OBRAL JANJI
POLITIK, HARUSKAH DIBAYAR?
Janji adalah menyatakan kesediaan atau kesanggupan
untuk berbuat sesuatu, seperti memberi, menolong, dll. Selain itu, janji juga
merupakan sebuah kontrak yang menandakan transaksi antara 2 orang atau lebih.
Janji sendiri bisa disampaikan melalui lisan maupun tulisan. Melanggar janji
dapat dikatakan sebagai perbuatan tercela. Siapapun bisa berbuat janji,
termasuk pemimpin-pemimpin di negara kita sendiri.
Politik dan
janji adalah dua hal yang berkaitan erat karena tanggapan pemahaman orang atas
relasi keduanya ternyata sangat tergantung pada situasi dan kepentingan
politis. Politik dan janji memang tidak bisa dipisahkan karena hal tersebut
dapat diibaratkan sebagai "suami-istri" yang akan selalu berpasangan.
Maka dari itu, sering dikatakan setiap ada politik, pasti ada janji.
Persoalannya adalah bukan terletak pada ada atau tidaknya janji, melainkan
kualitas janji yang dikenal dengan sebutan politik praktis.
Saat ini situasi perpolitikan di Kabupaten
Malaka-Nusa Tenggara Timur sedang ramai membahas pilkada yang akan dilaksanakan
pada 09 Desember 2020 nanti. Adapun 2 calon kandidat yang terpilih sebagai Calon
Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Malaka yaitu pasangan calon dr. Stefanus Bria Seran-Wandelinus
Taolin (SBS-WT), dan pasangan calon Dr. Simon Nahak-Loise Lucki Taolin (SN-KT)
Biasanya, jika akan ada kegiatan pemilihan umum baik
di negara Indonesia maupun negara yang lainnya, muncul berbagai macam pendapat
rakyat untuk memilih calon pemimpin dari masing-masing individu maupun
kelompok. Karena sejatinya, rakyat akan selalu melihat janji-janji yang telah
diberikan oleh calon yang akan memimpinnya nanti. Walaupun berbeda-beda
pendapat, tetapi pada dasarnya rakyat memilih karena mereka percaya bahwa
pemimpin tersebut bisa menjadi pemimpin yang amanah, bijaksana, adil, dan
tentunya bisa mengayomi rakyat agar dapat menjadikan negaranya lebih makmur dan
sejahtera.
Jika dilihat dari pandangan politik, janji calon
pemimpin yang akan mengikuti kegiatan pemilihan umum akan diutarakan pada saat
waktu kampanye. Janji yang ada di dalam kampanye biasanya merupakan salah satu
strategi kemenangan dalam berpolitik. Pada saat itulah para calon pemimpin
memaparkan program-program terbaik yang sudah mereka rencanakan. Tujuannya
untuk menarik simpati rakyat agar bisa mendukung calon pemimpin sampai bisa
mengantarkan ke arah kemenangan. Mereka akan saling berlomba untuk mendapatkan
suara terbanyak dari rakyat. Pertanyaannya, apakah calon pemimpin ketika sudah
terpilih bisa merealisasikan janji-janji yang sudah dipaparkan dalam
berkampanye? atau hanya sekedar pemanis di awal saja? Kita lihat saja nanti.
Bicara soal menarik simpati rakyat, banyak manuver
yang dilakukan calon-calon pemimpin untuk menarik dukungan atau simpati rakyat.
Salah satu yang paling sering dilakukan adalah menjanjikan sesuatu hal yang
baik kepada rakyat. Biasanya isi janjinya hanya meliputi kebijakan umum saja,
seperti menggratiskan biaya pendidikan dan kesehatan, memberikan akses berupa
modal untuk berwirausaha, pembangunan infrastruktur yang merata, ataupun janji
untuk mengatasi berbagai masalah di daerah tersebut seperti banjir, kemiskinan,
dan masalah actual lainnya.
Ternyata janji-janji tersebut pada kenyataannya
seringkali tidak terealisasi dengan baik. Banyak sekali di antara mereka yang
terpilih mengalami amnesia dadakan. Saat mereka sudah memimpin, mereka lupa
akan janjinya saat kampanye dan malah menganggap janji tersebut sebagai angin
lalu. Hal tersebut sering dikatakan oleh rakyat sebagai "janji palsu"
yang merupakan dua buah kata yang sudah familiar di telinga kita karena
merupakan salah satu jurus yang paling ampuh menurut calon pemimpin pada saat
berorasi dalam kampanye.
Oleh sebab itu, sebagai rakyat, kita juga harus
cerdas dan tak langsung percaya dengan janji-janji yang telah disampaikan.
Jangan mudah termakan dengan janji-janji manis. Kita harus lebih bisa memilah
mana yang bisa dikategorikan sebagai janji yang masuk akal (logis) dengan yang
tidak. Jadilah pemilih yang cerdas karena pemilih yang cerdas akan menghasilkan
pemimpin yang cerdas juga, betul bukan? Selain itu, kita juga jangan mudah
percaya pada janji calon pemimpin yang terlalu berlebihan karena janji yang
baik biasanya realistis dan betul-betul menyentuh pemenuhan hak-hak dasar
masyarakat. Janji-janji yang baik mudah dilihat hasilnya, mudah diawasi dan
dituntut pertanggungjawabannya.
Dalam ranah politik, calon pemimpin yang konsisten
adalah calon pemimpin yang memegang peranan penting untuk melihat seberapa jauh
kebenarannya terhadap janji yang diucapkannya selama kampanye berlangsung.
Sekalipun rakyat sudah tidak percaya karena janji politik identik dengan
kebohongan, hakikatnya dunia yang menerapkan sistem politik tanpa janji adalah
politik yang buruk. Politik tanpa janji bisa terperosok menjadi sebuah
pragmatisme yang tidak mempunyai pandangan jauh kedepan dan hanya berkutat
dengan apa yang ada dihadapannya saat ini.
Bukan hanya itu, politik tanpa janji tidak patut
disebut sebagai politik, mengapa demikian? Karena seorang politisi tanpa janji
tidak akan memiliki visi. Tanpa visi, orang tidak akan memiliki arah yang jelas
untuk melangkah karena visi merupakan janji yang disampaikan seorang calon
pemimpin kepada rakyat berkaitan dengan kondisi ideal dalam momen untuk menjadi
pemimpin melalui mekanisme pemilihan umum.
Calon pemimpin juga harus sadar bahwa pada dasarnya
kepemimpinan bukanlah sebuah momentum untuk mendapatkan kekuasaan semata
melainkan tempat untuk merakit ide untuk kedepannya, mendesain bagaimana cara
menyelesaikan masalah-masalah di wilayah maupun negara, sehingga mampu memimpin
dengan baik. Selain itu, calon pemimpin harus jujur dengan diri sendiri,
seperti jika tidak memiliki kesanggupan untuk merealisasikan janjinya dengan
baik, katakanlah dengan jujur kepada rakyat karena seorang yang memiliki
kelebihan adalah yang bisa mengakui keterbatasannya.
Apabila seorang pemimpin tidak bisa memimpin
rakyatnya dengan baik dan benar, akan muncul dampak-dampak yang tidak baik
pula, seperti tidak akan terciptanya hubungan yang harmonis antara rakyat
dengan pemimpinnya, kericuhan (demo) dapat terjadi dimana-mana karena rakyat
merasa dirugikan, dan bisa menimbulkan munculnya beberapa spekulasi tentang
pemimpin yang menyebabkan rakyat tidak percaya lagi dengan pemimpinnya sendiri.
Obral
janji ini tentu akan terus terjadi dan berlangsung sampai dengan detik-detik
masing-masing orang menggunakan hak pilihnya, walaupun masa kampanye sudah
ditutup rapat secara normatif namun secara factual hal itu akan terus terjadi.
Obral
janji politik memang sangat asyik dikumandangkan, dan terdengar Indah untuk
didengar, misalkan obral janji, jika saya terpilih akan memakmurkan,
mensejahterakan dan membuat masyarakat sentosa, akan menyediakan itu dan itu,
membebaskan ini dan ini serta membangun ini termasuk yang itu.
Sasaran
target politikpun akan banyak yang terbius oleh obral-oral janji
politak-politik, namun mungkin banyak juga yang sudah tidak percayai lagi
terhadap obral janji calon pemimpin atau calon kepala daerah, berkaca pada
pemilu-pemilu ataupun pilkada-pilkada yang telah berlangsung sebelumnya, karena
banyak pemimpin yang ketika sudah duduk dalam tahta singgasana tidak menepati
janji-janjinya dan justru lebih daripada itu mengamankan posisi diri, keluarga
dan elit-elit kolega pendukungnya ketimbang memenuhi janjinya kepada rakyat
pada masa sebelum terpilih.
Beberapa
fakta menunjukan bahwa ketika mereka sudah terpilih dan duduk pada tahta
singgasana kepala daerah, seringkali lupa atau pura-pura lupa terhadap
janji-janji yang pernah diobralkan dihadapan masyarakat pada saat melakukan
kampanye baik yang dilakukan oleh calon itu sendiri maupun oleh tim suksesnya
termasuk oleh partai-partai pengusung maupun pendukungnya.
Seringkali
mereka asyik, sibuk dengan dunianya sendiri sebagai pemimpin Bersama dengan
elit kolega-koleganya. Herankah…? Ketika janji itu, ditagih atau dipertanyakan,
dijawab enteng dengan mimik wajah yang dingin, datar seolah tanpa beban dengan
obral janjinya, "Lah saya kan tidak janji itu-itu kan janji pengsung/pendukung
saya, saya tidak pernah bilang begitu," dan mungkin dengan bahasa-bahasa apologetic
(membela) dan mengindar. Dia berkelit dengan pembenarannya sendiri, bahwa yang
namanya janji politik tidak perlu terlalu perlu untuk dipusingkan, janji
politik bisa atau boleh tidak ditepati. Bahkan ada yang dengan suara lantang
menyatakan kepada masyarakat yang menagih janji politik bahwa, politik telah
usai.
Jika
kita mungkin sepakat bahwa janji adalah hutang (apapun agama dan
keyakinanya), maka apakah janji politik Pilkada adalah termasuk katagori hutang
yang harus dibayar. Jika janji politik adalah merupakan janji akad kontrak
politik kepada publik atau janji kepada banyak orang yang harus ditepati, maka
tidak ada alasan untuk tidak ditunaikan. Selamat menyongsong pemilihan kepala
daerah Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan riang gembira dan
apa adanya serta wajar-wajar saja. (*)