Guru: Sebatang
Kapur Dan Tombak KeberhasilanKu (Filosofi Matahari)
Sebatang Kapur
(Sajak Akar Rumput)
Deretan deretan bangku tanpa kedua kaki tetap
berdiri meski tidak mampu berdiri tegak
Suara lantang terus kau keluarkan sampai mengusir tikus tikus kemalasan diotak
kami
Tanpa mengenal lelah kau terus mendidik kami
Meski keringat bercucuran dan gaji tak seberapa dibandingkan gaji para aparatur
aparatur negara yang tidak adil
Guru
Nama yang akan selalu dikenang sepanjang masa
Dengan kelincahan menarikan sebatang kapur diatas papan tulis yang mulai
mengantuk
Dan terus mendidik hingga kami mendapatkan arti pentingnya kehidupan
Siapakah Guru itu?
Guru
pada dasarnya adalah sebuah sintesa dari kalimat “Digugu dan Ditiru”. Kata kata
penuh filosofi tentang ilmu hidup. Sudah selayaknyalah guru tak sekedar menjadi
penjembatan materi materi sekolahan. Namun lebih dari itu, guru lah orang tua
kedua bagi murid, dimana paling tidak seorang murid akan menghabiskan 4 jam
dalam sehari bersama sang guru di institusi pendidikan. Tak pelak, peran guru
bagi kehidupan masa depan sang anak juga signifikan. Dan itu menjadi bukti
nyata, bahwa filosofi guru bukan hanya sebagai katalisator ilmu ilmu bangku
sekolah, namun lebih dari itu, filosofi sang guru, adalah seorang kreator masa
depan, menanamkan idealisme, motivasi dan harapan untuk masa depan anak
didiknya.
Maksud
dari digugu lan ditiru adalah bahwa seorang guru harus bisa
memenuhi 2 kata tersebut, yakni:
1. Digugu artinya bahwa perkataannya harus bisa
dijadikan panutan dan dapat dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban
tersebut baik yang berupa alasan-alasan maupun bukti-bukti yang logis dalam
penyampaian sesuatu terhadap siswanya maupun kepada masyarakat umum. Maka dari
itu seorang guru harus mempunyai kewibawaan juga wawasan yang cukup tinggi,
sebab apapun yang diucapkannya akan dianggap benar oleh murid-muridnya.
2. Yang kedua, sosok seorang guru harus bisa ditiru,
baik tingkah lakunya, segala hal yang diucapkannya (pengetahuannya),
semangatnya, dan budi pekertinya harus bisa dijadikan teladan. Sehingga
dengan terpenuhinya kedua kata tersebut yaitu "digugu lan
ditiru" maka tujuan pendidikan niscaya akan dicapai dengan baik.
Menurut Richard Leblanc, pengajar di York
University, Ontario, Kanada, ada 10 hal yang mesti diperhatikan,
supaya bisa menjadi guru yang baik sekaligus sebagai pemimpin yang baik.
(Leblanc, 1998). Dalam hal ini, terdapat 3 hal sebagai filosofi
saya agar bisa menjadi guru dan pemimpin yang baik. Antara lain yaitu:
a. Cinta
Seorang guru haruslah mempunyai rasa CINTA, baik
cinta pada profesinya sebagai guru maupun dalam pengajaran, dia harus mengajar
penuh dengan rasa cinta pada siswa-siswinya. Hal ini sejalan dengan Leblanc,
yang mengatakan bahwa inti dari pengajaran dan pendidikan adalah cinta. Dalam
hal ini, bisa juga dikatakan, bahwa cinta, di dalam pendidikan, lebih penting
daripada penalaran rasional semata. Karena di dalam cinta, ada niat yang dapat
mendorong orang untuk belajar, untuk membantu mereka menemukan sendiri pola
belajar yang pas, untuk menemukan diri mereka sendiri.
Seorang guru pun harus mencintai ilmu pengetahuan
yang akan diajarkannya kepada para siswa, sehingga diharapkan dapat menular
kepada para siswa agar dapat mencintai ilmu pengetahuan tersebut dan
terus-menerus mau belajar seumur hidupnya (Long life education). Demikian juga
ketika guru tersebut menjadi pemimpin di kelas mata pelajarannya, dia tidak
akan semena-mena terhadap siswanya tapi tetap mengedepankan pengajaran de ngan
cinta dan pengertian.
b. Memberikan Waktu
Leblanc juga menegaskan, bahwa guru yang baik
mencintai dan merawat murid-muridnya. Untuk bisa menerapkan cinta tersebut, ia
butuh memberikan waktu dan tenaganya, bahkan lebih daripada yang dituntut
darinya. “Menjadi guru yang baik”, demikian tulisnya, “berarti memberikan waktu
banyak yang tak pernah dihargai untuk mengoreksi, membuat dan mengubah materi
pengajaran, dan mempersiapkan bahan untuk mengembangkan pengajaran.” Ia
menyebutnya dengan kata yang amat bagus, yakni thankless hours and efforts.
Saya merasa hal ini sangat penting menjadi filosofi seorang guru, agar kita
tidak terlalu perhitungan dengan waktu kepulangan jika memang siswa-siswi kita
masih memerlukan bimbingan dalam pembelajarannya.
c. Keseimbangan yang Kreatif
Guru yang baik yang sekaligus menjadi pemimpin yang
baik, sebaiknya memeliki keseimbangan yang kreatif. Menurut Leblanc, guru yang
baik adalah guru yang mampu bersikap seimbang secara kreatif. Artinya, ia mampu
membuat kurikulum pengajaran yang baku sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
dalam hal ini ketentuan Diknas, tetapi dalam penerapan siap jika kurikulum
tersebut berubah sesuai dengan dinamika kelas, dan perkembangan ilmu yang ada.
“Guru yang baik”, haruslah dapat menjaga keseimbangan kreatif antara diktator
yang otoriter di satu sisi, dan seorang pendorong (pemotivasi) yang baik di
sisi lain.”
Guru pun dituntut untuk bisa kreatif dalam memilih
metode dan media belajar agar sesuai dan mudah dipahami oleh anak didiknya
dalam Kegiatan Pembelajaran di kelasnya. Guru pun harus mampu menularkan
kreatifitas tersebut kepada para siswanya agar mereka dapat menjadi siswa yang
lebih kreatif dalam pembelajaran maupun kegiatan sehar-hari.
Filosofi Guru
Guru. Siapa yang tak kenal kata ini. Sejak kita
masih balita, kita sudah mulai berkenalan dengannya. Tidak dapat dipungkiri,
guru memegang peranan penting dalam karir hidup kita. Hal ini dapat terlihat di
sekitar kita, dimana kita dapat dengan cukup mudah membedakan orang yang
berpendidikan dengan yang tidak. Mungkin dari cara pandangnya, caranya
mengatasi masalah, bahkan bisa jadi dari caranya berpakaian pun terlihat
perbedaan, maa yang merpendidikan dan tidak. Orang yang tidak berpendidikan
menyelesaikan masalah dengan mempelajari pengalaman hidup dan naluri. Namun,
berbeda dengan orang yang tidak berpendidikan, orang yang berpendidikan
mengatasi masalah denga tools yang lebih lengkap, yaitu dengan mempelajari
pengalaman hidup, naluri, serta ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan inilah yang
menjadi pembeda. Ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh dengan pendidikan,
bagaimanapun jenis pendidikan itu. Disinilah peran seorang Guru menjadi sangat
vital. Guru berperan sebagai fasilitator, sebagai orang yang wajib bisa
menjawab apa saja yang ditanyakan oleh muridnya, dan tentunya sebagai pengayom,
pemberi kasih sayang bagi muridnya, serta sebisa mungkin menjadi orang tua
kedua bagi murid muridnya.
Dan seiring perjalanan waktu, peran vital guru mulai
terkikis. Terkikis secara perlahan sekali, seakan tidak terjadi apa apa namun
dibalik itu, kita bisa melihat keterkikisan itu dengan jelas. Komparasi dapat
kita lakukan untuk melakukan. Bandingkan antara sekarang dengan masa lalu, lima
sampai sepuluh tahun lalu. Kita mulai dengan perbandingan output, yaitu orang
orang yang sekarang telah dewasa dan memiiki pekerjaan, dengan anak anak yang
kini tengah mengenyam bangku pendidikan menengah. Terlihat bahwa anak anak
jaman dulu, atau yang sekarang sudah menjadi orang dewasa memiliki penghargaan
lebih terhadap guru. Anak anak jaman dulu hidupnya lebih tertib. Pagi sekolah,
siang istIrahat, sore mengaji di langgar. Rata rata anak anak jaman dulu
memiliki pondasi agama yang baik karena memang pendidikan tentang agama dan
kehidupan tidak hanya diajarkan dalam batas batas kompetensi dalam kurikulum.
Namun lebih dari itu, pendidikan tentang kehidupan juga dilakukan setiap
kesempatan. Seorang guru tak hanya mengajarkan perhitungan perhitungan,
hafalan, logika logika serta rasio berfikir untuk menyelesaikan soal saja,
lebih dari itu guru menggunakan hal hal tersebut untuk mengajak kita lebih
memahami hakekat kehidupan dan membangun pondasi spiritual anak anaknya. Tak jarang
dulu ketika mengajar, seorang guru senior menceritakan sebuah kisah tentang
kehidupan, dengan contoh contoh teladan yang dengan pintar dipilihkan, dibumbui
pengetahuan ilmiah, yang membawa kita pada pemahaman yang lebih akan hakekat
kita sebagai makhluk tuhan yang bertakwa dan menggunakan ilmu pengetahuan untuk
tujuan amar ma’ruf nahi munkar. Hal inilah yang menyebabkan rata rata anak anak
jaman dulu memiliki pemahaman agama, serta rasa peka lingkungan yang baik.
Sehingga, pada zaman dulu, sangat jarang kita dengar ada anak yang berani pada
orang tua, memberandal, suka mengeluarkan kata kata kotor, dan perbuatan
perbuatan buruk lainnya yang sekarang sepertinya telah menjadi pemandangan yang
biasa kita temukan disekitar kita.
Sekarang komparasi kedua dapat dilakukan. Setelah
sebelumnya yang dibahas adalah fenomena kehidupan anak anak jaman dulu, kini
saatnya kita lihat realita yang ada di depan mata kita sekarang. Ya, anak masa
kini, masa dimana segala hal dapat diperoleh dengan mudah dan cepat, hal yang seharusnya
dapat membuat kita menjadi lebih bersyukur dan arif. Namun kita menemui suatu
fenomena yang dengan cepat menggerus nilai nilai serta norma yang sudah sejak
lama dibangun oleh bangsa kita. Arus globalisasi menjalar begitu cepat,
merasuki setiap sendi kehdupan, memberi menfaat sekaligus membawa racun bagi
masyarakat kita. Kehilangan norma menyebakan banyak orang kehilangan arah,
hanya bertindak sesuai tren saja. Dan parahnya, anak anak kitalah yang justru
paling dekat dengan ancaman demoralisasi akibat arus globalisasi. Tak jarang
kita menemui seorang anak TK yang sudah fasih mengucapkan kata kata kotor,
berani pada orang tua, memberandal, serta hal-hal negatif lain. Tak jarang kita
melihat anak-anak usia SD mencat rambutnya, menggunakan assesoris blackmetal,
dan menonton musik rock dimana banyak kata kata yang seharusnya tidak pernah
mereka kenal mengalun dalam lirik dan irama musik tersebut. Dalam kondisi
seperti ini, perlu adanya seorang sosok yang memiliki kharisma, wibawa, serta
kekuatan untuk “menundukkan”. Dan ketika seseorang sudah tidak takut pada orang
lain sekalipun orang lain itu adalah orang tuanya sendiri, maka sosok yang
paling tepat untuk “menaklukan” orang tersebut tak lain dan tak bukan, adalah
seorang Guru.
Kenapa guru? Mungkin pertanyaan itu akan muncul
dalam benak anda. Guru adalah sebuah katalisator ilmu. Seperti pada sebuah
reaksi kimia, katalisator memegang peranan dalam kecepatan reaksi. Katalis
tidak akan berubah bentuk selama reaksi, namun efeknya sangat terlihat pada
hasil reaksi. Setiap orang pastinya memiliki kemampuan untuk belajar, yang
menjadi pembeda adalah waktu yang dibutuhkan setiap orang untuk memahami suatu
permasalahan dan memecahkanya. Disini guru mengambil peran katalis tersebut.
Guru mengarahkan siswanya untuk lebih cepat memahami suatu permasalahan, dan
kemudian memecahkannya. Disini guru sudah menunjukan bahwa dia adalah orang
yang berilmu, melebihi ilmu yang dikuasai oleh siswanya. Dari sini rasa hurmat
akan muncul. Sebandel apapun seseorang, selama seorang guru tetap mampu
memposisikan dirinya lebih “pintar” dari orang itu, selama itu pula rasa hormat
akan tetap terpatri dalam hati orang itu. Dan ketika rasa hormat sudah didapat
oleh seorang guru, seorang guru bisa menanamkan pengaruhnya pada anak itu.
Disinilah peran guru sebagai orang tua kedua harus dijalankan. Guru sebisa
mungkin memposisikan diri sebagai sahabat sekaligus orang yang terhormat
dihadapa siswanya. Ketika kita dapati tindakan yang tak sepantasnya dilakukan
oleh seorang siswa, guru bisa mengambil tindakan represif, seperti dengan
bentakan dan mungkin sedikit pendekatan “fisik” yang tak menyakitkan seperti
hukuman, dan lainnya. Dengan begitu siswa akan menyadari tindakan yang
dilakukan adalah sebuah kesalahan. Setelah itu, guru segera bertransformasi
sebagai seorang sahabat. Mendatangi siswa, mengajak diskusi, mengorek
keterangan dari siswanya, mengapa dia melakukan hal tersebut. Seperti pepatah
“tak ada gading yang tak retak”, setiap tindakan pasti memiliki penyebab. Dan
setelah mengetahui apa penyebab dari tindakan yang dilakukan siswa itu, seorang
guru harus bisa memberi solusi dari permasalahan yang dialami siswanya, entah
dengan memberi nasihat, atau dengan tindakan konkrit. Sampai di sini guru sudah
memerankan perannya, sebagai pembimbing, pengayom, orang yang dihormati,
pengajar, dan orang tua kedua siswa. Guru tak hanya menjadi pengajar di kelas
yang memberikan deretan persamaan, logika, dan kompetensi lainya. Lebih dari
itu guru ikut serta menjadi bagian dari mekanisme kontrol sosial masyarakat.
Menjadi role model yang disenangi oleh siswanya, dan tentunya ikut menjauhkan
siswanya dari pengaruh buruk lingkungan modern yang saat ini mengancam
perkembangan kejiwaan siswa siswanya.
Guru pada dasarnya adalah sebuah sintesa dari
kalimat “Digugu dan Ditiru”. Kata
kata penuh filosofi tentang ilmu hidup. Sudah selayaknyalah guru tak sekedar
menjadi penjembatan materi materi sekolahan. Namun lebih dari itu, guru lah
orang tua kedua bagi murid, dimana paling tidak seorang murid akan menghabiskan
4 jam dalam sehari bersama sang guru di institusi pendidikan. Tak pelak, peran
guru bagi kehidupan masa depan sang anak juga signifikan. Dan itu menjadi bukti
nyata, bahwa filosofi guru bukan hanya sebagai katalisator ilmu ilmu bangku
sekolah, namun lebih dari itu, filosofi sang guru, adalah seorang kreator masa
depan, menanamkan idealisme, motivasi dan harapan untuk masa depan anak
didiknya.
Guru
Itu Seperti Matahari
Mungkin tidak pernah
tersingkap dalam pikiran kita. Namun, begitulah kenyataannya, seseorang yang
berprofesi luar biasa. Bahkan dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Sebagai seorang murid yang baik, kita bisa melihat sosok seorang guru
diibaratkan seperti matahari. Dari gurulah kita bisa memaknai filosofi dibalik
terangnya sinar matahari. Matahari yang selalu hadir setiap hari untuk
memberikan kecerahan arti bagi alam semesta.
Adapun filosofi
matahari dalam diri seorang guru adalah :
Ø Memberi.
Seperti matahari, yang selalu memberikan sinar terangnya kepada seluruh makhluk
tanpa mengharapkan imbalan atas sinar yang dipancarnya. Begitupun seorang guru,
mereka berprinsip untuk terus memberikan ilmu atau nasihat yang bermanfaat
kepada muridnya, tanpa mengenal keluh kesah, tanpa mengenal lelah, dan ikhlas
tanpa disertai harapan untuk mendapatkan imbalan apapun.
Ø Mencerahkan.
Allah menciptakan matahari sebagai pelita penerang. Matahari merubah keadaan
yang gelap gulita menjadi terang berderang dengan sinarnya. Inilah sifat
matahari, mencerahkan. Seorang guru selalu saja mencerahkan murid-muridnya.
Setiap hal yang dilupakan oleh muridnya, selalu diingatkannya. Hal yang tidak
diketahui oleh muridnya, selalu ia ditunjukan. Sungguh menjadi kebahagian
tersendiri bagi seorang guru, ketika dia telah memberikan pencerahan dalam
proses pentranferan ilmu pengetahuan dan petunjuk agama kepada para muridnya.
Kebahagiaan tersebut, akan kekal selama-lamanya sampai akhirat kelak.
Ø Menyemangati.
Matahari memberikan rasa panas terhadap bumi beserta isinya. Dari panas inilah
yang membuat bumi tumbuh dan hidup, sehingga memungkinkan seluruh mahkluk hidup
dapat melangsungkan rotasi kehidupannya. Sebagaimana matahari, guru adalah
sosok yang terus menyemangati muridnya. Dengan ada dirinya, jiwa murid terbakar
akan panasnya motivasi untuk terus mengajak belajar, belajar, dan terus
belajar. Sehingga mereka bisa menjadi insan kamil, madani, kreatif, mandiri,
dewasa, dan berakhlakul karimah. Sang guru terus hadir untuk menjadi
penyemangat bagi muridnya, walaupun mereka sedang jatuh dalam jurang keputus
asaan.
Inilah
sosok seorang guru. Ia ibarat matahari yang selalu memberi, mencerahkan, dan
menyemangati.
Penulis:
Frederick Mzaq
Penimba Inspirasi Jalan Setapak Akar
Rumput