Introspeksi
diri; Sedikit Menghakimi Banyak Menghargai
Gampang sekali.
Menghakimi mrang lain; menilai keburukan orang lain. Menghitung cacat dan borok
orang lain. Gampangkan? Kalo urusan gitu sih, banyak orang bepredikat “cum laude alias sempurna”. Ibarat
kata, kalo disuruh ngulitin orang kalo bisa tidak bakal ada yang ketinggal
sedikitpun. Keren!
Ya mau diapain
lagi. Emang begitu kebanyakan orang sekarang. Konon, sebagian orang meyakini
"menghitung cacat orang lain" udah dianggap perbuatan yang
menyenangkan; menggairahkan. Udah kayak sayur tanpa garam, katanya.
Adrenalinnya mendadak
bangkit kalau urusan “gossip atau berbicara” orang lain, bikin ketagihan.
Apalagi terhadap orang yang tidak disukai. Udah paling juara, kadang sampe lupa
kalo punya agama.
Kenapa sih bisa sampe begitu?
Lha gak tahu. Tanya aja sama orangnya langsung....
Orang itu kalo
udah rajin menghakimi orang lain, pasti lupa menghargai orang lain pula.
Bawaannya cuma bisa ngulitin aja. Suka kasihan sama orang miskin, bukannya
dibantu malah dibilang "salah sendiri kenapa miskin?"... Busyett dah.
Lalu,
apa yang harus kita lakukan?
Jawabnya sederhan, banyak-banyak aja INTROSPEKSI DIRI. Menghitung diri sendiri sebelum menilai orang lain. Tunjuk diri sendiri sebelum menunjuk orang lain. Introspekso diri, boleh jadi itulah akhlak yang udah sering dilupakan manusia.
Terus terang aja, gak
bakal ada habisnya kalo cuma kerjaannya menilai orang lain. Apalagi di tengah
hiruk-pikuk kehidupan yang makin menggila kayak sekarang. Cara terbaik yang
harus dilakukan adalah sering-sering introspeksi diri, mawas diri.
Sungguh, kita
seharusnya lebih banyak “melihat ke dalam”, bukan “melihat ke luar". Lebih
baik menilao diri sendiri daripada menilai yang di luar diri kita. Karena kita,
sungguh tidak lebih baik dari orang lain. Introspeksi, bukan ekstropeksi.
Bagaimana
caranya?
Masalahnya bukan di
cara. Tapi mau apa gak. Caranya ya introspeksi diri, lebih banyak melihat ke
dalam diri. Bukan ke orang lain. Apa yang harus disikapi, apa yang harus
diubah, apa yang harus dibenahi di dalam diri sendiri. Biar eling. Karena kita
gak bisa ada kalo gak ada orang lain.
Introspeksi diri itu
mengingatkan diri sendiri.
Coba saja resep ini,
"DI SAAT KAMU .... " sebagai sarana untuk mengingatkan diri sendiri.
Jangan terlalu mudah menyalahkan orang lain, tidak usah terlalu mudah cari
kambing hitam.
Di saat kamu, ingatlah:
v Di
saat kamu ingin melepaskan seseorang, ingatlah saat kamu ingin mendapatkannya
v Di
saat kamu mulai tidak menyenanginya, ingatlah saat kamu mulai senang padanya
v Di
saat kamu mulai bosan, ingatlah saat terindah bersamanya
v Di
saat kamu ingin membohonginya, ingatlah saat dia jujur padamu.
Maka, kamu akan
merasakan arti orang ain untuk kamu. Jangan sampai di saat orang lain sudah
tidak ada di sisi kamu, kemudian tersadar betapa penting orang lain itu untuk
kamu?
Kamu itu bisa dibilang
begini karena ada orang lain. Kamu bisa dibilang hebat juga karena orang lain.
Tapi kalo kamu sendirian, gak ada orang lain. Hidup kamu itu sepi kayak di
kuburan...
Jadi yang paling pas.
Introspeksi diri saja. Menilai diri sendiri sebelum menghakimi orang lain.
Asal kamu tahu aja.
Sesuatu yang indah hanya sementara, sesuatu yang abadi adalah kenangan. Sesuatu
yang ikhlas hanya dari hati. Sesuatu yang tulus lahir dari sanubari.
Maka, tidak mudah
mencari yang hilang, tidak mudah mengejar impian. Justru yang susah itu
"mempertahankan yang ada"; karena hakikatnya apapun biar sudah
tergenggam tetap bisa terlepas jua.
Seperti kata
pepatah "Jika kamu tidak memiliki
apa yang kamu sukai, maka sukailah apa yang kamu miliki saat ini". Ohh
indahnya kalo bisa begitu...
Introspeksi
diri.
Karena orang-orang yang
gemar introspeksi diri itu hanya "sedikit berharap, banyak bersiap.
Sedikit menghakimi, banyak menghargai. Sedikit menyesali, banyak
mensyukuri."
Introspeksi diri itu
belajar dan membelajarkan. Selalu merenungi yang pantas direnungkan. Bukan
mabuk dengan perasaan dan pikiran yang membenarkan diri sendiri lantas
mencari-cari kesalahan orang lain. Buat apa?
v Belajar
menerima apa adanya dan tetap berpikir positif
v Hidup
itu bagaikan mimpi, seindah apapun rasanya, begitu terbangun semuanya sirna tak
berbekas
v Rumah
mewah bagai istana, harta benda yang tak terhitung, pangkat dan jabatan yang
luar biasa, sama sekali tidak berguna ketika nafas terakhir tiba.
Sebatang jarum pun tak
bisa dibawa pergi; sehelai benang pun tak bisa dimiliki,
Lalu apalagi yang mau
diperebutkan? Apalagi yang mau disombongkan? Apalagi yang mau dihakimi? Lebih
baik introspeksi diri.
Mumpung masih diberi
nafas, mumpung masih hidup, jalani saja apa yang ada sambil tetap bersyukur.
Karena gak ada yang sempurna dan bersahabatlah dengan kekurangan diri srndiri
dan orang lain.
Introspeksi diri,
menilai diri sendiri.
Karena kita hanya
diminta untuk ikhtiar dan selalu dan selalu sedia berbenah diri.
Tidak
usah pengen menang sendiri
Tidak
usah perhitungan apalagi menghitung orang lain
Tidak usah bertekad menyakiti sesama apalagi terhadap mereka yang berjasa
Tidak
usah kamuflase, tetaplah apa adanya bukan ada apanya
Tidak
usah berpikir sempit karena kita diberi kelapangan hati.
Introspeksi diri tidak
boleh berhenti.
Karena tidak ada yang
tidak bisa diikhlaskan. Tidak ada sakit hati yang tidak bisa dimaafkan. Tidak
ada dendam yang tidak bisa dihapuskan.
Happy-happy aja; santai-santai saja, rileks.
Janganlah takut
kehilangan apapun yang sudah pernah diraih; jabatan, gelar dan harta kekayaan
sekalipun. Karena itu titipan Allah dan hanya sementara. Tapi takutlah
bila kita tidak mampu menebar keindahan dan senyuman kepada
orang-orang di sekitar kita.
Introspeksi diri,
memperbaiki diri. Agar kakimu tetap menjejak di tanah; dan kepalamu tidak
terbang tinggi ke atas langit. Lagian di atas langit kan masih ada langit...
Introspeksi diri;
sedikit menghakimi banyak menghargai.
Tersenyumlah untuk
hidup kita yang tersisa; sambil tetap introspeksi diri. Ciamikk kan....
#BelajarDariOrangGoblok
Menilai orang lain
sah-sah saja, apalagi bisa disampaikan secara langsung. Menilai orang secara
subjektif lebih berdasar pada perasaan. Mereka menilai tidak harus dengan
bukti-bukti yang kongkrit. Asal apa yang dinilai terhadap orang lain tidak
sesuai dengan perasaanya, orang tersebut akan menilai buruk. Seperti, seorang
mahasiswa dengan tampilan glamor akan memandang teman yang berpenampilan biasa
bahkan tidak modis sebagai orang norak atau culun. Berbeda bila menilai orang
dilihat secara objektif. Tentunya kita mempunyai logika dan penguatan dasar
yang kuat terhadap penilaian kepada orang lain. Sehingga hal ini tidak akan
menyebabkan peselisihan persepsi dengan keadaan sebenarnya. Bisa dicontohkan
ketika kita membincangkan keadaan teman yang sering telat masuk kuliah, ada
seorang teman lagi menerangkan bahwa si teman yang sering telat masuk kuliah
ini sebab ia harus membantu orang tuanya bekerja sebelum kuliah sehingga sering
telat masuk.
“Menilai orang lain
adalah bagaimana posisi, alasan dan keterbatasan orang lain”. Tentunya orang
lain tidak bisa menjadi seperti yang kita rasakan, sekalipun itu adalah orang
terdekat kita. Mereka mempunyai alasan tersendiri untuk jadi diri mereka
sendiri.
Bagaimana pandangan dan
persepsi kita terhadap orang lain itu sangat berpengaruh terhadap diri kita,
jika kita selalu menilai negatif dari diri orang lain. Lalu pertanyaannya,
apakah memang orang lain yang masih dalam kekurangan atau justru pikiran kita
yang selalu negatif terhadap orang lain? Kita tidak bisa memandang orang lain
baik, ketika selama itu tidak bisa memandang sisi baiknya justru selalu melihat
keburukannya. Oleh karena itu coba lepaskan kaca mata hitam yang kamu kenakan
dan coba menggantinya dengan kacamata yang lebih bening. Pastinya kamu akan
melihat kenyataan yang sebenarnya. Terlalu sering menilai negatif orang lain,
akan menjatuhkan harga diri orang lain. Perlahan harga diri kita juga akan
terjatuhkan, sebab kita juga mempunyai harga diri seperti orang lain.