang tenang. Di kampung, jiwa dan pikiran yang damai adalah hal yang
begitu mudah didapatkan.
7. Listrik dan sinyal yang
tak terjamin bukan alasan untuk mengeluh. Justru karena ini, mereka tak selalu harus
teracuni oleh apa yang ditawarkan televisi.
Kurangnya aliran listrik yang menjamah pedesaan
tak selalu berdampak buruk. Bahkan tak tersedianya listrik maupun internet
membuat masyarakat desa tak mengerti tentang berita-berita pasnas yang sedang
terjadi. Hal ini membuat mereka tak terlalu peduli dengan keadaan diluar sana.
Mereka tak peduli gosip, mengerti berita kriminal, dan tak peduli debat murahan
yang sering ditayangkan televisi.
8. Ritme waktu yang berjalan
lambat akan membuat kita menikmati hidup yang telah Tuhan anugerahkan.
Kita terbiasa berpacu dengan waktu, meyelami ritme
kehidupan kota yang cepat. Mulai bangun tidur kita disibukkan untuk
bersiap-siap dan bergegas mengejar angkutan untuk berangkat ke kantor. Sepulang
kerja kita harus berdesakan lagi di angkutan umum, belum lagi kemacetan yang
sepertinya tak pernah surut. Waktu kita seakan tersedot habis untuk mengejar
masalah-masalah duniawi.
Berbeda jauh dengan kota, ritme kehidupan di kampung
berjalan lambat, ketenangan menyelimuti tiap sudut kampung. Dengan begini kita
akan lebih bisa memaknai arti hidup, bahwa hidup tak hanya melulu untuk
mengejar kekayaan duniawi. Lebih dari itu, kita juga harus sadar bahwa jiwa dan
hati kita juga butuh ketenteraman.
9. Kesederhanaan akan
membuat kita menjadi manusia yang lebih bisa bersyukur, lebih akrab dengan
alam dan Tuhan
Mandi dan mencuci di sungai, makan siang di gubuk
tengah kebun, dan melewati malam hanya ditemani sebatang obor maupun lampu
minyak membuat mereka lebih menghargai dan mensyukuri hidup dan kesederhanaan
yang telah diberikan kepada mereka.
Meski tak memiliki fasilitas yang berlimpah seperti
di kota, masyarakat perkampungan justru amat sangat menjunjung tinggi
kesederhanaan. Mereka tak perlu mobil mahal maupun pakaian bermerek. Yang
terpenting bisa bertani dan mencukupi kebutuhan sehari-hari sudah untung. Tak
perlu banyak menuntut, toh semua harta benda pada akhirnya tak akan dibawa ke
kubur. Yang pasti amal kebaikan kita-lah yang akan menemani dan menolong kita
di alam baka nanti.
Mungkin hal-hal diatas hanyalah contoh kecil
kehidupan desa yang masih belum sepenuhnya terjamah modernisasi. Hipwee juga tak
ingin mengatakan bahwa semua masyarakat kota hanya peduli materi, dan tak semua
masyarakat desa senang akan kesederhanaan. Khususnya mereka kaum muda yang haus
akan petualangan dan pengalaman, lebih memilih hijrah dari desa dan mencoba
mencari keuntungan di kota. Pada akhirnya, semua kembali dari pribadi dan
pendapat masing-masing
Namun kini tanpa disadari memang,
dengan semakin banyak orang meninggalkan kampung Numbei, maka lambat laun,
sedikit demi sedikit kampung ini sendiri akan mulai terbiarkan. Kecuali kalau
mereka-mereka yang pergi merantau itu mau kembali lagi untuk membangun kampung
halamannya, atau setidak-tidaknya berbuat sesuatu di kampung halamannya
meskipun domisilinya tidak lagi di situ. Maka ingatlah kampung halamanmu.
Saya tidak akan melupakan kampung
halaman saya. Meskipun secara sadar saya mesti mengakui bahwa saya sesungguhnya
adalah warga Negara Indonesia, sehingga kampung halaman saya adalah INDONESIA,
dimana pun kaki saya dipijakkan. Kampung halaman akan tetap menjadi ‘home
sweet home’ yang ada dalam sanubari ini.
NUMBEI HAU HADOMI O
NUMBEI, AKU CINTA PADAMU
Salah seorang petani menuju ke kebun |
debu laran, rawa-rawa bekas daerah persawahan di Numbei |
Beberapa tokoh masyarakat sedang melakukan survei lokasi untuk pembuatan embung |
Sangat eksotik panorama wilayah Debu Laran, Numbei |
Sungai Benenai, alternatif untuk menuju kampung Numbei |
Numbei tampak dibingkai oleh pepohonan hijau dan aliran sungai Benenai |
Titik sentral untuk menyebrangi Sungai Benenai |
Situasi perkampungan Numbei dipotret dari salah satu sudut kampung |
Kampung yang sangat aku banggakan
Aku senang bisa tinggal disini
Di pagi hari yang segar ini
Aku pejamkan mataku dan ku bayangkan
Begitu indahnya kampung halamanku
Terasa tentram hati ini
Di saat aku hirup udara pagi
Aku menikmati suasana yang sejuk ini bersama rumput-rumput hijau
Masih tertulis sangat jelas dan nyata di pikiranku
Aku teringat semasa kecilku
Di kampungku menampilkan pertunjukan-pertunjukan persaudaraan dan kekeluargaan
Air Benenai yang mengalir dan menabuh bebatuan tergambar di pikiranku
Terik matahari dan hembusan angin yang menemani
Ku habiskan masa kecilku di sungai Benenai bermain air bersama teman-temanku
Bermain tak kenal waktu di pekarangan kosong dan di pinggir sungai Benenai
Tapi sekarang semua hampir tampak sunyi semua bergegas tinggal di kota
Kampung halaman tidak bisa terhapuskan
Karena dari sanalah aku pertama kali belajar tentang banyak hal
Dan disanalah tempat ternyaman yang aku punya
Sinar matahari yang menyinari rumahku
Dari kecil sampai aku dewasa aku belajar dari alam
Aku teringat saat bermain lampu pelita di malam hari bersama teman-teman sehabis study malam di sebuah rumah kosong
Hembusan angin dari kebun-kebun yang disaring oleh kawanan pohon
Apapun yang ada di kota tidak akan mengalihkan kenanganku di kampung
Kampung yang sangat indah
Terima kasih sudah menjadi sahabat terbaik
Apapun yang aku butuhkan
Engkau memberikan
NUMBEI, aku sangat mencintaimu
Kelak, kami generasi hijau ingin mempercantik raut wajahmu.