Harga politik Vs Politik Harga Diri di Pilkada Serentak 2020

Harga politik Vs Politik Harga Diri di Pilkada Serentak 2020

HARGA POLITIK VS POLITIK HARGA DIRI

(Catatan Jalan Setapak Untuk Pilkada Serentak 2020)

 


"Di mana harga diri kita kalau diinjak, dihina, dilecehkan begini, hah?!"

Istilah "harga diri" seringkali saya dengar dan baca. Keributan pun bisa berujung pada "harga diri". Pokoknya, kalau sudah sampai pada "harga diri", bisa runyam persoalannya. 

Saya mengerti bahwa setiap orang memiliki harga diri masing-masing. Harga diri itu harga mati. Harga diri itu tidak bisa ditawar atau diganti.

Ketika sekian orang berkumpul menjadi sebuah kelompok, harga diri pun menjadi kolektif. Harga diri kolektif, kira-kira begitu. 

Berkawan dengan sesama anggota kelompok sendiri. Bekerja dengan sesama anggota kelompok sendiri. Berkegiatan atau berdiskusi-berdialog mengenai apa pun dalam kelompok sendiri. Harga diri semakin tinggi.

Ketika berada dalam kelompok sendiri, kecenderungan yang terjadi ialah merasa kelompok sendiri-lah yang paling unggul. Sebaliknya, menduga, mencurigai, bahkan menghakimi kelompok lainnya tidak memiliki keunggulan apa-apa.

Mungkin sebuah fanatisme yang berlebihan (over dosis), termasuk fanatisme terhadap sosok atau tokoh. Sosok "seseorang" yang terlalu dipuja pun berpotensi sebagai peningkat stamina "harga diri" bagi pemujanya. Aduhai nian!

Kelompok itu kemudian mendapat sebuah identitas yang disebut suku, agama, ras/etnis, dan golongan, semisal almamater. Dalam skala negara, jadilah harga diri bangsa-negara. Alangkah!

Karena bukan berlatar pendidikan bidang Sosial-Politik, belum genap sepuluh tahun terakhir saya mengetahui adanya istilah "politik identitas". Istilah ini benar-benar bergema dalam ingatan saya adalah ketika Pilgub DKI 2017 dan PILKADA serentak 2020.

Dalam Pilpres 2019 lalu saya menyaksikan realita "harga diri" yang dikemas dalam golongan, baik golongan pendukung 01 maupun 02. Saling menjelekkan antarkubu hingga di kalangan akar rumput. Entah "harga diri" yang macam mana lagi yang benar-benar rentan perpecahan itu.

 

Stabilitas Harga Diri

Seumur-umur, saya seringkali menyaksikan bahwa harga diri menjadi semacam kasta tertinggi, baik secara personal maupun sosial-nasional. Sentimenisme, pertengkaran, perkelahian, bahkan peperangan pun mudah terjadi atas nama harga diri.

Ketika rezim ORBA sedang berada pada puncaknya, politik harga diri personal-keluarga bisa dialihkan sebagai harga diri negara. Tidaklah mudah bagi saya untuk menemukan berita seputar kekurangan keluarga penguasa. 

Yang mudah saya temukan adalah sebutan "stabilitas negara/nasional" jika suatu jalinan masih menyinggung lingkaran mereka.

Terkadang saya heran, berita atau kritik terhadap petinggi negara atau perilaku keluarganya malah dituduh sebagai upaya mengusik stabilitas negara/nasional. Entahlah, bagaimana bisa "harga diri" sendiri dijerumuskan sebagai "stabilitas negara/nasional".

Di kalangan bukan pejabat atau elite, harga diri dalam bungkus "kelompok" masih menjadi ranah yang "angker", bahkan "horor", padahal... Ah, sudahlah.

Saya menghindar sajalah daripada "kerasukan" sentimenisme sia-sia. Di samping itu saya mengintip adanya suatu bahaya yang tersembunyi dalam harga diri yang berkelompok-kelompok, dan menjadi semacam bahaya laten harga diri.   

Kepentingan Politik Harga Diri

ingat, politik tidak kenal harga diri

tak ada yang abadi di dunia ini

kecuali kepentingan diri sendiri


Menggema ke langit kata kata dari yang berkuasa, kepentingan "kita" jadi bisnis jual beli harga diri dengan hitungan untung dan rugi.

Begitulah jalannya politik yang disetir oleh dewan penasehat kekuasaan, penuh sesak urusan jual dan beli berujung siapa yang mengatur siapa. padahal dalam dunia dagang cuma ada satu motto ada uang ada barang.

Barangnya bisa berupa barang mentah, apakah namanya minyak bumi atau gumpalan batubara dan emas berlian. tergantung permintaan, boss punya kemauan. jangan lupa menir, hasil alamnya seperti toko serba ada. yang berduit silakan pilih dan bayar. semua lancar, semua urusan memakai uang tunai.

Politikpun ada dalangnya, ada tangan tangan gak kelihatan. terasa tapi tak ada, ibaratnya seperti angin mendesir yang berbisik di ranting, cabang dan daun dari pohon kehidupan.

Politik menguasai kehidupan, siapa yang bicara soal kenaikan harga sembako, maka ia telah berpolitik. siapa yang membayar pajak berarti ia mengakui kekuasaan.

Politik blunder, ini istilah buat suatu kejadian politik yang dianggap memalukan. contohnya: orang lain sedang asik bertengkar seru di kampungnya karena memperebutkan kekuasaan, lalu mau datang ke sana untuk menerima penghargaan dari suatu negeri yang tak mau mengakui kekejamannya di zaman yang disebut penjajahan?

Politik "kita"memang suka keanehan, anomali namanya? melupakan sejarah berdarah kekejaman penjajahan dari kekuasaan yang salah, berakibat trauma politik berkepanjangan, yang disebut sebagai tragedi kemanusiaan, tanpa adanya kejelasan dan keterbukaan yang berbasis kemanusiaan dari semua pihak yang terlibat dan yang jadi korban.

Anomali politik "kita", keanehan gaya kekuasaan. jadi santapan setiap hari untuk mengasah tumpulnya ego harga diri?

 

Politik Uang dan Harga Diri di Pilkada Serentak

Money Politic, atau politik uang bukan hal asing di telinga kita. Acapkali politik uang ini mewarnai suatu kompetisi. Bila kita perhatikan dalam kehidupan sehari hari, makna politik uang itu cukup luas. Politik Uang tak saja dijumpai saat kampanye Pemilu, namun juga untuk suatu posisi jabatan tertentu. Politik uang ini telah merusak mental kita. Virus yang bernama politik uang ini harus dicegah sejak dini, agar tak berkembang menjadi sebuah penyakit yang akan merusak jiwa raga seseorang. Karena sebab akibat dari politik uang ini, telah terbukti merusak semuanya.

Bagi yang masih memikirkan harga diri, akankah suara yang sekali lima tahun itu hanya dihargai dengan sembako? dengan uang Rp100 ribu, Rp250ribu atau Rp1 juta mungkin? atau suara kita dibeli dengan baju koko? kain sarung? selembar jilbab dan kalender? Sebegitu murahnyakah harga suara masyarakat itu? Ini koreksi serta introspeksi bagi kita semua, baik yang selama ini pernah memberi ataupun menerima.Setelah itu, seandainya mereka duduk, mereka lupa dengan visi misinya, meningkatkan kualitas pendidikan? membantu sarana ibadah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan agenda besar yang justru lebih penting bagi kemaslahatan masayrakat banyak. Dan setelah lima tahun, mereka datang lagi ke masyarakat dengan politik uang tadi? dan begitu seterusnya? Kapan nasib bangsa, negara dan masyarakat akan berubah, kalau tradisi buruk ini tidak kita rubah sejak dini. Baik bagi yang terbiasa memberi maupun bagi yang terbiasa menerimanya. Ini salah, ini tidak baik, dan ini merusak. Karena itu kita semua, mulai dari diri sendiri, keluarga, tetangga, handai taulan, harus merubahnya. Kalau tidak kita yang merubah, siapa lagi? Ini semua demi demokrasi yang lebig baik.Dan tentunya juga demi harga diri masyarakat, harga diri bangsa.


Pada hajatan demokrasi kali ini, yaitu Pemilihan kepala daerah serentak 09 Desember 2020, money politik atau politik uang ini diatur dalam Undang - Undang Nomor 10 Tahun 2016 sebagaimana perubahan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang pilkada mengatur sanksi pidana bagi pihak manapun yang menjalankan praktik politik uang. Tepatnya pada pasal 73 ayat (1) Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Ayat (2) calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi dan KPU kabupaten/kota dan dikenai sanksi  sesuai peraturan perundang-undangan . Aat (3) Tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Begitu pula dalam Pasal 187 Ayat (1) setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada pasal 73 (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam bulan dan paling lama 72 bulan) dan denda paling sedikit Rp200.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000 (satu miliar rupiah).

Berbagai pihak perlu mensosialisasikan stop politik uang ini, dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu tanpa politik uang. Tugas ini tidak saja tugas dari penyelenggara pemilu, yaitu KPU dan jajarannya ke bawah, pengawas Pemilu Bawaslu hingga jajarannya ke bawah, tokoh agama tokoh masyarakat, tapi adalah tugas semua lapisan masyarakat. Pada Pilkada serentak tahun 2018 ini di Riau, Sentra Gakkumdu melakukan operasi pemeriksaan kendaraan atau ra.zia kendaraan dalam mencegah politik uang tersebut.

Intinya kesadaran untuk tidak terlibat politik uang harus dimulai dari diri sendiri, keluarga, tetangga, handai taulan dan amsyarakat.Baik yang selama ini memberi maupun yang terbiasa menerima

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama