![]() |
TENUN - Serah Nuban (20), saat menenun di kamar kos berukuran 3 meter persegi |
Suara itu berasal dari
kamar yang dihuni Serah Nuban (20), mahasiswi semester
tiga Program Studi Pendidikan Seni dan Keagamaan IAKN Kupang.
Alih-alih istirahat
usai beraktivitas di kampus, Serah justru memilih menenun.
“Kalau tidak ada tugas
kampus, saya biasanya menenun sampai tengah malam, pukul 23.00 Wita,” ujarnya
sambil tersenyum tipis saat ditemui di tempat kosnya, Senin (17/11/2025)
petang, dikutip SURYA.CO.ID dari Kompas.com.
Dia bercerita,
keterampilan menenun itu warisan ibunya, Orpa Tiumlafu.
Perempuan asal Desa
Tuataum, Kecamatan Toianas, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), itu mewarisi
keterampilan menenun dari ibunya, Orpa Tiumlafu.
Bagi Serah, ibu
merupakan maestro tenun terbaik di desanya, tepatnya di Desa Tuataum,
Kecamatan Toianas, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Sejak duduk di bangku
sekolah dasar (SD), Serah selalu mengamati gerakan tangan ibunya yang sabar dan
terampil.
Lambat laun, ia belajar
menenun, meski baru menguasai sekitar 30 persen dari teknik sang ibu.
Kini, hasil tenunannya
bukan sekadar kain.
Buna Laba-laba, Buna
Sahabe’o Naek, Buna Lan Mese, dan Buna Atalae Naek adalah sebagian dari mahakarya
yang lahir dari jemari Serah.
Setiap kain dijual
antara Rp 2 juta hingga Rp 5 juta melalui Facebook. Pembelinya datang dari
berbagai penjuru Indonesia, bahkan luar negeri.
Uang itu bukan untuk
kesenangan, tapi untuk membiayai kuliah, kos, dan kebutuhan sehari-hari.
Dari menenun ini, Serah
pun belajar sabar karena satu kain membutuhkan waktu dua bulan.
Tak jarang, Serah
merasa kesulitan ketika menenun. Ia bahkan sampai melakukan panggilan telepon
video (video call) dengan ibunya untuk meminta arahan.
Di kampung halaman,
setiap libur adalah kesempatan untuk memperdalam ilmu.
Ibunya mengajari dengan
sabar, menuntunnya memahami teknik sulit, seperti memutar benang disebut puet
abas dan menenun motif rumit, termasuk motif burung garuda.
“Mama selalu bilang,
kerapian dan benang yang tidak luntur adalah kunci agar kain disukai dan laku
dijual,” kata Serah.
Meski tangan dan matanya
lelah, Serah tetap gigih.
Kadang ia menenun
sambil mengikuti kuliah daring, menggabungkan pendidikan dan tradisi.
Bahkan, karya-karyanya
dipamerkan dalam fashion show di kampus, membuktikan bahwa budaya bisa hidup
bersamaan dengan modernitas.
Serah punya impian
besar menjadi dosen tenun ikat dan menguasai sepenuhnya ilmu yang diwariskan
ibunya.
“Target saya, selesai
wisuda, sudah bisa menenun sebaik Mama,” katanya.
Ia ingin menjahit masa
depan dengan benang yang sama yang menenun warisan budaya dan pengorbanan
keluarga.
Di setiap kain yang
dihasilkan Serah, ada lebih dari motif dan warna. Ada cerita tentang ketekunan,
cinta, dan pengorbanan.
Di tangan mahasiswi muda
ini, benang bukan sekadar bahan, tapi jembatan yang menenun masa depan, antara
mimpi, pendidikan, dan budaya yang hidup.
===
