Bukan hanya tingkat
ekonomi atau mata uang saja ternyata yang mengalami inflasi di Indonesia, namun
juga IPK mahasiswa di perguruan tinggi. Dimulai dari unggahan salahsatu akun di
X yang menyatakan bahwa akhir-akhir ini mendapatkan IPK cumlaude lebih mudah
dibanding tahun 1990an atau 2000an dimana mendapatkan IPK 3,00 saja harus
‘berdarah-darah’. Sepertinya unggahan tersebut benar adanya.
Ketika masa pandemi
COVID-19 pembelajaran tatap muka dipaksa beralih ke pembelajaran daring tanpa
ada kesiapan dari berbagai pihak termasuk dosen dan mahasiswa. Ditambah adanya
kurikulum darurat dan kurikulum Merdeka yang memberikan keleluasan dalam
belajar. Akibatnya, dosen bisa jadi memberikan kelonggaran dalam melakukan
nilai. Belum lagi perguruan tinggi yang berlomba-lomba meraih posisi tingkat
dunia. Tentu mereka dapat berusaha meningkatkan reputasi dan nama baik dengan
memberikan nilai lebih tinggi dari sebelumnya. Namun, apakah meningkatnya IPK
berarti otomatis meningkat juga kualitas pendidikan tinggi di Indonesia?
Jika merujuk pada Human Development Index 2024 yang dikeluarkan oleh United
Nation Development Program, Indonesia menduduki peringkat ke-112 secara global jauh
di bawah negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Singapura, Brunei
Darussalam, Thailand dan Vietnam. Rendahnya tingkat HDI Indonesia
mengindikasikan bahwa pendidikan nasional masih jauh dari kata ‘berkualitas’.
Angka-angka yang menjadi acuan keberhasilan mahasiswa, ternyata tidak
berkolerasi dengan meningkatnya kualitas pendidikan.
Akreditas unggul atau
internasional yang dikejar oleh perguruan tinggi mengukur IPK mahasiswa sebagai
salahsatu indikator penilaian. Tingkat kelulusan tinggi dan jumlah lulusan
cumlaude harus diraih untuk mendapatkan nilai tinggi dari asesor. Terlebih
kinerja dosen juga dinilai dari tingkat kepuasan mahasiswa yang lebih sering
menganggap dosen yang baik itu adalah dosen yang ‘ramah nilai’. Dosen yang
objektif dalam memberikan nilai malah dicap buruk dan bisa jadi diminta untuk
melonggarkan objektivitasnya demi nilai tinggi. Belum lagi tuntutan mahasiswa
peraih beasiswa yang mensyaratkan diraihnya IP 3,5 di setiap semesternya.
Akibatnya, IPK hanya sebatas nilai tanpa mencerminkan kemampuan mahasiswa
sebenarnya.
Ini tentu lumrah
terjadi di pendidikan kapitalis yang menuntut manusia untuk menjadikan
pekerjaan sebagai target pendidikan. Semakin tinggi pendidikan yang ditempuh,
pendapatan yang didapat harus semakin tinggi. Pendidikan tinggi akhirnya
menjadi ajang kompetisi meraih nilai dengan menghalalkan segala cara tanpa ada
esensi hakikat pendidikan yakni mencerdaskan individu itu sendiri.