PUISI JUBAH KETELANJANGAN
Karya: Norman Adi Satria
Kebenaran tengah
mengenakan
jubah terindah dan yang paling bijaksana
yaitu ketelanjangan.
Namun para pembenci
Kebenaran
telah menghasut semua orang
untuk memperolok ketelanjangannya:
Lihatlah, Kebenaran kini tak lagi benar-benar benar!
Di hadapan kita dia bugil dan mempertontonkan segala!
Bukankah selalu ada yang seharusnya tersembunyi?
Bukankah selalu ada yang seharusnya menjadi misteri?
Mari kita paksa dia untuk mengenakan kembali jubah lamanya!
Bukankah jubah itu pemberian dari Sang Raja?
Bukankah compang-camping lebih baik daripada
tak mengenakan apa-apa?
Ribuan orang seketika
terhasut
mereka tak lagi bisa melihat ketelanjangan
sebagai kemurnian sebuah wujud.
Secara membabibuta mereka mengoyak-koyak bugilnya
dengan memakaikan jubah lama padanya
kemudian meninggalkannya begitu saja
di tepian jalan
di dekat selokan.
Sementara itu di
hadapannya
Ketidakbenaran dengan begitu santai berseliweran
berbalut jubah terindahnya
yaitu tipu daya
sembari terus waspada
jangan sampai orang-orang melihat kebusukannya
di balik jubah-jubah yang menyilaukan mata.
Dalam bungkam yang
teramat dalam
hati kecil Kebenaran memekik tajam:
Suatu saat aku akan menelanjangimu, Ketidakbenaran!
Bekasi, 16 September 2014
Manusia dalam Ketelanjangan yang Telanjang
Ribuan
orang seketika terhasut
mereka tak lagi bisa melihat ketelanjangan
sebagai kemurnian sebuah wujud.
Secara membabibuta mereka mengoyak-koyak bugilnya
dengan memakaikan jubah lama padanya
kemudian meninggalkannya begitu saja
di tepian jalan
di dekat selokan.
Adalah
"telanjang", sebuah metafor dalam sikap diri apa adanya, sebagaimana
apa yang terjadi pada diri dengan tanpa ada apanya. Esensinya tidak dilebihkan,
juga tidak dikurangi. Ini menyatakan tentang fakta diri sendiri dengan
polos dalam rangkaian 'kenaturan'.
Manusia sedang
bertelanjang ketika ia tidak telanjang. Segala sesuatu memang bisa
ditutupi, tapi tidak dengan ketelanjangan itu sendiri! Semua manusia
boleh mengenakan apa saja menutupi auratnya yang fana. Tetapi hati---di
mana sumber kehidupan itu berada---justru tak tertutupi oleh apapun juga,
dan dalam situasi apapun, hati kita memang selalu telanjang.
Aksiomatisnya, semua
insan hakikatnya telanjang! Manusia telanjang, sebab tidak lagi
berangan-angan untuk mengeluarkan pernyataan-pernyataan putih, dan
kalimat-kalimat absolut, juga klaim-klaim moral-ideal.
Dengan ketelanjangan,
manusia menjadikan tutur dan ujaran, serta sikap dan perilaku, sebagai
kondisi konkrit sebagaimana adanya. Tanpa ia harus takut dinilai oleh
manusia-manusia berlidah moral. Sehingga ketelanjangan adalah
depersonifikasi yang membedakan manusia sebagai dimensi keunikan dari
yang lain---yang bendawi.
Sesungguhnya keunikan
natur manusia adalah roh-jiwa-badan. Ketelanjangan menyentuh sisi
"roh yang bernurani" yaitu "rohani" dalam diri
individu. Keunikan manusia, sebagai pribadi maupun sebagai sesama, adalah
wajah yang telanjang. Sebagaimana Levinas dalam 'filsafat wajah'
menyatakan: "wajah yang telanjang itu mengatakan kepadaku, jangan
membunuh saya, terimalah saya! Saya harus taat pada keunikan
sesama".
Levinas tidak
mengartikan "wajah" sebagai sesuatu yang bersifat
fisis-biologis, yang artinya raut muka yang fisik. Tetapi ia menunjukkan
wajah sebagai bentuk kehadiran "dia yang lain". Wajah dalam pemahaman
filsafat Levinas, adalah entitas yang tampil di hadapan saya sebagai
realitas yang berdiri sendiri; suatu penampilan dari dia yang lain.
Penampilan wajah dalam kondisi seperti ini adalah suatu
ketelanjangan.
Ketelanjangan wajah
adalah ketelanjangan yang paling telanjang. Ketelanjangan yang paling
telanjang adalah juga tanda kepolosan dan kelurusan dari wajah itu
sendiri. Karena kepolosannya, hadirlah fenomena kemiskinan yang hakiki.
Akhirnya, ketelanjangan mewartakan kemiskinan serta ketakberdayaan orang
lain yang tampil di hadapanku. Orang lain yang tampil sebagai wajah
adalah dia yang datang dari kepolosan dan kemiskinannya.
Maka hati yang
telanjang mengukir nomenklatur yang serba telanjang. Sebab ketelanjangan
itu jujur, sederhana dan tidak mencubit.
Dalam
ketelanjangan insan manusia, semua hitam adalah putih, dan semua putih
adalah hitam. Manusia memiliki apa yang kurang (kekurangan), tetapi juga
apa yang lebih (kelebihan). Realitas kurang-lebih dalam ketelanjangan,
mengkondisikan natur manusia sebagai realitas alam yang lain dari
entitas diluar dirinya sendiri, tetapi derajadnya menjadi sama di dalam
wajah-wajah moral sesama.
Hakikat ketelanjangan
dalam realitas alam, merupakan syariat tak terbantahkan dalam realitas
sosial. Kenyataan-kenyataan alam, termasuk manusia di dalamnya, menjadi
pusat realitas tentang bagaimana membangun kenyataan sosial sebagai nilai
luhur dalam progeni kesetaraan yang hakiki.
Ya, nilai menentukan
ketelanjangan manusia menjadi rhema bagi hidup manusia itu sendiri.
Jika teater ketelanjangan ini gagal, maka aktor ketelanjangan manusia
pun menjadi tidak bermoral.
Pada tempat yang
telanjang, manusia pun membuka segalanya. Semua tak tersembunyi,
tersingkapkan...bahkan tak tertutupi. Dalam setiap jejak
ketelanjangannya, segalanya tak lekang oleh sang waktu. Pada titik ini manusia
bersuara jujur dan apa adanya. Dan setiap kejujuran akhirnya menyibak halwa
dalam candu kenikmatan yang merangkai madu-madu fardu, menjadi kian abadi dalam
putaran realitas dari ketelanjangan itu sendiri.
Akhir kata, bahwa
manusia datang dengan telanjang, dan akan pergi, lalu berlalu bersama
ketelanjangan itu sendiri. Inilah manusia dalam ketelanjangannya yang
sesungguhnya ia telanjang.
Apakah kita
telanjang? Kita harus telanjang, agar kita tahu bahwa kita memang telanjang!