Yang menyedihkan,
penyegelan itu bukan datang dari musuh pendidikan, tetapi dari orang-orang yang
selama ini hidup di lingkaran pendidikan itu sendiri — guru, pemilik lahan,
bahkan pekerja proyek sekolah.
Jejak Kasus: Dari Fahiluka, Kateri, hingga
Forekmodok
Kasus pertama mencuat
dari SMP Negeri Fahiluka. Seorang guru honorer yang juga pemilik lahan menutup
sekolah karena kecewa tidak lolos seleksi PPPK, padahal telah mengabdi sejak
2012. Ia merasa pemerintah daerah tidak adil dan tidak menghargai pengorbanan
panjangnya.
Tak lama berselang,
kasus serupa muncul di SMP Negeri Kateri. Pemilik lahan menyegel sekolah karena
kesepakatan awal dengan pihak sekolah tidak dipenuhi. Tanah yang dulu dengan
sukarela diserahkan untuk pendidikan, kini menjadi alat protes karena janji
ganti rugi atau perjanjian tertulis tidak pernah dituntaskan.
Sementara di SMP Negeri
Forekmodok, Kecamatan Weliman, situasinya belum sampai tahap penyegelan — namun
sekolah ini menjadi cermin kewaspadaan. Sekolah ini baru berdiri, dengan status
lahan dan fasilitas yang masih terbatas. Kasus-kasus di Fahiluka dan Kateri
adalah cermin ancaman yang bisa saja menular ke Forekmodok bila tata kelola
aset, transparansi seleksi guru, dan keadilan dalam pengelolaan sekolah tidak
diperkuat sejak dini.
Lalu ada pula kasus SLB
Negeri Loofoun Bone, yang disegel oleh pekerja proyek karena pembayaran belum
dilunasi. Dalam semua kisah ini, korban sejatinya sama: anak-anak.
Pendidikan yang Tersandera
Fenomena penyegelan
sekolah di Malaka menunjukkan satu hal yang jelas: pendidikan sedang disandera
oleh kepentingan orang dewasa.
Ketika komunikasi antara pemerintah, guru, dan masyarakat gagal, yang
dikorbankan bukan para pengambil kebijakan, tetapi peserta didik.
Bayangkan, anak-anak
yang datang pagi-pagi ke sekolah hanya untuk mendapati gerbang dikunci, kelas
kosong, dan papan bertuliskan “disegel.” Dalam sekejap, semangat belajar
berubah menjadi kebingungan dan rasa takut.
Padahal di wilayah
seperti Malaka, sekolah bukan sekadar tempat belajar — ia adalah simbol
harapan. Di tempat di mana listrik tak selalu menyala dan jaringan internet
sering hilang, satu-satunya ruang yang menjanjikan masa depan adalah ruang
kelas. Maka ketika ruang itu ditutup, sesungguhnya masa depan pun ikut dikunci.
Akar Masalah: Antara Tanah, Status, dan Keadilan
Masalah di Malaka ini
bukan insiden terpisah, tetapi cermin sistemik dari tiga persoalan besar.
Pertama,
konflik lahan pendidikan.
Banyak sekolah di
Malaka dibangun di atas tanah pribadi tanpa sertifikat atau perjanjian hukum
yang kuat. Niat baik masyarakat dulu — yang menghibahkan tanah demi sekolah —
kini berubah jadi sengketa karena janji tidak ditepati atau administrasi tak
pernah beres. SMP Kateri adalah contoh nyata dari lemahnya tata kelola aset
pendidikan.
Kedua,
ketidakadilan terhadap guru honorer.
Guru honorer di daerah
seperti Malaka adalah pejuang sejati yang bertahan dalam keterbatasan. Namun,
ketika sistem seleksi PPPK yang dianggap tidak transparan dan tak menghargai
masa pengabdian mereka diberlakukan, rasa keadilan itu runtuh. Maka muncul
reaksi ekstrem seperti di SMP Fahiluka — bukan karena guru tak cinta anak
didiknya, tetapi karena sistem membuat mereka merasa tak dihargai.
Ketiga,
lemahnya tata kelola dan tanggung jawab pemerintah.
Dari kasus SLB Loofoun
Bone hingga Forekmodok, terlihat bahwa pemerintah daerah sering bersikap
reaktif, bukan preventif. Mereka turun tangan setelah sekolah disegel, bukan
sebelum. Tidak ada peta aset pendidikan yang jelas, tidak ada mekanisme mediasi
cepat, dan tidak ada perlindungan hukum yang kuat bagi lahan sekolah.
Hak Belajar yang Terampas
Penyegelan sekolah
bukan sekadar masalah administratif — itu adalah pelanggaran hak anak.
Pasal 31 UUD 1945 menjamin hak pendidikan bagi setiap warga negara. Tapi di
Malaka, hak itu terhenti di depan gerbang yang digembok.
Anak-anak di wilayah
terpencil tak punya alternatif. Tak ada sekolah pengganti, tak ada jaringan
daring, tak ada guru pengganti. Maka, satu penyegelan saja berarti hilangnya
minggu, bahkan bulan, masa belajar. Di balik gembok itu, mimpi-mimpi kecil ikut
terkunci: menjadi guru, dokter, atau polisi tinggal cerita kosong.
Sebuah Tanggung Jawab Bersama
Masalah penyegelan
sekolah tidak bisa diselesaikan dengan hanya membuka gembok. Ia harus diakhiri
dengan menata ulang sistem pendidikan daerah secara menyeluruh.
Legalitas aset sekolah
harus diperjelas. Pemerintah daerah perlu memetakan semua lahan sekolah — siapa
pemiliknya, apa statusnya, dan bagaimana keamanannya.
Guru honorer harus
diperlakukan dengan adil dan manusiawi. Mereka bukan beban, tetapi tulang
punggung pendidikan di daerah. Sistem PPPK perlu lebih transparan, komunikatif,
dan berkeadilan.
Bangun mekanisme
pencegahan konflik. Sebelum konflik membesar, harus ada forum mediasi antara
pemda, kepala sekolah, dan masyarakat.
Perlindungan terhadap
hak belajar siswa harus absolut. Jika sekolah disegel, pemerintah wajib segera
menyediakan alternatif ruang belajar agar proses pendidikan tidak terhenti.
Penutup: Pintu yang Tak Boleh Lagi Tertutup
Sekolah seharusnya
menjadi tempat paling suci bagi anak-anak — ruang di mana pengetahuan dan
harapan tumbuh. Tapi di Malaka, ruang itu sering kali berubah menjadi medan
tarik-menarik kepentingan.
Kasus di SMP Fahiluka,
SMP Kateri, dan potensi yang mengintai di SMP Forekmodok adalah alarm keras.
Bila tak ada perubahan serius, penyegelan akan terus berulang dengan wajah
berbeda.
Sudah saatnya semua
pihak — pemerintah, guru, pemilik lahan, dan masyarakat — menyadari bahwa sekolah
bukan tempat untuk berjuang mencari keadilan pribadi, tetapi tempat menanam
masa depan bersama.
Sebab, ketika sekolah
disegel, yang ikut terkunci bukan hanya bangunan, tapi juga masa depan
anak-anak Malaka.
