Kita hidup dalam era
ketika agama dan algoritma sama-sama hadir sebagai entitas yang tak terlihat
tapi maha menentukan. Agama menjanjikan surga, algoritma menjanjikan engagement.
Keduanya mengatur hidup kita: kapan harus percaya, kapan harus klik. Dan anehnya,
kita patuh. Sangat patuh. Sadar atau tidak. Bahkan lebih patuh pada algoritma
daripada pada ayat. Bukankah lebih banyak orang bangun pagi bukan untuk salat
subuh, tapi untuk memeriksa siapa yang menyukai unggahan semalam?
Dalam kamus Oxford, agama didefinisikan sebagai “a particular system of faith and worship”—sistem
kepercayaan dan penyembahan. Sementara algoritma, menurut Cambridge Dictionary, adalah “a
set of rules that must be followed when solving a particular problem”—serangkaian
aturan yang harus diikuti ketika menyelesaikan suatu masalah tertentu. Jika
direnungkan, keduanya adalah sistem yang memberi arahan, aturan, dan harapan
akan hasil akhir yang lebih baik.
Agama menjanjikan
keselamatan spiritual; algoritma menjanjikan efisiensi, viralitas, bahkan
pengakuan. Kita hidup di antara dua sistem yang berbeda secara tujuan, tapi
serupa secara struktur: tak kasatmata, tapi mendalam mengatur. Yang satu
menyuruh manusia berserah. Yang satu menyuruh manusia konsisten. Dan
keduanya—anehnya—sama-sama bikin orang merasa bersalah kalau tidak taat.
Algoritma tidak butuh
jubah. Ia tidak punya nabi, tapi punya influencer. Ia tak mengancam dengan
neraka, cukup dengan shadowban. Ia tidak mencatat amal baik dan buruk, tapi
mencatat perilaku pengguna, durasi tayangan, lokasi terakhir, dan hobi
tersembunyi yang tak kita akui ke diri sendiri. Dalam sistem keimanan baru ini,
Tuhan digantikan oleh data center, dan doa-doa dikirim dalam bentuk komentar, likes,
dan emoji sedih.
—percaya bahwa karena kita pernah mencari “cara membuat kopi Vietnam”, maka seumur hidup kita akan ditawari alat penyaring kopi dan video barista dengan janggut panjang.
Keduanya juga menuntut
manusia menjalani ritual. Agama Islam misalnya mengajarkan salat lima waktu,
puasa, zikir, misa, sabat, dan meditasi. Algoritma tak kalah rajin: bangun pagi
harus membuka Instagram, pukul tiga wajib unggah story, malam hari evaluasi
statistik. Scroll adalah tasbih digital, dan share adalah dakwah. Ada jam-jam
unggahan tertentu yang perlu diperhatikan demi konten relevan. Jika dulu
manusia takut kehilangan pahala, sekarang mereka takut kehilangan reach. Ibadah
super modern berlangsung dalam bentuk konsistensi konten.
Ada paradoks dalam
keduanya. Agama mengajarkan kebebasan memilih—masuk surga atau tidak, itu
pilihan. Algoritma juga: ikuti akun ini atau tidak, klik atau tidak. Tapi pada
akhirnya, seperti dalam agama, tak ada pilihan yang sungguh bebas. Karena
keputusan sudah dibentuk, baik oleh doktrin maupun data. Kebebasan hanyalah
ilusi yang tampil sebagai kebebasan, padahal sebenarnya bagian dari desain
besar. Kita hanya mengisi formulir yang sudah ditentukan oleh Yang Berkehendak.
Lucunya, bahkan umat
beragama kini memohon pertolongan pada algoritma. Ustaz tidak cukup hanya hafal
tafsir, ia juga harus hafal waktu unggah terbaik di TikTok. Pendeta perlu thumbnail
yang menarik. Biksu perlu konten viral tentang meditasi dan skincare. Semua
butuh algoritma agar bisa menyebar firman. Mungkin, malaikat pun dilatih untuk
menganalisis tren dan mengatur target pasar akhirat.
Agama dan algoritma
sama-sama menjanjikan keselamatan, walau dengan bahasa berbeda. Agama bilang:
sabar, ini ujian. Algoritma bilang: your
post is under review. Agama memberi harapan di akhirat. Algoritma memberi
harapan di dashboard analytics. Yang satu memeluk batin, yang satu mengurung
perhatian. Tapi keduanya meminta satu hal yang sama: kesetiaan. Tanpa banyak
tanya. Percayalah.
Di tengah absurditas
ini, kita hidup sebagai makhluk setengah percaya, setengah bingung. Kita berdoa
agar unggahan kita viral, dan berharap kehidupan kita mendapat like dari Yang
Mahatinggi. Kita menakar keberhasilan spiritual dengan jumlah views. Kita
menyesal bukan karena dosa, tapi karena tak masuk explore page. Agama menjadi
bagian dari konten, dan konten menjadi bagian dari ritual.
Tapi mungkin, seperti
halnya agama, algoritma hanya alat. Ia bisa menyesatkan, bisa pula
menyelamatkan. Tergantung siapa yang menggunakannya, dan untuk apa. Dalam dunia
yang serba hiper, barangkali yang dibutuhkan bukan menolak algoritma atau
meninggalkan agama, tapi mengingat bahwa ada yang lebih besar dari semua ini:
kesadaran akan keterbatasan. Sebuah keinsafan digital.
Dan bila suatu hari
nanti kita ditanya di akhirat—“Apa yang kamu sembah di dunia?”—mungkin beberapa
dari kita akan menjawab dengan jujur, “Algoritma, Tuhan. Aku hanya ingin
relevan.” Maka semoga ampunan-Nya luas, bahkan untuk dosa yang viral.