ILUSI POLITIK ADU DOMBA
(Catatan Untuk Pilkada Malaka 2020 Yang
Aman dan Damai)
Belakangan ini mudah sekali kita dapati isu-isu Kampanye Pilkada Malaka yang berkaitan erat dengan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA), yang digoreng oleh pihak-pihak tertentu. Dengan berbagai aneka rupa bumbu yang turut serta diracik, isu-isu tersebut terkemas tidak lagi netral. Juga jauh dari nilai-nilai kebaikan. Pasalnya, dan yang sangat mengkhawatirkan adalah bahwa isu-isu yang digoreng tersebut sarat provokasi dan adu domba.
Dalam konteks pilkada, masyarakat
diadu domba oleh oknum tertentu agar perhatiannya untuk mengkritisi rekam jejak
dan program kandidat calon pemimpin teralihkan. Masyarakat yang sudah
terjangkit virus adu domba ini nyaris tak peduli lagi tentang program lagi,
tetapi fokus pada masalah yang sebenarnya kurang substansial. Kalau hal
tersebut dibiarkan jelas akan membahayakan demokrasi Indonesia. Ilusi politik
adu domba masyarakat sama kejamnya dengan penjajah karena sama-sama merugikan
bangsa.
Masyarakat dikaburkan kesadaran dan
logikanya dengan isu yang sama sekali tidak relevan digunakan untuk negara
demokrasi. Pasalnya, dalam negara demokrasi, semua orang memiliki hak dan
kewajiban yang sama. Masyarakat harus lekas sadar akan ilusi yang dibuat
segelintir oknum yang haus kekuasaan. Bayangkan kalau akhirnya dia berkuasa,
bisa-bisa kehidupan berbangsa bakal hancur. Masyarakat harus kembali menyadari
bahwa kualitas pemimpin bukan pada isu-isu tidak substansial, melainkan ada
pada rekam jejak dan program kerjanya.
Kita tentu sangat memahami betul bahwa provokasi dan/atau adu
domba tidak saja tidak kita inginkan. Lebih dari itu, ia juga sangat berbahaya.
Sebab bersamanya akan melekat efek domino yang luar biasa hebatnya, yang akan
dilahirkannya. Mulai dari konflik individu, golongan dan bahkan sosial
berpeluang terjadi akibat dari adu domba. Pada gilirannya akan terjadi
disintegrasi bangsa. Pertumpahan darah sesama anak bangsa Indonesia tidak
menutup kemungkinan terjadi.
Mari kita sama-sama mendengarkan puisi berikut:
Politik Mengadu Domba
Memang
Ramai cuap-cuap media
Menyajikan
apik para jagoannya
Yang
nomer satu atau pun dua
Keduanya
menjadi trending topik dunia....
Pesta
demokrasi masih terus berlanjut
Masih
bertebarlah Hina dan Fitnah
Seakan
tak ada satu pun yang mau mengalah......
Hari
ini kita telah didustai
Oleh
rekam jejak yang diurai...
Oleh
pencitraan yang dibuai....
Namun
apakah yang dapat kita tuai?
Media
memang tak tertandingi
Jelas
merekalah juara sejati
Juara
yang selalu bertindak keji
Juara
yang merubah berbagai history
Juara
yang dapat merubah seorang Nabi menjadi pejahat keji,
Juara
yang mampu merubah penjahat menjadi seorang Nabi.
Memang
benar banyak orang berkata
Menguasai
Media sama dengan Menguasai Dunia
Selama
perang media sedang terjadi
Namun
tak sedikit pun dari kita sadari
Ada
orang ketiga yang sedang tertawa keji
Orang
ketiga yang takhtanya tak mau dibawa lari...
Memang
Devide et Impera itu sungguh tokcer
Persatuan
dalam sekejap lemah tercecer
Ada
pertunjukan yang akan kita hadiri
Dimana
Orang ketiga tampil sebagai Master Strategi
Berdiri
tegak berpura menengahi
Kedua
belah pihak pun dinasehati,
Kedua
calon pun tak menyadari
Borok
mereka dikupas dengan keji
Para
penonton pun mulai tersaji
Oleh
luka, nanah yang jiji
Bagaimana
nasib Nusantara
Jika
diipimpin oleh pihak ketiga
Yang
selalu memecah dengan adu domba
Yang
tak mau lepas dari Takhta
Dari puisi politik adu
domba di atas kita disadarkan, sudah sejatinya kita senantiasa berhati-hati
dalam “zaman fitnah” seperti sekarang ini. Di era perkembangan informasi yang
semakin tak terkendali ini, sudah lazim dipahami bahwa berita palsu (hoax),
fitnah, adu domba, ujaran kebencian, dan yang semisalnya, sudah tersebar luas
begitu demikian rupa.
Dan juga dimanfaatkan
untuk kepentingan orang-orang tertentu saja. Maka, sudah sejatinya kita lebih
berhati-hati dalam menerima setiap informasi. Apalagi jika informasi tersebut
sarat dengan provokasi dan adu domba. Sudah sejatinya kita melakukan melakukan
tabayyun (klafirikasi).
Karena itu, dalam
setiap konflik yang mengemuka, termasuk perselisihan kecil sekalipun,
diperlukan jembatan strategis untuk meredamnya. Jembatan yang agaknya paling
ampuh ialah membuka ruang dialog. Jempatan ini agaknya cocok untuk diterapkan
pada setiap konflik-konflik tentang SARA. Bagaimanapun juga harus diciptakan
ruang untuk diskusi dan dialog terbuka dalam rangka meningkatkan saling
pengertian.
Dalam pada itu, antar
kelompok tentu saja tidak boleh tetap mengedepankan atau menuhankan
keyakinannya sendiri. Jangan sampai ada kepala batu, bahwa: “Inilah keyakinan
kami, dan kami berhak meyakininya. Persetan dengan keyakinan-keyakinan Anda”.
Dengan tidak demikian, berarti masing-masing kelompok siap untuk dikritik dan
mengkritik. Dengan begitu, maka kesalahpahaman yang selama ini terjadi akan
dapat diminimalisir. Dan, keterbukaan adalah kunci utamanya.
Lebih dari itu, ruang
dialog ini juga dapat mengembangkan pembangunan dan perdamaian. Juga menyangkut
hak-hak asasi manusia, tanggung jawab negara terhadap rakyatnya, baik itu di
bidang keamanan, pangan, kesehatan, pendidikan, dan layanan-layanan lainnya.
Hemat penulis, semua
hal itu penting dilakukan untuk menguatkan kebhinekaan kita. Inilah pekerjaan
rumah (PR) kita bersama segenap elemen bangsa. Untuk menopang itu, khususnya,
pemerintah dan juga tokoh masyarakat harus berperan aktif untuk menciptakan
iklim masyarakat yang lebih mengedepankan asas gotong royong dan juga sarat
musyarawah.
Dengan musyawarah ini,
meskipun secara faktual kita itu beragam, namun semangat kita akan tercipta
satu masyarakat yang kuat, yakni bangsa Indonesia. Di situ tidak lagi berbicara
soal mayoritas dan minoritas. Tidak lagi soal kepentingan kelompok si A atau si
B. Melainkan, yang ada ialah kepentingan bersama, yakni kepentingan bangsa
Indonesia.
Kualitas demokrasi
lokal tidak saja diukur dari intensitas publik untuk terlibat
menyukseskan tujuan pilkada, namun tumbuhnya sikap politik yang mampu
mengukur individu kontestan secara kompherensif-rasional.
Kampanye
sebagai media sosialisasi sepatutnya memantulkan spirit pencerdasan. Rakyat
dididik untuk tampil sebagai subyek kritis serta memiliki ruang untuk
menganalisis dan menilai setiap kontestan yang muncul.