Dalam peradaban Mesopotamia dan Mesir kuno,
sekolah-sekolah yang bertujuan melatih juru tulis memiliki peran sentral. Bukti
arkeologis dalam paparan Henri-Irénée Marrou (1982) menunjukkan keberadaan
institusi-institusi seperti Beth Midrash (בית מדרש) di kalangan Yahudi, yang
mirip dengan "House of Instruction". Di situs-situs seperti Mari di
Eufrat, ditemukan sisa-sisa ruang kelas yang dilengkapi dengan meja-meja untuk
dua hingga empat siswa. Ruangan ini juga penuh dengan alat-alat tulis seperti
tinta yang terbuat dari tanah liat, tablet menulis, dan cangkang untuk
menyimpan tinta.
Dalam analisis Marrou (1982) kurikulum yang
diajarkan di sekolah waktu itu berfokus pada keterampilan dasar seperti cara
memegang stilus atau kalamus, serta cara menulis tanda-tanda dasar hingga
tanda-tanda yang lebih kompleks. Latihan menulis ini, yang diawali dengan
menyalin tanda-tanda sederhana dan kemudian berlanjut ke kata-kata dan frasa,
bertujuan untuk membentuk keterampilan teknis yang dibutuhkan dalam karir juru
tulis. Pengajaran juga mencakup pendidikan lisan, di mana guru membacakan teks,
memberikan komentar, dan kemudian mengajukan pertanyaan kepada siswa.
Pendidikan juru tulis di peradaban oriental terkenal
dengan pendekatan yang mengutamakan disiplin dan kepatuhan. Siswa diharapkan
mengikuti instruksi dengan docility yang tinggi, yang seringkali ditegakkan
melalui hukuman fisik. Istilah musar dalam bahasa Ibrani, yang berarti
"instruksi" dan "koreksi" atau "hukuman," menggambarkan
bagaimana pendidikan ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana transfer
pengetahuan, tetapi juga sebagai alat untuk menanamkan kedisiplinan yang ketat.
Penggunaan hukuman fisik, seperti yang
diilustrasikan dalam teks-teks Mesir kuno, dianggap efektif dalam mendidik
siswa. Salah satu ungkapan terkenal dari Mesir menyatakan, "Telinga anak
muda berada di punggungnya; dia mendengar ketika dipukuli." Ungkapan ini
menunjukkan bagaimana hukuman fisik dianggap penting waktu itu memastikan
pemahaman dan penyerapan pengetahuan.
Menurut Marrou (1982) meskipun pendidikan juru tulis
sering dikaitkan dengan keterampilan teknis, sebenarnya terdapat dimensi
formasi yang lebih dalam. Selain mengajarkan keterampilan menulis dan membaca,
pendidikan juru tulis juga bertujuan membentuk karakter dan moralitas siswa.
Literatur kebijaksanaan dari Mesir dalam rentang waktu abad 26-8 SM, seperti
Teachings of Ptahhotep dan Teachings of Amenemope, menjadi klasik dalam
pendidikan yang dihargai, tidak hanya karena mengajarkan etika duniawi tetapi
juga karena mengandung nilai-nilai religius yang tinggi.
Dalam kajian Marrou (1982) tradisi Mesir kuno
kemudian mempengaruhi kebijaksanaan Israel, yang dikenal dengan literatur
seperti Wisdom of Ahiqar. Pendidikan juru tulis oriental tidak hanya
mengajarkan cara bertingkah laku baik di masyarakat, terutama di lingkungan
istana yang penuh tantangan, tetapi juga menanamkan kode moral tinggi dan rasa
keagamaan mendalam. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan juru tulis di
peradaban oriental memiliki kesamaan dengan pendidikan klasik di Barat, yang
juga menekankan pembentukan karakter yang ideal.
Sebagai catatan akhir pendidikan juru tulis dalam
peradaban oriental menawarkan wawasan berharga tentang bagaimana pendidikan
dapat membentuk individu secara menyeluruh, baik dalam aspek teknis maupun
moral. Sistem pendidikan ini, yang telah berkembang sejak zaman kuno,
menunjukkan bahwa tujuan pendidikan tidak hanya sebatas pengetahuan teknis,
tetapi juga mencakup pembentukan karakter yang bijaksana dan beretika.
Meskipun metode dan disiplin yang digunakan dalam
pendidikan juru tulis mungkin tampak keras dari perspektif modern, nilai-nilai
yang diajarkan—disiplin, kepatuhan, dan kebijaksanaan—memiliki relevansi yang
mendalam dalam konteks pendidikan masa kini. Hal demikian mengingatkan kita
bahwa pendidikan terus berupaya mencapai keseimbangan antara pengajaran
keterampilan praktis dan pembentukan karakter berintegritas.