AKU MENCINTAIMU DALAM KESEDERHANAAN
Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikanya abu
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikanya abu
Aku ingin mecintaimu dengan
sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Sapardi Djoko Damono, (1989)
Dewasa ini, keanekaragaman arti
cinta semakin sulit diterka dalam setiap peristiwa-peristiwa yang mengirinya.
Sinetron bilang cinta suci, pembunuhan ‘menghunuskan’ cinta, bahkan koruptor
pun ‘menyelipkan’ cinta dan seakan tak mau kalah iklan pun ikut-ikutan
menyatakan cinta. Seolah cinta selalu menjadi alasan dalam setiap tindakan.
Lalu, bagaimana Sapardi ‘melukis’ cinta sederhananya?
Sebelumnya harus saya akui secara
pribadi, puisi ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan puisi cinta pada
umumnya yang penuh akan puja dan puji dan kalimat yang melangit bahkan amat
terlalu (baca lebay). Dalam puisi ini, Sapardi justru menekankan pada kesederhanaan
bersajak. Namun dalam kesederhanaannya kita tetap akan bisa melihat kedalaman
‘lukisan’ perasaan sang penulis.
Mengutip dalam kamus besar Bahasa
Indonesia ‘sederhana’ memiliki arti : sedang, bersahaja, tak banyak seluk
beluk, tak rumit dan lain sebagainya. Maka bila kita dihubungkan pada sajak
ini, Seakan ada perbandingan yang sangat nyata. Pada baris pertama pada bait ke
satu dan kedua, ada kalimat pernyataan.
Aku
Ingin Mencintaimu dengan sederhana
“Aku ingin..” kalimat itu seperti
mengungkapkan suatu harapan untuk bisa berbuat lebih. Namun Sapardi juga seakan
menghadirkan kesederhanaan dengan kalimat lanjutannya “… mencintaimu dengan
sederhana” Sapardi seakan juga ingin melukis wajah cinta yang berkeinginan kuat
namun tetap sederhana, cinta tanpa ‘embel-embel’, bukan cinta yang pasif namun
juga bukan progresif, nafsu atau sesuatu yang memaksakan. Sapardi benar-benar
melukis cinta itu dengan wajah yang sangat sederhana, tulus sepenuh hati tanpa
manipulasi.
Namun pada baris ke satu dan kedua
pada kedua bait puisi itu seakan ada pertentangan pada baris ke satu dan
baris kedua pada kedua bait (baca : ketidak singkronan)
Dengan kata yang tak sempat
diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikanya abu
Kayu kepada api yang menjadikanya abu
Ada suatu ketertundaan, ada suatu
yang tak sempat tersampaikan pada bait itu, namun tetap dirasa sebagai sesuatu
yang utuh. “kata” menjadi sebuah perwakilan ungkapan terimakasih, rasa kagum,
ingin dari “kayu” yang sampai pada tahap tertentu lantaran “api”, yaitu “abu”.
“kata” jika diucapkan akan menjadi ukuran, sejauh mana rasa terimakasih kayu
akan tergambar. Bisa jadi ungkapan dari “kata” menjadi hal yang biasa,
bertele-tele ataupun tak sesuai dengan maksud perasaan dan menjadi hal yang
tidak sederhana lagi. Ketika “kata” tak sempat di utarakan, maka ia akan
menjadi hal yang tertangguh dalam benak, terbawa dalam sikap sehari-hari. Pada
akhirnya sikap itulah yang benar-benar hidup dan menjadi ungkapan sebenarnya
yang lebih utuh, tulus dan sederhana.
Dengan isyarat yang tak sempat
disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Dibait ini makna cinta sederhana
seakan terlukis untuk saling meniadakan.Ada kontroversi dalam puisi ini yang
menjelma menjadi teka teki. Bukankah cinta itu sesuatu yang utuh bukan malah
saling tiada meniadakan? Namun saya teringat akan makna ‘sederhana’ bukankah
semua ini bermuara pada kata itu. penggunaan metafor tersebut tidak
mengandaikan maksud saling meniadakan tetapi sebuah proses keberlanjuntan. Jadi
keberlanjutan itu seolah kebutuhan yang mesti ada untuk sampai pada wujud selanjutnya.
Seakan cinta itu sendiri rela tiada untuk sebuah keharusan keberlanjutan.
Api yang meniadakan kayu dan hujan
yang meniadakan awan, demikian juga hujan yang membutuhkan awan. Proses
peniadaan seolah tak terhentikan, bahkan barang sedetik pun. Oleh karena itu,
“penyampain” pada cerita dalam puisi itu seolah terhalang oleh berlangsungnya
proses. Namun justru dengan metaforis yang seperti ini ungkapan tersebut
menghadirkan macam-macam penafsiran tentang mencinta.
Setiap kita bebas menafsirkan
‘wajah’ akan cinta yang sederhana, namun harus saya akui kesederhanaan cinta
dalam puisi ini sama sekali tidak bisa dibilang sederhana. meminjam satu
prinsip yang diyakini Steve Jobs, simplicity
is the ultimate sophistication. Kesederhanaan adalah bentuk ketidaksederhanaan
yang paling tidak sederhana.