Totem “Bei Nai” (Buaya) Dalam Kelompok
Masyarakat Suku Mamulak Numbei-Desa Kateri Kabupaten Malaka
(Oleh: Frederick Mzq)
Penulis foto di fatuk lafaek (batu buaya) di pinggiran bentaran Kali Benenain, Kampung Numbei |
Mengungkap Makna Filosofis dalam Suatu Budaya
Sebagai makhluk
sosial, manusia mempunyai konsep abstrak yang dinyatakan dalam bentuk tanda (sign) dan lambang (symbol). Konsep abstrak itu tampak jelas dalam pola atau sikap
masyarakat terhadap unsur kebudayaan tertentu yang dianggap memiliki kekuatan
atau roh yang tidak bisa dilepaskan dari dinamika kehidupan manusia.
Dalam kebudayaan
Suku Mamulak, salah satu unsur kebudayaan yang dipegang teguh dan menjadi
tradisi suku adalah penghormatan terhadap Bei Nai (buaya).
Penghormatan terhadap Bei Nai ini merupakan totem yang diyakini
oleh seluruh anggota suku. Konsep kebudayan ini lahir dari
tradisi lisan yang diwariskan turun-temurun dari leluhur (Matabian).
Kebudayaan
merupakan hasil usaha manusia sebagai makhluk berakal budi dan bereksistensi
dalam memenuhi kebutuhannya dalam kehidupan bermasyarakat baik secara spiritual
maupun jasmani. Eksistensi manusia dalam kehidupan bermasyarakat itu dapat
diteliti dan ditelusuri pola-polanya yang menunjukkan bahwa manusia itu makhluk
berbudaya.
Penelitian dan
penelusuran serta pencarian ini merupakan suatu usaha untuk mengetahui dan
menerangkan kebudayaan dalam kehidupan manusia yang berbeda-beda.
Tujuannya ialah
untuk melukiskan, membandingkan dan menganalisis aspek-aspek manusiawi suatu
kelompok masyarakat serta menyelidiki cara hidup dan mentalitas dan juga
kebiasaan-kebiasaan yang dihidupi suatu kelompok masyarakat itu sendiri. Salah
satu pemicu lahirnya kebudayaan yakni totem yang dimiliki oleh salah
satu suku atau kelompok tertentu dalam suatu masyarakat.
Totem “Bei
Nai/Buaya” merupakan ciri khas suatu kelompok masyarakat yang ada di Kabupaten Malaka
yakni suku Mamulak di Kampung Numbei, dimana kelompok ini memandang dirinya
mempunyai hubungan darah dengan binatang tertentu yakni buaya. Banyak totem
yang ada di kampung ini dengan kekhasannya masing-masing.
Oleh sebab itu,
penulis ingin memaparkannya agar eksistensi manusia dalam kehidupan
bermasyarakat yang berbeda-beda itu dari waktu ke waktu dapat terungkap
terutama di daerah Timor lebih khusus di daerah Kabupaten Malaka-Betun dengan
totem “Bei Nai” (Buaya).
Pengertian Totem
Kata totem
memiliki beberapa pengertian, antara lain:
Totem berasal
dari bahasa orang Indian, suku Oyiba, asal kata dari ototemen yang berarti persaudaraan.
Totem adalah
kelas benda-benda hidup atau mati dengan mana suatu kelompok diasosiasikan
(totem).
Totemisme adalah
suatu pandangan dunia yang merupakan ciri khas masyarakat-masyarakat primitif,
dimana kelompok memandang dirinya mempunyai hubungan darah dengan binatang atau
tanaman tertentu.
Jadi totem itu
berlaku seturut garis keturunan masing-masing dan dalam anggota suku tersebut.
Itu merupakan kekhasan kebudayaan masing-masing yang telah diwariskan secara
turun-temurun oleh nenek moyang yang tentu sulit untuk diubah.
Pengertian totem
di sini adlah satu kelompok manusia yang mempunyai hubungan khusus dengan jenis
binatang atau tanaman tertentu dan oleh karena hubungan ini mereka merasa
disatukan diantara mereka. Banyak totem yang ada di kampung Numbei ini dengan
alur cerita yang khas dan unik.
Ada totemisme
Hewan dan Tumbuh-tumbuhan. Diantara kedua totemisme ini juga penulis memilih
salah satu yang terdapat dalam totemisme Hewan yakni “Bei Nai” (buaya).
Mengenai hal
ini, bagaimana mereka membayangkan terbentuknya hubungan ini dan dalam hal apa
terbentuk serta seberapa jauh keterikatannya, akan lebih jelas dipaparkan
bagaimana timbul di masing-masing kelompok berupa suatu cerita sebagai gambaran
tentang karakteristik totemisme di wilayah ini.
Suku Mamulak
Selayang Pandang
Suku Mamulak
adalah salah satu suku dalam wilayah kerajaan Liurai-Malaka dengan pusatnya di
sebuah kampung terpencil bernama Numbei (Desa Kateri, Kecamatan Malaka
Tengah, Kabupaten Malaka. Kerajaan Liurai Fatuaruin secara geografis
berada di wilayah Kabupaten Malaka, dengan pusatnya di Builaran(Desa
Fatuaruin, kecamatan Sasitamean).
Adapun tugas
pokok yang diberikan oleh Raja Liurai Malaka kepada suku ini adalah memimpin
doa dalam ritual-ritual kerajaan. Salah satu contoh yang dilakukan adalah “foti hamulak no halo ukur” (memimpin doa
dan membuka ritus upacara adat lainnya) semisal saat raja meninggal dunia dan
kegiatan upacara adat lainnya. Untuk itulah suku ini dinamakan dengan nama Suku
Mamulak Liurai (Klaran Tuan Mamulak).
“Mamulak” dalam
bahasa Tetun berasal dari kata dasar hamulak yang artinya berdoa. Dalam suku
ini terdapat barang antik yang tersimpan di dalam rumah adat yakni
sebuah jubah dan buku doa. Setiap kali kepala suku Mamulak memimpin doa di
Liurai, ia harus mengenakan jubah dan berdoa menggunakan buku
doa tersebut. Namun saat ini jubah dan buka doa ini telah hilang.
Budaya Totem Suku Mamulak: Penghormatan Terhadap “Bei
Nai” (Buaya)[1]
Dalam bahasa
Tetun, buaya dikenal dengan istilah lafaek. Akan tetapi anggota suku Mamulak
menyebutnya dengan nama Bei
Nai, sebuah sapaan penuh hormat untuk buaya.Secara
harafiah, Bei Nai artinya
nenek atau kakek raja. Kata lafaek tidak
digunakan, sebab dalam percakapan sehari-hari kata ini mengandung
makna yang kasar. Karena itu, anggota suku merasa tidak layak
menggunakannya untuk menyebut binatang totem seperti buaya.
Berdasarkan
sejarahnya, penghormatan terhadap Bei
Nai (buaya) dilatarbelakangi oleh sebuah peristiwa di masa lampau.
Menurut keyakinan umum masyarakat suku Mamulak, pada zaman dulu dua orang Meo (panglima perang yang memiliki
kekuatan sakti) dari suku Mamulak, mendapat kepercayaan untuk menjadi pengawal
Kerajaan Liurai. Dua orang Meo itu adalah Ati Mamulak dan Bere
Mamulak.
Waktu itu ada
pesta di pusat kerajaan Liurai. Tanpa sengaja dua orang meo ini memakan buah pisang dan
membenamkannya dalam butir-butir Muti (perak yang digunakan untuk
membuat kalung dan ornamen Nain Liurai atau raja Liurai. Muti tidak
hanya sekadar perak sebab ia mengandung unsur emas) lalu menelannya.
Karena tindakan
ini, mereka dituduh sebagai pencuri muti (uang
perak). Karena takut dibunuh atau mendapat hukuman dari Nain Liurai (Raja), maka mereka berdua
melarikan diri ke laut. Di dalam laut itulah tubuh mereka berdua berubah
menjadi buaya. Tempat di mana mereka berubah menjadi
buaya adalah muara Ati Bere, Pantai Taberek, Teluk Ati
bere yang terletak di wilayah Hanemasin perbatasan langsung dengan wilayah
Kabupaten Timor Tengah Selatan (Soe). Sebagai wujud nyata penghormatan terhadap
kedua orang Meo ini, maka diadakan ritual khusus untuk
menjalin komunikasi yang intens dengan mereka.
Hubungan anggota
suku dengan Bei Nai begitu
terjalin erat dan harmonis. Berdasarkan cerita yang diwariskan Kepala Suku,
setiap kali upacara hamis (upacara
pemberkatan jagung muda yang siap dimakan oleh orang dewasa) maka akan
muncul Bei Nai yang berjalan dari arah sungai Benenai menuju rumah adat.
Mereka datang untuk turut hadir dalam upacara hamis.
Dalam upacara
ini, bahasa adat yang digunakan untuk berkomunikasi dengan Bei Nai antara
lain:
v
·Ohin
loron haklibur hodi husu bensa, uma itak Mamulak uma madomik, nadomi duni ba
feto no mane, ita feto no mane halian fatik (Pada hari ini kita
berkumpul untuk memohonkan rahmat, Sang rumah Mamulak, rumah penyayang, yang
mengasihi siapapun, baik pria dan wanita, kita ini satu).
v
·Ami ata
fafudi tehin ta’tis, tehin ta’tis hodi tane la’lok (Kami ini hamba yang
berada di pinggiran, di tempat ini kami juga memberikan sirih pinang).
v
·Tane
la’lok hodi, lok Liurai, Liurai sei hau moris hokedan (Membawa sirih
pinang, sirih pinang bagi Liurai, Liurai yang termeteraikan sejak lahir)
Zaman dahulu
berdasarkan cerita dari kepala suku biasanya Bei Nai turut berpartisipasi dalam upacara hamis. Mereka (Bei Nai)
mengambil posisi duduk di atas labis (Balai
depan, tempat yang digunakan untuk pertemuan dalam Uma Lulik atau rumah adat). Anggota suku tidak merasa
takut dengan kehadiran mereka. Keyakinan umum orang Mamulak
menyebutkan bahwa Bei Nai tidak mengganggu atau
memangsa manusia secara sembarangan. Ia akan mencelakakan
anggota suku atau masyarakat dari suku lain apabila melakukan
tindakan jahat seperti mencuri atau mengganggu kehidupan Bei Nai itu sendiri. Jika ada
anggota suku yang melakukan tindakan jahat demikian, maka ia tidak akan selamat
pada saat menyeberang sungai Benenai, atau berada di dalam air laut.
Sebagai bentuk
penghormatan terhadap kehadiran Bei Nai, maka diadakan lok mama (pemberian sirih pinang).
Pada saat sirih pinang diberi kepada Bei Nai, bahasa adat seperti yang
tertera di atas dapat diungkapkan.
Hingga sekarang,
masyarakat suku Mamulak Numbei tetap meyakini Bei Nai sebagai pelindung dan penjaga Uma Lulik, Uma
Mamulak (penjaga rumah adat Mamulak) dan semua anggota suku dari ancaman
bahaya maut.
Bentuk
penghormatan terhadap Bei Nai dalam
suku Mamulak adalah salah satu bentuk totem yang begitu kuat
dihidupi oleh anggota suku. Hal ini terjadi karena latar
belakang historis dari suku ini yakni kedua orang Meo yang menjelma
menjadi buaya. Anggota suku ini tidak akan pernah membunuh atau mengusik
kehidupan para Bei Nai, baik yang berada di
laut maupun sungai Benenai. Malapetaka seperti sakit atau
meninggal dunia akan menimpa mereka yang coba mengusik kehidupan Bei
Nai.
Refleksi Kritis
Berbagai macam
bentuk kebudayaan dalam suatu kelompok masyarakat patut dilestarikan serta
ditelusuri secara lebih mendalam yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Apabila dikaji
lebih jelas dengan bantuan metode-metode penelitian yang memadai terutama ratio
(akal-budi), maka akan tertemukan nilai-nilai, norma-norma yang baik dan benar
serta pesan-pesan moral yang harus diteladani dan dihidupi oleh manusia pada
zaman sekarang meskipun itu berbentuk mitos, legenda dan dongeng.
Di zaman
globalisasi, medernisasi, perkembangan teknologi dan informasi yang menggempur
manusia sekarang dan terkadang juga lari tak terarah membuat manusia semakin
lupa akan budayanya masing-masing dan lebih asyik menikmati yang lebih bersifat
westernisasi (mengikuti budaya kebarat-baratan).
Usaha serta niat
untuk menggali serta menghidupi kebudayaan sendiri semakin luntur dan hampir
punah. Hubungan kekerabatan, persatuan dalam masyarakat retak bahkan dalam
keluarga. Hal itu terjadi karena manusia lupa akan identitasnya sendiri yang
belum tertanam dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari.
Terkadang
manusia menjadi musuh bagi sesama serta lupa akan pencipta-Nya. Sodoran
totem Bei Nai (Buaya), menjadi sarana
dan tawaran untuk mengingatkan kembali bahwa hubungan kekerabatan, persatuan
serta sikap saling menghargai dan menghormati satu sama lain dalam suatu
masyarakat dapat dicapai dengan mendalami serta memahami kembali kebudayaannya
sendiri.
Tetapi yang
menjadi perhatian dari penulis bahwa kelompok dari totem ini sistem kepercayaan
masih bersifat animisme.
Matahari (Loro), bulan (fulan) dan bintang (fitun) menjadi
Wujud Tertinggi. Berarti kelompok suku ini percaya kepada Matahari dan Bulan
sebagai Allah (Tuhan) mereka.
Ada dua sikap
saling menghargai yang patut mendapat perhatian yakni hewan dan tumbuhan.
Keduanya ini terkesan unik yakni setiap suku atau kelompok yang memiliki totem
hewan dan tumbuhan tidak saling memakan dan memburu binatang yang menjadi
totemnya.
Hal ini berarti
sikap saling menghargai dan menghormati sangat tinggi. Padahal bagi masyarakat
atau suku lain hewan dan tumbuhan dijadikan sebagai makanan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari dalam mempertahankan hidupnya.
Pandangan kritis
Melihat dan
memahami kebudayaan ini, penulis mencoba mengkritisinya mengenai sistem
kepercayaan yang masih kental dengan animisme. Percaya kepada batu-batu besar,
pohon besar sungai, danau dan lain-lain.
Seperti Fatuk Bei Nai/lafaek (Buaya) yang ada di
riti-Numbei, wilayah bentaran sungai Benenain diyakini masyarakat suku Mamulak
sebagai wujud leluhur mereka yang berubah menjadi buaya dan
membatu. Diyakini
pula bahwa ditempat inilah uma lulik suku Mamulak yang pertama di bangun.
Fatuk lafaek (batu buaya) di riti-Numbei. |
Memang sulit
untuk mengubahnya tetapi perlu dikurangi, karena dengan hadirnya agama-agama
lebih khusus agama Katolik kelompok masyarakat setempat berusaha untuk lebih
memahami lagi mengenai wujud tertinggi atau Allah yang patut disembah artinya
tidak cenderung atau jatuh dalam sikap panteisme.
Matahari yang
dipercayai masyarakat setempat mungkin karena matahari itu pemberi
terang/cahaya, penerang bagi seluruh dunia. Menurut hemat penulis mungkin juga
Allah yang dibayangkan atau yang dipahami oleh kelompok masyarakat itu seperti
Matahari dengan seluruh daya kekuatannya.
Mengenai totem Bei Nai (Buaya) yang dalam bentuk cerita
serta mengandung mitos itu lebih dipetik makna dibalik itu baik secara moral,
etika agar hidup dalam masyarakat dengan dunia zaman modern sekarang yang
semakin maju dan berkembang tidak terjerumus dalam hal-hal yang tidak baik dan
benar serta merusak persatuan dan kesatuan.
Penulis mencoba
berspekulasi bahwa totem Bei Nai (buaya)
ini merupakan seruan etis bagi masyarakat secara umum dan dan kelompok dari
totem yang lain agar tetap menjalin rasa persaudaraan, sikap saling
menghormati, dan menghargai antara satu dengan yang lain. Masyarakat suku atau
kelompok di daerah itu tetap menjaga serta mempertahankanya sebagai bentuk
kearifan lokal sebagai manusia yang berbudaya.
Lihat Batu berbentuk buaya di: https://www.youtube.com/watch?v=ptp0HP9a28E&t=3s
[1]
Materi ini merupakan rangkuman hasil wawancara Frederick Mau dengan Bpk.
Lucianus Tei, Kepala Suku Mamulak Liurai, tinggal di Numbei, Belu Selatan.
Wawancara dilakukan melaui handphone pada Minggu, 11 Maret 2012, pukul 19.00
WITA. Catatan: Materi ini pernah dipublikasikan di kompasiana. Lihat https://www.kompasiana.com/milto.com/5510fe08813311783cbc6e36/kisah-tentang-buaya-dari-belu-timor-ntt
Tags
Budaya Leluhur
FILOSOI KEHIDUPAN MANUSIA
Informasi iman kepercayaan
Informasi Sejarah Masa Lalu
Kampung Numbei
Kebudayaan
Sejarah Kehidupan
Suku Mamulak Numbei