Oleh, Albertus Dino)*
Pendahuluan
Indonesia memiliki kekayaan budaya yang sangat
besar, dari ujung timur sampai ujung barat, terbentang corak budaya yang
berbeda-beda. Dalam pluralitas budaya itu, gereja katolik hadir dan masuk ke
dalam kehidupan bersama dengan masyarakat Indonesia. Namun gereja katolik tidak
hanya hidup bersama secara berdampingan melainkan gereja mewartakan ajaran
kristiani dan membangun gereja dengan merangkul masyarakat setempat untuk masuk
ke dalam persekutuan umat beiman kepada Yesus Kristus (baca; gereja katolik).
Gereja kemudian bertumbuh dan berkembang menjadi suatu persekutuan yang besar,
masuk ke setiap daerah dan budaya di seluruh Nusantara.
Kehadiran Gereja di Indonesia tidak terlepas dari
identitas universalnya sebagai gereja yang memiliki sifat kesatuan, kudus,
katolik dan apostolik. Sifat-sifat ini melekat pada idntitas Gereja secara
universal sehingga ke mana pun gereja berkembang, ia selalu membawa
sifat-sifat itu. Gereja dengan mengenal identitas dirinya secara baik mampu
membuka diri dengan mengakui kekayaan nilai-nilai budaya yang ada di dalam
setiap budaya serta memaknai nilai-nilai kebudayaan itu untuk memperkenalkan
dirinya. Inilah salah satu metode kehadiran gereja dalam setiap budaya di
berbagai tempat.
Sifat-sifat itu yang membuat gereja katolik di
Indonesia tetap bersatu dengan gereja universal. Namun gereja tidak terlepas
dari berbagai persoalan dan tantangan dalam perjumpaan dengan entitas lain
(budaya, agama lokal, agama lain). Gereja menghadapi tantangan dan persoalan
itu dengan tetap mempertahankan kesatuaannya kepada gereja universal. Kesatuan
itu tidak dimaksudkan untuk menegasi yang lain dan menutup diri pada yang lain
melainkan kesatuan yang tetap menghargai yang lain dengan bersikap inklusif
dalam relasi dengan yang lain. Inilah persoalan yang akan dibahas dalam tulisan
ini, melihat dinamika kesatuan gereja katolik di tengah pluralitas budaya di
Indonesia. bagaimana Gereja Katolik berelasi dengan budaya-budaya itu sehingga
menciptakan kehidupan bersama yang inklusif.
Iman dan
kebudayaan
Iman seseorang akan bertumbuh dan berkembang dalam
suatu budaya. Menurut para antropolog, kebudayaan adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan sebagai milik melalui proses belajar.[1] Dari pengertian
tersebut menjadi jelas bahwa kebudayaan itu terwujud dalam tiga hal, yaitu
kebudayaan sebagai kompleks ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan. Kedua
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia dalam
masyarakat, dan ketiga, kebudayaan dalam wujud benda-benda hasil karya manusia.[2]
Sedangkan iman merupakan tanggapan personal seseorang pada pewahyuan Allah.
Berdasarkan pemahaman ini maka iman katolik tidak terikat pada satu budaya
tertentu, misalnya Yahudi, melainkan iman yang bersumber pada Yesus Kristus dan
ditujukan kepada seluruh dunia dari latar belakang apa pun. Itu berarti bahwa
iman dan kebudayaan merupakan dual hal yang saling berhubungan dan tidak dapat
dilepaspisahkan.
Paus Yohanes Paulus II dalam Catechesi tradendae
menegaskan bahwa katekese dan evangelisasi pada umumnya diarahkan untuk membawa
inti warta Injil ke dalam hati setiap budaya dan kepada semua
kebudayaan-kebudayaan (no.53).[3] Tetapi bukan berarti menyingkirkan
nilai-nilai budaya yang ada dalam tradisi setempat melainkan menyampaikan
ajaran kristiani melalui nilai-nilai budaya itu. Dalam pesan Sinode 1977
mengatakan, “inkarnasi iman yang sesungguhnya melalui katekese bukan hanya
proses memberi, tetapi juga menerima” (no. 5). Hal ini berarti bahwa bukan
hanya ada proses dari iman yang mengubah dan memurnikan kebudayaan, tetapi juga
ada proses yang didalamnya iman itu sendiri dipikirkan kembali dan ditafsirkan
kembali, tentu saja dengan batas-batas yang ditentukan secara jelas di dalamnya
dan di dalam kerangka terang tuntunan setiap kebudayaan.[4]
Dalam proses penghanyatan iman, kebudayaan selalu
mendahului iman akan Yesus Kristus. Iman, pertama-tama menyangkut hubungan
Allah dengan manusia. Namun manusia tidak dapat hidup sendirian, dia selalu
hidup bersama orang lain dalam suatu masyarakat yang memiliki nilai-nilai
kebudayaan. Hidup sosial dan kebudayaan menentukan hidup manusia yang konkret
dan juga dapat menentukan iman dan agamanya. Iman yang lepas dari kehidupan
masyarakat dan kebudayaan, bukanlah iman yang konkret dan sebetulnya bukan iman
yang benar. Iman yang konkret selalu menyangkut hidup yang konkret, dan tidak
dapat dilepaskan dari masyarakat serta kebudayaan.
Relasi antara iman dan kebudayaan senantiasa menjadi
relasi yang dinamis, tidak pernah berhenti. Iman (agama) dan kebudayaan
masing-masing merupakan dua kenyataan yang berbeda dengan identitas,
personalitas dan otonominya sendiri. Namun untuk kehidupan dan pertumbuhannya,
agama dan kebudayaan itu saling bergantung dan membutuhkan, saling keterbukaan
yang mendalam serta interaksi yang dinamis dan pengaruh timbal balik. Keduanya
adalah kenyataan hidup yang berhubungan dengan manusia.
Sebenarnya, iman dan kebudayaan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Sebaliknya, keduanya saling mengandaikan. Walaupun
kita dapat membicarakan keduanya secara terpisah, pada kenyatannya keduanya
tidak saling menutup diri terhadap yang lain. Melalui relasi yang terjalin
secara dinamis, keduanya dapat tetap bertahan dan semakin kaya. Keduanya saling
mempengaruhi, seling mengisi, saling melengkapi. Nilai-nilai budaya masyarakat
sering kali meresapi tata peribadatan agama. Demikian pun sebaliknya,
nilai-nilai agama memberikan makna baru dalam aneka produk kebudayaan. Ini
menegaskan bahwa kedua-duanya saling berpengaruh secara timbal-balik.
Dalam kenyataan sejarah, agama dan kebudayaan itu
berjalan beriringan dalam kehidupan manusia. Iman dihayati dalam suatu
kebudayaan tertentu dan senantiasa mendapat bentuk yang baru. Namun iman tidak
pernah terikat pada satu kebudayaan atau bahasa. Konsili Vatikan II dengan
berani menyatakan bahwa Allah sendiri “telah bersabda menurut kebudayaan yang
khas bagi pelbagai zaman” (GS 58). Karena perubahan dalam cara berpikir, cara
bergaul dan penghayatan hidup sendiri, tak dapat tidak mempengaruhi penghayatan
iman juga, terutama mengubah pengungkapan dan komunikasi iman.
Perjumpaan Iman
Katolik dengan Kebudayaan
Relasi antara iman dan kebudayaan terintegrasi dalam
sejarah perkembangan gereja katolik. Sejak awal kelahiran gereja, pokok
persoalan hubungan antara iman dan kebudayaan ini sudah mencuat dan sangat
jelas terekam dalam kitab suci, yakni dalam konsili Yerusalem (Kis. 15). Paulus
menjadi tokoh yang mempelopori wajah gereja yang tidak terikat pada keyahudian
sehingga dapat diterima oleh golongan non yahudi. Kristus menghendaki
gereja-Nya hadir di seluruh dunia. Kristus menghendaki warta keselamatan itu
diterima dan dialami oleh seluruh dunia. Untuk itu, tidak mungkin usaha itu
dilakukan jika gereja mempertahankan diri dalam identitas keyahudiannya, yakni
tempat ia dilahirkan. Gereja mesti mulai terbuka untuk melebarkan sayapnya dan
merangkul seluruh golongan dan budaya.
Namun semua yang ada dalam suatu budaya tidak
diterima begitu saja, selalu melalui proses dialog untuk menemukan “benang
merah” antara keduanya sehingga dasar ajaran kristiani dapat diterima dengan
baik. Yesus sendiri lahir dan dibesarkan dalam kebudayaan Yahudi. Yesus sendiri
dibesarkan dan mati dalam tradisi Yahudi. Ia disunat seperti anak-anak orang
Yahudi lainnya (Luk 1:23). Ia juga hadir di pesta perkawinan (Yoh 2:1-11). Ia
membasuh kaki murid-murid seperti adat orang Yahudi (Yoh 13:1-5). Ketika Yesus
mati dan dikubur, mereka memapani dan merempahi mayat Yesus menurut adat orang
Yahudi (Yoh 19:40). Yesus tidak selalu menentang adat. Tetapi ketika
adat-istiadat bertentangan dengan kehendak Tuhan dan tidak berfungsi melayani
manusia maka Yesus bersikap kritis terhadap adat (Mat 15:1-14; Mrk 7:1-13).
Yesus Mengeritik kebiasaan orang Yahudi mengenai Hari Sabat. Yesus Mengatakan
“Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk Hari Sabat” (Mrk
2:27).
Gereja kemudian keluar dari batasan bangsa Yahudi
dan tersebar di wilayah kekaisaran Roma melalui pewartaan Petrus dan terutama
Paulus. Gereja mulai lepas dari kungkungan tradisi dan budaya keagamaanYahudi,
misalnya soal sunat. Karena bebas dari unsur-unsur budaya partikular inilah
yang menyebabkan gereja semakin mudah diterima oleh masyarakat dunia pada zaman
itu (Romawi). Usaha-usaha inkulturasi awal gereja tampak misalnya dalam kotbah
Paulus di Atena (Kis. 17: 22-31). Paulus memperkenalkan iman Kristen melalui
kekurangan yang dialami dalam sistem kerpercayaan mereka. “Apa yang kamu sembah
tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu (Kis. 17: 23).”
Sebenarnya kerinduan akan yang ilahi sudah ada dalam hati mereka dan itu
termanifestasi dalam sosok dewa-dewa. Akan tetapi, persoalan keselamatan tetap
tinggal menjadi misteri bagi mereka. Perkenalan dengan iman Kristen sungguh
membuka kesadaran beberapa dari antara mereka. Janji keselamatan itu justru
lebih terjamin dalam iman Kristen. Dalam perkembangan selanjutnya semakin
banyak terbentuk jemaat-jemaat Kristen di wilayah kekaisaran.[5]
Dalam sejarah selanjutnya, usaha penyebaran iman
Kristen ini terus dilanjutkan. Sejumlah tokoh gereja, yang tentu tidak dapat
disebutkan satu per satu semuanya, berperan besar dalam hal ini. Gereja telah
menyadari bahwa identitas tunggalnya adalah Roh Yesus Kristus dan cinta
persaudaraan seturut teladan-Nya. Yang selebihnya hanyalah suatu
identitas kultural yang berasal dari masyarakat dan waktu tertentu dan harus
ditinggalkan pada saat inkulturasi.[6] Dalam masa-masa kolonial, gereja semakin
tersebar luas ke seluruh dunia dan semakin banyak berkontak dengan adat
istiadat masyarakat dunia. Setiap kali hadir, idealnya gereja hanya membawa
iman akan Yesus Kristus. Ketika memasuki satu masyarakat tertentu, yang harus
terjadi adalah proses adaptasi dan penginkulturasian nilai. Usaha-usaha nyata
gereja pertama-tama adalah bagaimana mengkontekstulisasikan iman itu dalam
situasi masyarakat setempat sehingga iman dapat dipahami dan dihayati tanpa
mengubah identitas budaya mereka. Hal ini tentu tidak pernah mudah.
Dalam konteks sekarang, masalah ini semakin serius
dihadapi gereja karena dekolonialisasi dan pencapaian kemerdekaan negara-negara
Asia dan Afrika. Kesadaran akan kemandirian dan identitas pribadi menjadi
semakin tinggi sehingga gereja semakin dituntut untuk dapat menghadirkan diri
dalam wajah yang khas Asia dan Afrika. Tidak jarang hal ini membawa konflik
dalam gereja sendiri sebab setiap kali berkontak dengan satu budaya tertentu
selalu terjadi relasi timbal balik. Di mana-mana gereja telah mempengaruhi
kebudayaan masyarakat sehingga sistem kepercayaan yang telah melekat dengan
kebudayaan mereka diganti dengan iman terhadap Yesus Kristus. Budaya dan
kepercayaan lokal, kini berganti menjadi budaya dan iman Kristen. Sementara itu
di pihak lain, gereja juga mengalami perubahan yang tidak kecil. Kita tidak
dapat membicarakan gereja universal yang berwajah tunggal, melainkan kumpulan
gereja lokal yang menghayati imannya dengan cara yang khas.
Keadaan Bangsa
Indonesia
Suatu realitas kehidupan Indonesia yang sangat
tampak adalah masyarakatnya plural, baik agama, budaya, bangsa dan ras,
semuanya itu melebur hidup dalam kehidupan bersama dan berdampingan. Menurut
sensus penduduk pada tahun 2000, Indonesia merupakan negeri yang jumlah
penduduknya tercatat sebagai keempat besar di dunia, yakni 205,8 juta jiwa.
Masyarakat Indonesia terdiri atas banyak sekali etnis, sehingga dapat dikatakan
corak keberagaman etnis dan budaya mewarnai realitas konteks Indonesia. Indonesia
merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau mencapai ribuan. Keterpisahan
masyarakat oleh alasan geografis semacam ini turut mendukung berkembangnya
bentuk ungkapan kebudayaan yang berbeda di setiap wilayah Indonesia. Selain
itu, keberagaman tersebut juga tampak dalam kehidupan jemaat lokal.[7] Situasi
pluralitas itu juga dapat ditemukan dengan mudah di Jakarta ini. Banyak orang
yang berasal dari berbagai etnik, budaya dan bahasa berkumpul bersama di
ibukota Negara Indonesia ini sebagai satu masyarakat.
Di samping pluralitas kehidupan masyarakat,
Indonesia juga dibaluti oleh kemiskinan yang menyebar ke seluruh Nusantara.
Kemiskinan itu merupakan persoalan yang multidimensi. Kehadiran gereja di
tengah masyarakat seperti itu menjadi pertimbangan tersendiri sehingga gereja
bisa diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Misi keselamatan yang
dibawa gereja harus mampu menyentuh pokok persoalan konkret yang tengah
dihadapi masyarakat di mana ia menghadirkan diri. Hanya dengan cara demikian
iman itu memiliki dimensi sosialnya. Karena itu, sikap keterbukaan dan
kesediaan gereja berinteraksi dan berdialog dengan masyarakat setempat membuat
gereja diterima dengan baik dan bisa bertumbuh dan berkembang dalam kesatuan
gereja universal.
Kehadiran Gereja
katolik di Indonesia
Iman katolik masuk di Indonesia pada abad 16 dan 17
bersaman dengan kehadiran para misionaris. Awalnya kehadiran para misionaris
adalah untuk pelayanan dan reksa rohani (ibadat, ekaristi dan pengakuan dosa)
bagi para petualang dan pedagang kebangsaan Portugis dan Spanyol. Akan tetapi,
keikutsertaan para misionaris ini terjadi bersamaan dengan pengusaan wilayah,
sehingga hal ini berimplikasi pada penyebaran injil ke tengah wilayah-wilayah
yang mereka kuasai.
Ketika itu, daerah yang menjadi sentral pedagangan
ialah Malaka dan Ternate, daerah penghasil rampah-rempah. Di daerah-daerah
inilah kristianitas mulai dikenal orang-orang pribumi. Kemudian hal ini
berlangsung terus-menerus sampai kedatangan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang cenderung memanjakan atau
memberikan privilese kepada para misionaris protestan. Akibatnya, Gereja
katolik dilarang secara mutlak dan hanya bertahan di beberapa daerah yang tidak
termasuk VOC yaitu Flores dan Timor.[8] Setelah VOC dibubarkan dan diambil alih
oleh pemerintah Hindia-Belanda, katolik mulai mendapat kembali kebebasan
menyebarkan iman di Nusantara. Sejak saat itu, iman katolik tersebar luas di
bumi nusantara dan berkembang hingga sekarang.
Para misionaris yang datang ke Indonesia berjumpa
dengan masyarakat yang beraneka ragam dan berusaha mewartakan iman kristiani
kepada orang-orang Indonesia. Mereka mulai membangunkan sekolah dan asrama
untuk mendidik anak-anak pribumi. Anak-anak bumi mulai terbuka matanya akan
budaya barat dan mulai berpikir ilmiah. Dari berbagai macam peristiwa yang
dilakukan kolonialisme, seringkali orang menghubungkannya dengan misi para
misionaris dalam mewartakan Injil kepada masyarakat Indonesia. Beberapa pihak
menyimpulkan bahwa kristianitas hampir sama dengan kolonialisme. Anggapan ini
menjadi tantangan gereja dalam menyampaikan ajarannya di tengah masyarakat
Indonesia. Walaupun demikian, para misionaris tetap berusaha, dengan berbagai
cara, menyampaikan ajaran Kristiani. Salah satu yang dilakukan oleh gereja adalah
dengan inkulturasi. Gereja berusaha memurnikan pikiran pribumi tetapi usaha
tersebut tidak berjalan dengan baik karena di kalangan masyarakat pribumi
terjadi pengidentifikasian yang berlebihan dengan kebudayaan dan masyarakat
Eropa sehingga cenderung mengenal iman kristen sebagai kekristenan barat.
Di samping itu, proses inkulturasi sendiri masih
menjadi masalah karena latar belakang gereja yang mempertimbangkan tradisi
dalam Gereja sendiri. Sebagian orang beriman menganggap inkulturasi menyangkut
unsur-unsur hakiki (tradisi-tradisi) keagamaan yang tidak boleh ditinggalkan.
Hal ini membuat penyebaran kristianitas di daerah Eropa Utara, apalagi di
Amerika Latin, Afrika dan Asia sangat terhambat oleh lambannya inkulturasi.
Salah satu contoh inkulturasi yaitu bahasa yang digunakan dalam Kitab suci dan
dalam beribadat atau doa-doa. Mislanya, dalam perayaan ekaristi, bahasa yang
digunakan sekarang sesuai dengan bahasa setempat, sedangkan pada zaman dahulu
bahasa yang digunakan dalam perayaan ekaristi yaitu Bahasa Latin yang merupakan
bahasa resmi gereja. Ini hanya salah satu bagian inkulturasi dari keseluruhan
kompleksitas inkulturasi yang masih menjadi pertimbangan gereja mewujudkannya
secara utuh dalam pewartaan injil kepada masyarakat di berbagai budaya. Karena
apabila gereja sungguh-sungguh mau berinkulturasi secara menyeluruh maka gereja
harus bersedia mengakui nilai-nilai kebudayaan setempat, misalnya soal tubuh
dan darah Kristus, kenapa selalu menggunakan hosti dan anggur dalam perayaan
ekaristi, bukankah itu perjamuan yahudi? Kenapa kita tidak bisa menggunakan
makanan khas lokal untuk menggantikan tubuh dan darah Kristus. Hal ini juga
menjadi tantangan dalam berinkulturasi karena gereja tidak dengan menerima
nilai-nilai yang adal dalam budaya-budaya setempat.
Hal ini menunjukkan bahwa inkulturasi
membutuhkan waktu yang lama karena orang-orang lain harus memisahkan
makna-makna asli dari kearifan lokal dan memberikan mereka suatu makna
kristiani baru. Kemudian secara emosional mereka harus terbiasa dengan usaha inkulturasi
dan merasa akrab dengannya. Hal itu membutuhkan kebijaksanaan dan hati yang
lapang, kesabaran dan pengertian, pendidikan, usaha memperkenalkan unsur-unsur
baru tahap demi tahap, penjelasan dan konsultasi yang berkelanjutan dan
evaluasi berkala serta secara bertahap mewujudkan sintesis baru dan dinamis
serta keseluruhan yang koheren. Dari proses itu akan ditemukan makna baru yang
berciri-corak Kristiani yang hidup dan dinamis.
Gereja Katolik
Indonesia sekarang
Gereja lahir dan bertumbuh dari satu sumber yaitu
yesus Kristus. Dia lahir dan dibesarkan dalam budaya Yahudi. Titik tolak iman
kristiani mulai sejak Wafat dan kebangitan-Nya di mana Yesus direfleksikan
sebagai putra Allah, sang penebus umat manusia. Gereja kemudian meluas keluar
dari budaya Yahudi dan menyebar ke seluruh dunia. Satu hal yang yang melekat
pada iman Kristiani adalah kebersamaan dan kesatauan dalam iman akan Yesus
Kristus. Kesatuan itu menjadi pegangan dalam memperluaskan iman kepada setiap
budaya di seluruh dunia.
Gereja juga hadir di Nusantara ini dengan tetap
membawa identitas imannya tetapi tidak menyingkirkan nilai-nilai keindonesiaan
yaitu memiliki pluralitas bangsa dan budaya. Gereja menghargai pluralitas
budaya itu dan oleh karena itu gereja bisa bertahan dan berkembang sampai saat
ini. Gereja terus berusaha melakukan inkulutrasi untuk bisa memaknai
nilai-nilai kebudayaan di Indonesia untuk membawa mereka kepada iman akan Yesus
Kristus. Hal tersebut dilakukan setelah Konsili Vatikan II, perutusan untuk
mewartakan Injil ditafsirkan dalam makna lain, yaitu dengan masuk ke dalam
budaya-budaya setempat dan menjadikan budaya setempat sebagai sarana untuk
penginjilan yang disebut dengan inkulturasi. Dengan kata lain mulai saat itu
gereja resmi menggunakan cara inkulturasi sebagai cara penyebaran injil.
Melalui inkulturasi, gereja menjelmakan injil dalam budaya yang berbeda-beda
dan serentak membawa masuk bangsa-bangsa bersama dengan kebudayaan mereka ke
dalam persekutuan gereja sendiri.
Inkulturasi sebetulnya sesuatu yang cukup aneh,
seolah-olah ada iman di luar kebudayaan dahulu, yang kemudian mencoba masuk ke
dalam suatu kebudayaan tertentu dan “mengenakan” kebudayaan itu bagaikan
pakaian. Akan tetapi perlu dilihat juga bahwa perlunya berbicara tentang
kebudayaan Kristen dengan tradisi-tradisi yang mengandung unsur-unsur hakiki
ungkapan iman. Hal itu berarti kebudayaan asli setiap negara dan daerah itu
harus diresapi oleh Roh Yesus Kristus, dimurnikan, diperkaya dan dipenuhi oleh
nilai-nilai injil.
Kebudayaan Indonesia juga termasuk salah satu daftar
kebudayaan yang diinkulturasikan oleh gereja. Berkat inkulturasi tersebut,
sebagian besar dari umat mengalami kemudahan pemahaman dan penghayatan iman.
Melaui inkulturasi, gereja Indonesia menampilkan kekhasan wajahnya dengan
keberagaman budaya. Budaya yang beranekareagam ini digunakan sebagai sarana
perwujudan iman baik dalam hal liturgis (tata ibadat) maupun non-liturgis.
Misalnya di daerah Jawa sudah banyak diadakan perayaan ekaristi dalam adat
Jawa. Perayaan Ekarisi ini memasukkan adat-adat Jawa tanpa menghilangkan tujuan
awal perayaan ekaristi. Melalui bahasa, instrumen, pakaian, tarian dan dekorasi
ala Jawa dalam liturgi menambah kesatuan hati umat dengan korban Kristus dalam
ekaristi.
Kesatuan Gereja
Katolik
Gereja katolik lahir dan bertumbuh melalui sejarah
yang panjang dan penuh dengan tantangan. Banyak orang yang berusaha memecahkan
kesatuan gereja itu, misalnya gereja-gereja reformasi; Lutheran, calvinis dan
sebagainya. Gereja-gereja ini kemudian memisahkaan diri dari gereja
katolik Roma, tetapi gereja katolik sendiri tetap bertumbuh dan berkembang
semakin meluas ke seluruh dunia di dalam kesatuan gereja Universal. Justru
melalui berbagai macam peristiwa reformasi seperti itu, gereja katolik malah
semakin matang dan dewasa dalam beriman. Kedewasaannya itu memperkuat keutuhan
dan kesatuan gereja untuk beriman kepada Yesus Kristus. Karena “Allah telah
berkenan menghimpun orang-orang yang beriman akan Kristus menjadi Umat Allah
(1Ptr 2:5-10)”, dan membuat mereka menjadi satu Tubuh (1Kor 12:12; AA 18).
“Pola dan prinsip terluhur misteri kesatuan Gereja ialah kesatuan Allah yang
tunggal dalam tiga pribadi, Bapa, Putra dan Roh Kudus” (UR 2).
Gereja tetap kokoh dan kuat karena “Itulah
satu-satunya Gereja Kristus, yang dalam syahadat iman kita akui sebagai Gereja
yang satu, kudus, katolik, dan apostolik” (LG 8). Sifat-sifat gereja ini saling
mengikat dan menyatukan gereja dalam satu tubuh yang melukiskan ciri-ciri
hakikat Gereja dan perutusannya. Gereja tidak ada begitu saja dari dirinya
sendiri. Melalui Roh Kudus, Kristus menjadikan Gereja-Nya itu satu, kudus,
katolik, dan apostolik. Ia memanggilnya supaya melaksanakan setiap sifat itu
(KGK 811). Gereja itu satu menurut Pendiri-Nya. “Sebab Putera sendiri yang
menjelma… telah mendamaikan semua orang dengan Allah, dan mengembalikan
kesatuan semua orang dalam satu bangsa dan sate tubuh” (GS 78,3). Gereja itu
satu menurut jiwanya. “Roh Kudus, yang tinggal di hati umat beriman, dan
memenuhi serta membimbing seluruh Gereja, menciptakan persekutuan umat beriman
yang mengagumkan itu, dan sedemikian erat menghimpun mereka sekalian dalam
Kristus, sehingga menjadi prinsip kesatuan Gereja” (UR 2, 2).
Namun sejak awal, Gereja yang satu ini memiliki
kemajemukan yang luar biasa. Di satu pihak kemajemukan itu disebabkan oleh
perbedaan anugerah-anugerah Allah, tetapi di lain pihak oleh keragaman orang
yang menerimanya. Dalam kesatuan Umat Allah berhimpunlah perbedaan bangsa dan
budaya. Keragaman itu memperkaya kehidupan untuk menghargai perbedaan dalam
kesatuan itu, “maka dalam persekutuan Gereja selayaknya pula terdapat
gereja-gereja khusus, yang memiliki tradisi mereka sendiri” (LG 13). Kekayaan
yang luar biasa akan perbedaan tidak menghalang-halangi kesatuan Gereja, tetapi
menyadarkan gereja akan keunikkan setiap orang atau entitas dalam menghayati
iman kepada Yesus Kristus.
Perbedaan itu tentu tidak berarti menghayati iman
kepada Kristus dengan interpretasi pribadi tetapi tetap bersatu dalam
sifat-sifat gereja. Karena itu, St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di
Efesus, mengatakan “supaya memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera”
(Ef 4:3). Kesatuan gereja itu tampak dalam ikatan persekutuan, yaitu pengakuan
iman yang satu dan sama, yang diwariskan oleh para Rasul, perayaan ibadat
bersama, terutama Sakramen-sakramen, dan suksesi apostolik, yang oleh Sakramen
Tahbisan menegakkan kesepakatan sebagai saudara-saudari dalam keluarga Allah
(KGK 815).
Sifat gereja yang kudus juga menghadirkan gereja ke
mana-mana dalam satu kesucian gereja yang berasal dari Yesus Kristus, yaitu
yang mengikutsertakan Gereja dalam gerakan-Nya kepada Bapa oleh Roh Kudus. Hal
ini dikatakan dalam Konsili Vatikan II (KV II) bahwa Di dunia ini gereja sudah
ditandai oleh kesucian yang sungguhnya, meskipun tidak sempurna (LG 48).
Ketidaksempurnaan ini menyangkut pelaksanaan insani, sama seperti kesatuannya.
Dalam hal kesucian pun yang pokok bukanlah bentuk pelaksanaannya, melainkan
sikap dasarnya. Untuk itu, “Gereja itu suci dan sekaligus harus dibersihkan, serta
terus menerus menjalankan pertobatan dan pembaruan “(LG 8).
Sikap pertobatan itu terintegrasi dalam kesatuan
beriman kepada Yesus Kristus karena Gereja katolik yang satu dan tunggal berada
dalam gereja-gereja setempat dan terhimpun daripadanya (LG 23)”. Inilah gereja
yang disebut katolik karena tersebar di seluruh muka bumi dan juga karena
mengajarkan secara menyeluruh dan lengkap segala ajaran iman yang diberikan
tertuju kepada sesama manusia, yang mau disembuhkan secara menyeluruh pula” (St.
Sirilius dari yerusalem). Lebih daripada itu, sifat gereja yang katolik tidak
hanya mempunyai arti geografis, tersebar keseluruh dunia, tetapi juga
“menyeluruh”, dalam arti “lengkap”, berkaitan dengan ajarannya, serta “terbuka”
dalam arti tertuju kepada siapa saja.
Gereja Kristus itu sungguh hadir dalam semua jemaat
beriman setempat yang sah, yang mematuhi para gembala mereka, dan dalam
Perjanjian Baru disebut Gereja (bdk. Kis 8:1; 14:22-23; 20:17). Gereja-Gereja
itu ditempatnya masing-masing merupakan umat baru yang dipanggil oleh Allah,
dalam Roh Kudus dan dengan sepenuh-penuhnya (bdk 1Tes 1:5). Di jemaat-jemaat
itu, meskipun hanya kecil dan miskin, atau tinggal tersebar, hiduplah Kristus;
dan berkat kekuatan-Nya terhimpunlah Gereja yang satu, kudus, katolik dan
apostolik.
Apostolik dalam arti bahwa Gereja berasal dari para
rasul dan tetap berpegang teguh pada kesaksian iman mereka. Kesadaran bahwa
Gereja “dibangun atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus
sebagai batu penjuru”, sudah ada sejak zaman Gereja perdana sendiri (bdk Ef
2:20, Bdk Why 21:14). Karena itu sampai sekarang Gereja mengakui diri
sama dengan gereja Perdana, yakni Gereja para rasul. dimana hubungan historis
ini tidak dilihat sebagai pergantian orang, melainkan sebagai kelangsungan iman
dan pengakuan. Di samping itu, keapostolikkan gereja berarti bahwa dalam
perkembangan hidup, tergerak Roh Kudus, Gereja senantiasa berpegang pada Gereja
para rasul sebagai norma imannya. Bukan mengulangi, tetapi merumuskan dan
mengungkapkan kembali apa yang menjadi inti hidup iman. karena seluruh Gereja
bersifat apostolik, maka seluruh Gereja dan setiap anggotanya, perlu mengetahui
apa yang menjadi dasar hidupnya. Inilah ikatan kesatuan yang utuh dari gereja
yang tidak dapat dilepaspisahkan sehingga gereja tetap menjadi satu tubuh
walaupun hadir di mana-mana. Sifat-sifat Gereja itu diimani, berarti harus
dihayati, oleh Gereja seluruhnya dan oleh masing-masing anggotanya di mana pun
mereka berada.
Kesimpulan
Gereja katolik bertumbuh dan berkembang dalam budaya
sehingga relasi antara iman dan kebudayaan terintegrasi dalam sejarah
perkembangan gereja katolik. Namun semua yang ada dalam suatu budaya tidak
diterima begitu saja, selalu melalui proses dialog untuk menemukan “benang
merah” antara keduanya sehingga dasar ajaran kristiani dapat diterima dengan
baik. Yesus sendiri lahir dan dibesarkan dalam budaya Yahudi. Titik tolak iman
kristiani mulai sejak Wafat dan kebangitan-Nya di mana Yesus direfleksikan
sebagai putra Allah, sang penebus umat manusia. Gereja kemudian meluas keluar
dari budaya Yahudi dan menyebar ke seluruh dunia. Satu hal yang yang melekat
pada iman Kristiani adalah kebersamaan dan kesatauan dalam iman akan Yesus
Kristus. Kesatuan itu menjadi pegangan dalam memperluaskan iman kepada setiap
budaya di seluruh dunia.
Gereja juga hadir di Nusantara ini dengan tetap
membawa identitas imannya tetapi tidak menyingkirkan nilai-nilai keindonesiaan
yaitu memiliki pluralitas bangsa dan budaya. Gereja menghargai pluralitas
budaya itu dan oleh karena itu gereja bisa bertahan dan berkembang sampai saat
ini. Gereja terus berusaha melakukan inkulutrasi untuk bisa memaknai
nilai-nilai kebudayaan di Indonesia untuk membawa mereka kepada iman akan Yesus
Kristus. Hal tersebut dilakukan setelah Konsili Vatikan II, perutusan untuk
mewartakan Injil ditafsirkan dalam makna lain, yaitu dengan masuk ke dalam
budaya-budaya setempat dan menjadikan budaya setempat sebagai sarana untuk
penginjilan yang disebut dengan inkulturasi.
Gereja yang satu ini memiliki kemajemukan yang luar
biasa. Di satu pihak kemajemukan itu disebabkan oleh perbedaan
anugerah-anugerah Allah, tetapi di lain pihak oleh keragaman orang yang
menerimanya. Dalam kesatuan Umat Allah berhimpunlah perbedaan bangsa dan
budaya. Keragaman itu memperkaya kehidupan untuk menghargai perbedaan dalam
kesatuan itu, “maka dalam persekutuan Gereja selayaknya pula terdapat
gereja-gereja khusus, yang memiliki tradisi mereka sendiri” (LG 13).
Daftar
Pustaka
Koentjaraningrat. Pengantar Kebudayaan. Yogyakarta:
kanisius, 1981.
Sustrisnaatmaka, A.M.
MSF. Misi, Evangelisasi dan Inkulturasi, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara,
2012.
Sunarko, Adrianus.
“Gereja di Tengah Aneka Budaya: Belajar dari Gereja Perdana” dalam Sinar Sabda
dalam Prisma, ed. Eddy Kristianto. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Amalorpavadas. “Injil
dan Kebudayaan” dalam Gereja Berwajah Asia, ed. Georg Kirchberger. Ende: Nusa
Indah, 1995.
Van Kooij, Rijnardus A.
dkk. Menguak Fakta, Menata Karya Nyata: Sumbangan Teologi Praktis dalam
Pencarian Model Pembangunan Jemaat Kontekstual. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2007.
Heuken, Adolf.
“Sejarah Gereja Katolik di Indonesia” dalam Ensiklopedi Gereja, Jilid VII,
Edisi ke-4. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005.
[1]
Koentjaraningrat, Pengantar Kebudayaan, (Yogyakarta: kanisius, 1981), 180.
[2]
Koentjaraningrat, Pengantar Kebudayaan, (Yogyakarta: kanisius, 1981), 186-187.
[3]
Mgr. A.M. Sustrisnaatmaka, MSF, Misi, Evangelisasi dan Inkulturasi,
(Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2012), 53.
[4]
Mgr. A.M. Sustrisnaatmaka, MSF, Misi, Evangelisasi dan Inkulturasi,
(Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2012), 55.
[5]
Pembahasan yang lebih mendalam tentang bagaimana iman kristen mula-mula
diwartakan di luar keyahudian dan berkontak dengan budaya Helenis-Romawi dapat
ditemukan dalam artikel Adrianus Sunarko, “Gereja di Tengah Aneka Budaya:
Belajar dari Gereja Perdana” dalam Sinar Sabda dalam Prisma, editor Eddy
Kristianto (Yogyakarta: Kanisius, 2005).
[6]
Amalorpavadas, “Injil dan Kebudayaan” dalam Gereja Berwajah Asia, ed. Georg
Kirchberger (Ende: Nusa Indah, 1995), 93.
[7]
Rijnardus A. Van Kooij dkk, Menguak Fakta, Menata Karya Nyata: Sumbangan
Teologi Praktis dalam Pencarian Model Pembangunan Jemaat Kontekstual, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2007), 51.
[8]
Adolf Heuken, “Sejarah Gereja Katolik di Indonesia” dalam Ensiklopedi
Gereja, Jilid VII, Edisi ke-4 (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), 214.