banner Agama dan Algoritma : Sama-sama Menjanjikan Keselamatan?

Agama dan Algoritma : Sama-sama Menjanjikan Keselamatan?



Suara Numbei News - Pada suatu zaman yang lebih percaya notifikasi ketimbang wahyu, manusia sujud bukan lagi karena seruan doa, tetapi karena suara lembut ponsel yang bilang: “Waktunya istirahat, 3 menit untuk meditasi.” Di tengah malam, ketika mimpi mestinya dihuni malaikat atau jin, yang hadir malah notifikasi diskon dan hasil rekomendasi Netflix. Dunia kita tidak lagi penuh kitab, tetapi penuh feed, thread, dan for you page—semacam kitab suci digital yang senantiasa diperbarui setiap detik oleh tangan-tangan maha algoritmis.

Kita hidup dalam era ketika agama dan algoritma sama-sama hadir sebagai entitas yang tak terlihat tapi maha menentukan. Agama menjanjikan surga, algoritma menjanjikan engagement. Keduanya mengatur hidup kita: kapan harus percaya, kapan harus klik. Dan anehnya, kita patuh. Sangat patuh. Sadar atau tidak. Bahkan lebih patuh pada algoritma daripada pada ayat. Bukankah lebih banyak orang bangun pagi bukan untuk salat subuh, tapi untuk memeriksa siapa yang menyukai unggahan semalam?

Dalam kamus Oxford, agama didefinisikan sebagai “a particular system of faith and worship”—sistem kepercayaan dan penyembahan. Sementara algoritma, menurut Cambridge Dictionary, adalah “a set of rules that must be followed when solving a particular problem”—serangkaian aturan yang harus diikuti ketika menyelesaikan suatu masalah tertentu. Jika direnungkan, keduanya adalah sistem yang memberi arahan, aturan, dan harapan akan hasil akhir yang lebih baik.

Agama menjanjikan keselamatan spiritual; algoritma menjanjikan efisiensi, viralitas, bahkan pengakuan. Kita hidup di antara dua sistem yang berbeda secara tujuan, tapi serupa secara struktur: tak kasatmata, tapi mendalam mengatur. Yang satu menyuruh manusia berserah. Yang satu menyuruh manusia konsisten. Dan keduanya—anehnya—sama-sama bikin orang merasa bersalah kalau tidak taat.

Algoritma tidak butuh jubah. Ia tidak punya nabi, tapi punya influencer. Ia tak mengancam dengan neraka, cukup dengan shadowban. Ia tidak mencatat amal baik dan buruk, tapi mencatat perilaku pengguna, durasi tayangan, lokasi terakhir, dan hobi tersembunyi yang tak kita akui ke diri sendiri. Dalam sistem keimanan baru ini, Tuhan digantikan oleh data center, dan doa-doa dikirim dalam bentuk komentar, likes, dan emoji sedih.

—percaya bahwa karena kita pernah mencari “cara membuat kopi Vietnam”, maka seumur hidup kita akan ditawari alat penyaring kopi dan video barista dengan janggut panjang.

Keduanya juga menuntut manusia menjalani ritual. Agama Islam misalnya mengajarkan salat lima waktu, puasa, zikir, misa, sabat, dan meditasi. Algoritma tak kalah rajin: bangun pagi harus membuka Instagram, pukul tiga wajib unggah story, malam hari evaluasi statistik. Scroll adalah tasbih digital, dan share adalah dakwah. Ada jam-jam unggahan tertentu yang perlu diperhatikan demi konten relevan. Jika dulu manusia takut kehilangan pahala, sekarang mereka takut kehilangan reach. Ibadah super modern berlangsung dalam bentuk konsistensi konten.

Ada paradoks dalam keduanya. Agama mengajarkan kebebasan memilih—masuk surga atau tidak, itu pilihan. Algoritma juga: ikuti akun ini atau tidak, klik atau tidak. Tapi pada akhirnya, seperti dalam agama, tak ada pilihan yang sungguh bebas. Karena keputusan sudah dibentuk, baik oleh doktrin maupun data. Kebebasan hanyalah ilusi yang tampil sebagai kebebasan, padahal sebenarnya bagian dari desain besar. Kita hanya mengisi formulir yang sudah ditentukan oleh Yang Berkehendak.

Lucunya, bahkan umat beragama kini memohon pertolongan pada algoritma. Ustaz tidak cukup hanya hafal tafsir, ia juga harus hafal waktu unggah terbaik di TikTok. Pendeta perlu thumbnail yang menarik. Biksu perlu konten viral tentang meditasi dan skincare. Semua butuh algoritma agar bisa menyebar firman. Mungkin, malaikat pun dilatih untuk menganalisis tren dan mengatur target pasar akhirat.

Agama dan algoritma sama-sama menjanjikan keselamatan, walau dengan bahasa berbeda. Agama bilang: sabar, ini ujian. Algoritma bilang: your post is under review. Agama memberi harapan di akhirat. Algoritma memberi harapan di dashboard analytics. Yang satu memeluk batin, yang satu mengurung perhatian. Tapi keduanya meminta satu hal yang sama: kesetiaan. Tanpa banyak tanya. Percayalah.

Di tengah absurditas ini, kita hidup sebagai makhluk setengah percaya, setengah bingung. Kita berdoa agar unggahan kita viral, dan berharap kehidupan kita mendapat like dari Yang Mahatinggi. Kita menakar keberhasilan spiritual dengan jumlah views. Kita menyesal bukan karena dosa, tapi karena tak masuk explore page. Agama menjadi bagian dari konten, dan konten menjadi bagian dari ritual.

Tapi mungkin, seperti halnya agama, algoritma hanya alat. Ia bisa menyesatkan, bisa pula menyelamatkan. Tergantung siapa yang menggunakannya, dan untuk apa. Dalam dunia yang serba hiper, barangkali yang dibutuhkan bukan menolak algoritma atau meninggalkan agama, tapi mengingat bahwa ada yang lebih besar dari semua ini: kesadaran akan keterbatasan. Sebuah keinsafan digital.

Dan bila suatu hari nanti kita ditanya di akhirat—“Apa yang kamu sembah di dunia?”—mungkin beberapa dari kita akan menjawab dengan jujur, “Algoritma, Tuhan. Aku hanya ingin relevan.” Maka semoga ampunan-Nya luas, bahkan untuk dosa yang viral.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama