Hal ini sekaligus mengundang spekulasi tentang Pola
Improvisasi Tuhan (God’s Lick atau God’s
Jazz Riff). Ini adalah mengambil dari metafora musik Jazz untuk menunjukkan
pada wajah atau sifat dari suatu Prinsip Tertinggi yang mungkin tersembunyi di
balik tirai realitas. Esai ini merangkai keindahan narasi Tyson, pergeseran
filosofis Hawking di ujung hayat, dan argumen kuantitatif Penrose untuk
memetakan medan ketakjuban tempat sains dan metafisika saling berbisik.
Tyson mengubah fakta menjadi puisi yang memantik
kekaguman religius. Ia tak sekadar menyampaikan, ia menyanyikan keagungan
kosmos. “Kita secara harfiah terbuat dari debu bintang. Nitrogen dalam DNA
kita, kalsium dalam gigi kita, besi dalam darah kita, karbon dalam pai apel
kita—semuanya dibuat di interior bintang-bintang yang runtuh. Kita adalah cara
alam semesta mengenali dirinya sendiri.”
Keindahan narasinya terletak pada perpaduan fakta
keras dengan keharuan eksistensial. Namun, Tyson adalah agnostik yang jujur. Ia
menempatkan kita di tepi jurang misteri, menari-nari dengan pertanyaan yang tak
terjawab. “Sains itu bagus dalam 'bagaimana'. Tapi begitu Anda sampai pada
'mengapa', Anda berada di luar ranahnya.” Dan, “Jika Tuhan adalah jawaban, lalu
apa pertanyaannya?” Sikapnya bukan penolakan, melainkan undangan untuk
mengagumi ketidaktahuan. Di ruang inilah Pola Improvisasi Tuhan pertama kali
berkedip (bukan sebagai entitas yang didefinisikan, melainkan sebagai sensasi
kehadiran Misteri yang tak terkatakan dalam keindahan dan kompleksitas yang tak
terselesaikan). Tuhan (atau Ketiadaan) bermain mata lewat rasa kagum yang
ditimbulkan penjelasannya.
Stephen Hawking, sang penggenggam lubang hitam,
awalnya meyakini bahwa “Theory of
Everything” (TOE) --hukum tunggal penjelas seluruh realitas-- ada dalam
jangkauan. Namun, di penghujung hidupnya, seperti yang ia utarakan dalam buku The
Grand Design dan beberapa wawancara, terjadi pergeseran filosofis yang
mendalam.
Hawking menyadari implikasi Teorema Ketidaklengkapan
Gödel. Teorema Kurt Gödel membuktikan bahwa dalam sistem matematika yang cukup
kompleks, selalu ada pernyataan benar yang tidak dapat dibuktikan di dalam
sistem itu sendiri. Kesempurnaan logis adalah ilusi. Hawking pun menarik
kesimpulan radikal bagi fisika teoretis: “Karena ada hukum seperti gravitasi,
alam semesta bisa dan akan menciptakan dirinya sendiri dari ketiadaan...
Penciptaan spontan adalah alasan mengapa ada ‘sesuatu’ dan bukannya ketiadaan,
mengapa alam semesta ada, mengapa kita ada.”
Namun di balik pernyataan ini, tersirat pengakuan
implisit: jika matematika—bahasa fundamental fisika—pada dasarnya tidak lengkap,
maka mustahil merumuskan TOE yang benar-benar lengkap dan konsisten secara
mandiri. Upaya manusia memahami segenap realitas secara total adalah mustahil.
Keputusan Hawking untuk tidak lagi mencari TOE bukanlah kekalahan, tetapi
pengakuan atas batas fundamental akal manusia. Pola Improvisasi Tuhan di sini
muncul sebagai batas yang tak terlampaui – dinding logika yang menghalangi kita
dari pengetahuan mutlak, meninggalkan ruang gelap tempat spekulasi tentang Yang
Transenden mungkin bersemayam.
Sir Roger Penrose, sang raja geometri dan kesadaran,
membawa argumen paling telak untuk menggugat kemungkinan “kebetulan” kosmik: fine-tuning
kuantitatif. Ia menunjukkan bahwa kondisi awal alam semesta diatur dengan
presisi matematis yang begitu ekstrem, sehingga kemunculan kehidupan mustahil
terjadi secara acak.
Dalam karyanya The Emperor’s New Mind dan The Road
to Reality, Penrose menghitung probabilitas keteraturan alam semesta kita.
Pertama, entropi awal alam semesta berada pada titik yang sangat rendah—jauh
lebih teratur daripada keadaan rata-rata yang mungkin terjadi. Penrose
memperkirakan probabilitas entropi awal serendah itu adalah 1 banding
10^10^123. Ini angka yang begitu kecil, hingga hampir tak terbayangkan, bahkan
jika dibandingkan dengan jumlah seluruh partikel dasar di alam semesta (sekitar
10^80).
Kedua, presisi konstanta fisika. Sedikit perubahan
pada nilai konstanta seperti gravitasi atau kekuatan nuklir akan membuat alam
semesta tidak stabil, atau mustahil untuk membentuk bintang dan kehidupan.
Misalnya, jika kekuatan nuklir kuat berbeda 0.5%, karbon tidak akan terbentuk
di bintang. Jika energi vakum sedikit lebih besar, galaksi takkan terbentuk.
Bagi Penrose, angka-angka ini bukan kebetulan. Mereka adalah jejak desain atau
prinsip terdalam yang belum terpahami.
“Probabilitas yang saya hitung... menunjukkan bahwa
alam semesta yang dapat dihuni seperti kita ini bukanlah hasil kebetulan buta.
Pasti ada prinsip pemandu yang sangat dalam dan indah yang bekerja.” Pola
Improvisasi Tuhan versi Penrose adalah sosok arsitek matematis – suatu
Kecerdasan atau Prinsip Tertinggi yang menetapkan hukum dengan presisi nan
ajaib demi memungkinkan kompleksitas dan kehidupan. Argumen kuantitatifnya
memberi bobot ilmiah pada intuisi teleologis.
Trio Tyson, Hawking, dan Penrose menawarkan tiga
perspektif yang saling melengkapi tentang Pola Improvisasi Tuhan.
Tyson menunjukkan pola itu sebagai sensasi kehadiran
dalam keindahan, kompleksitas, dan ruang ketidaktahuan kosmos. Tuhan yang
bermain dalam rasa takjub.
Hawking memperlihatkan pola itu sebagai batas logika
dan kemampuan manusia, sebuah dinding epistemologis yang mengisyaratkan adanya
sesuatu di balik sana, walau kita tak bisa menjangkaunya.
Penrose menyibak pola itu sebagai desain matematis,
realitas yang begitu presisi sehingga tak masuk akal jika disebut sekadar
kebetulan. Mereka tidak membuktikan Tuhan dalam pengertian teistik tradisional.
Tyson adalah agnostik, Hawking menyebut diri ateis,
Penrose seorang Platonis spekulatif. Namun bersama-sama, mereka menunjukkan
bahwa pencarian ilmiah puncak justru membuka pintu pada misteri terdalam yang
menuntut lebih dari sekadar penjelasan fisika-materialis.
Pola Improvisasi Tuhan yang terungkap adalah
metafora untuk Prinsip Tertinggi, Kecerdasan Kosmis, atau Realitas Matematis
Abadi yang menjadi sumber dan batas dari segala yang ada—wajah yang samar-samar
terlihat dalam keagungan kosmos, batas pemikiran kita, dan presisi angka yang
memusingkan.
Di puncak sains, kita bukan hanya menemukan jawaban,
tetapi keheningan penuh tanya yang memanggil kita untuk merenungkan Sang Pola
di balik segala pola. Ke mana saja kalian menghadap, di situlah Wajah Allah.