Enam uskup dari
Provinsi Gerejawi Ende telah menyatakan penolakan tegas terhadap proyek
geothermal ini dalam Surat Gembala Prapaskah 2025. Mereka menyoroti risiko
kerusakan lingkungan, potensi hilangnya sumber air permukaan, dan
ketidaksesuaian proyek dengan topografi wilayah yang rawan. Ini bukan sekadar
sikap emosional atau anti-pembangunan, melainkan refleksi dari kepedulian
ekologis dan spiritual yang dalam.
Di tengah situasi ini,
muncul pertanyaan serius: apakah Gubernur Melki akan memilih pendekatan
teknokratis semata, atau membuka ruang bagi pendekatan ekologis dan sosial yang
lebih utuh?
Sejarah mencatat,
sejumlah gubernur di Indonesia berani mengambil sikap sebaliknya demi
menyelamatkan ruang hidup rakyatnya. Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan
menolak perpanjangan izin tambang emas di wilayah adat Moi setelah adanya
penolakan dari masyarakat adat dan pemimpin agama. Gubernur Kalimantan Tengah
juga pernah menghentikan tambang batu bara di Barito Timur demi merespons
kerusakan lingkungan yang tak lagi terkendali.
Mereka bukan
anti-investasi, tapi percaya bahwa investasi sejati adalah yang berkelanjutan
dan berpihak pada rakyat. Hukum lingkungan kita, termasuk UU No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, jelas mengatur asas
kehati-hatian (precautionary principle) dan partisipasi masyarakat sebagai
syarat utama dalam pengambilan keputusan. Mengabaikan aspirasi publik, terlebih
suara Gereja yang merepresentasikan umat, sama dengan mengabaikan prinsip
keadilan ekologis.
Di saat dunia bergerak
menuju transisi energi, para pemimpin dituntut lebih dari sekadar membangun,
mereka ditantang untuk membangun dengan benar. Jika geothermal dianggap energi
bersih, maka prosesnya pun harus bersih, bebas dari konflik sosial, bebas
dari pemaksaan, dan berbasis data ilmiah yang transparan.
Pulau Flores bukan
hanya tanah, tetapi tanah yang diberkati oleh iman, alam, dan sejarah.
Merusaknya atas nama “pembangunan” tanpa dialog yang jujur dan utuh justru akan
menjadi bumerang politik dan moral.
Gubernur Melki masih punya pilihan, menjadi teknokrat yang kaku, atau negarawan yang bijaksana. Bukan dengan melawan suara Gereja, tapi dengan mengajak Gereja dan masyarakat berjalan bersama dalam visi pembangunan yang adil, lestari, dan berkeadaban.*** askara.co