"Saya cuma
kritis" begitu kata si orang yang sok berpikir kritis. Tapi pikiran dan
moralnya justru skeptis. Ragu dan tidak percaya pada pikirannya sendiri.
Giliran argumen orang lain yang tidak sesuai jalan pikirannya, langsung ditolak
mentah-mentah. Dalihnya berpikir kritis, tapi nyatanya "berpikir
defensif" yang dibungkus logika.
Banyak orang lupa,
dalam konteks literasi, berpikir kritis itu bukan cuma pintar debat, tapi sadar
diri saat berpikir. Bukan hanya mempertanyakan tapi gagal menerima jawaban.
Bukan sekadar eksekusi pikiran yang di mau tanpa bisa menerima pikiran orang
lain. Dalam Critical Thinking Framework karya Paul dan Elder, jelas disebut
"kritis itu proses, bukan posisi".
Literasi patut
meluruskan. Bahwa berpikir kritis "tidak sama" dengan harus skeptis
ke semua hal. Tidak percaya itu baik bila tujuannya mencapai kebenaran. Skeptis
itu penting tapi bukan skeptis yang terus-terusan. Bila skeptis melulu dan
untuk segala hal itu namanya "pikiran beracun" - toxic thinking.
Bayangkan, bila semua hal dicurigai tanpa batas, akhirnya tidak ada yang bisa
dipercaya. Jangan realitas objektif berdasar data dan fakta pun bisa dianggap
konspirasi atau pemufakatan jahat.
Sangat salah, bila ada
yang mengaku berpikir kritis justru kerjanya "suka membantah". Banyak
orang mengira, semakin sering menyanggah, maka semakin kritis. Salah besar, itu
mah bisa jadi cuma tidak suka kalah argumen. Maunya argumennya sendiri yang
diterima dan merasa paling benar sendiri, aneh. Jadi, bila ada orang model
begitu, sudah pasti mereka tergolong orang yang sok berpikir kritis. Terjebak
pada subjektivitas yang merasa kritis tapi sebenarnya bias.
Bila sok berpikir
kritis
Jadi harusnya begini,
berpikir kritis itu dimulai dengan mendengarkan dan memahami, bukan langsung
menolak. Bukan pula mempertanyakan tanpa mau cari tahu fakta sebenarnya. Sebab,
membantah atau menyanggah tanpa proses berpikir itu namanya reaksi, bukan refleksi.
Skeptis yang berlebihan dan tanpa dasar justru akan menghambat pemahaman. Jadi
jelas, kritis itu tidak sama dengan sinis.
Filosof AS, Susan
Neiman dalam "Moral Clarity" menyebut berpikir kritis yang sehat itu
justru berakar pada etika. Karena kritis tapi tanpa etika sama dengan
manipulatif. Berpikir kritis bukan soal "mengalahkan argumen orang".
Tapi soal menguji dan mengembangkan pikiran sendiri secara etis namun tetap
objektif.
Maka, jangan buru-buru
merasa sudah kritis kalau belum mau diuji, dibantah, dan diubah sudut
pandangnya. Jangan pula sok berpikir kritis bila pikirannya selalu skeptis dan
maunya membantah. Jadilah literat, untuk selalu menerima realitas. Bahwa
berpikir kritis itu landasannya logika dan etika, bukan tendensi personal dan
pikiran yang subjektif.
Jadi, apakah kita sudah
berpikir kritis? tentu, hanya kita yang bisa menjawabnya.