Salah satu suara
lantang datang dari Generasi Penguasa Ulayat di Tana Timor, Matheus Mamun Sare.
Ia menilai kebijakan
tersebut sebagai bentuk perampasan hak adat yang dilakukan secara terstruktur,
sistematis, dan masif.
Menurut Mamun Sare,
pernyataan tersebut merupakan bentuk penyesatan hukum yang merugikan masyarakat
adat Nusantara, terutama para penguasa ulayat dan penguasa tanah yang memiliki
hak turun-temurun dari leluhur.
Ia menegaskan, tidak
ada satu pun ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan tanah
ulayat atau tanah di bumi Nusantara ini sepenuhnya menjadi milik negara.
“Jika demikian,
selayaknya rakyat Indonesia, terutama masyarakat adat Nusantara, tidak perlu
memberikan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, maupun Hak Pakai kepada pihak
lain,” ujar Mamun Sare dalam pernyataan tertulis yang diterima Korantimor.com,
Senin (14/7/2025).
Ia menilai, kebijakan
pengambilalihan tanah terlantar justru menjadi bentuk perampokan hak masyarakat
adat yang dilegalkan melalui peraturan perundang-undangan, yang menurutnya
cacat substansi dan hanya melanggengkan kepentingan segelintir elit penguasa.
Selain itu, Mamun Sare
juga menuding program sertifikat tanah yang dijalankan pemerintah selama ini hanyalah
dalih untuk menarik pajak dari rakyat.
Menurutnya, hasil pajak
tersebut justru kerap disalahgunakan oleh oknum penguasa bersama konglomerat
dengan dalih pembangunan.
“Kalau tanah itu
dikembalikan kepada generasi penguasa ulayat, saya setuju. Tapi jika diambil
alih oleh negara, maka demi amanat adat leluhur secara turun-temurun, kita
wajib melawan,” tegasnya.
Mamun Sare menilai
bahwa sejak awal konsep negara Indonesia telah keliru karena lebih banyak
meniru sistem penjajahan dan budaya asing, yang justru bertentangan dengan
hukum adat Nusantara. Ia menduga para penguasa di Indonesia bermental penjajah
dan berjiwa perampok.
“Selama ini para
penguasa ulayat memilih diam demi menjaga amanat adat. Namun diamnya generasi
penguasa ulayat dianggap negara sebagai tanda sudah punah. Ini kesalahan
fatal,” pungkasnya.
Sebagai penutup, Mamun
Sare mengajak seluruh generasi penguasa ulayat dan masyarakat adat di seluruh
Nusantara untuk bersatu mempertahankan hak-hak tanah warisan leluhur.
Pernyataan ini
disampaikan langsung oleh Mamun Sare, yang juga berprofesi sebagai advokat, di
Tana Adonara, Tana Timor.
Sebelumnya, Menteri
ATR/BPN Nusron Wahid menyatakan pemerintah akan mengambil alih lahan yang tidak
dimanfaatkan selama dua tahun berturut-turut.
Kebijakan ini berlaku
bagi tanah yang sudah bersertifikat, tetapi tidak digunakan untuk aktivitas
ekonomi atau pembangunan apa pun.
"Terhadap yang
sudah terpetakan dan bersertifikat, manakala sejak disertifikatkan dalam waktu
dua tahun tidak ada aktivitas ekonomi maupun pembangunan, maka pemerintah wajib
memberikan surat peringatan," kata Nusron dalam acara Pengukuhan dan
Rakernas I PB IKA-PMII Periode 2025–2030 di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan,
Minggu (13/7), dikutip dari CNN Indonesia.
Ia menjelaskan, proses
peringatan dilakukan bertahap mulai dari pemberitahuan awal, kemudian surat
peringatan pertama, kedua, hingga ketiga. Jika dalam kurun waktu total 587 hari
sejak surat pertama tidak ada aktivitas, tanah tersebut akan ditetapkan sebagai
objek land reform.
Land reform atau
reforma agraria sendiri adalah kebijakan pemerintah untuk mendistribusikan
kembali tanah kepada masyarakat yang tidak memiliki atau kekurangan lahan.
"Langkah pertama
adalah BPN mengirim surat. Tiga bulan dikasih kesempatan. Masih tidak
ada aktivitas, dikirim surat peringatan pertama. Tiga bulan lagi,
surat peringatan kedua. Tiga bulan lagi, surat peringatan ketiga. Setelah itu
diberikan kesempatan enam bulan untuk berunding. Kalau masih tidak ada
aktivitas, maka ditetapkan sebagai tanah terlantar," ujarnya.
Proses ini secara
keseluruhan memakan waktu dua tahun ditambah 587 hari, atau hampir empat tahun,
sebelum akhirnya tanah resmi dikategorikan sebagai terlantar.
Nusron menambahkan,
dari total 55,9 juta hektare lahan bersertifikat di Indonesia, saat ini terdapat
sekitar 1,4 juta hektare yang berstatus tanah terlantar dan menjadi bagian dari
program reforma agraria.
Kebijakan ini
diberlakukan untuk seluruh bentuk hak atas tanah, mulai dari Hak Guna Usaha
(HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), hingga hak pakai, tanpa pengecualian.
"Jadi misalnya
bapak-ibu sekalian punya HGU atau HGB, sudah dua tahun tidak diapa-apakan, maka
pemerintah bisa menetapkan itu sebagai tanah terlantar," tegas Nusron. ***
korantimor.com