banner Perang Dunia dan Mimpi Distopia: Politik Harapan di Era Ketakutan Zaman Now

Perang Dunia dan Mimpi Distopia: Politik Harapan di Era Ketakutan Zaman Now



Suara Numbei News - Ketika dunia sedang gelisah di tengah meningkatnya konflik bersenjata antara Iran dan Israel, pertanyaan tentang masa depan kemanusiaan kembali menggema. Rudal, ancaman nuklir, dan retorika permusuhan yang kian meruncing, kini tak lagi menjadi sekadar isu geopolitik, melainkan ancaman nyata yang membentuk ulang lanskap harapan kolektif umat manusia. Apakah kita masih bisa berharap di tengah retorika kehancuran? Atau haruskah kita menyerah pada gelombang pesimisme yang diproduksi oleh elite kekuasaan dunia?

Politik dan harapan merupakan dua buah kata yang kerap kali dipertentangkan. Seolah, dalam politik, harapan akan dikoyak-koyakkan begitu saja oleh para aktor dan narasi ceritanya. Politik bukanlah tempat yang tepat untuk berharap. Karena politik didesain hanya untuk para ahli siasat, yang bermain catur secara terukur, dengan bersiap diri mengorbankan apa saja yang menjadi bidaknya—jika diperlukan, untuk mencapai tujuan-tujuan pragmatisnya. Politik adalah tempat bagi para realis, yang berkumpul, dan menyusun narasi bagi masa depan yang destopik. Sebagaimana politik adalah rumah besar dimana aktor-aktor kuat seperti Trump, Putin, Jinping, hingga Netanyahu, mengkonstruksi jalan cerita dunia yang semakin ke sini, semakin dipenuhi pesimisme yang menular. Padahal, jika kita mencoba untuk lebih menyelam ke dalam pemikiran para filsuf politik modern, justru kedua kata ini, politik dan harapan, adalah dua keping mata uang yang tak terpisahkan. Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Dan, secara historis, politik, adalah rumah bagi lahirnya segala harapan yang luhur tentang masa depan yang optimistik.

Unger dan Politik Harapan

Di titik inilah pemikiran Roberto Unger memberi cahaya. Roberto Mangabeira Unger seorang filsuf Brasil dan teoritikus institusional, secara langsung menghubungkan politik dengan pembebasan imajinasi kolektif dan harapan institusional. Dalam The Left Alternative dan The Self Awakened: Pragmatism Unbound, ia berargumen bahwa politik seharusnya membuka ruang bagi reka cipta sosial dan kelembagaan, sebagai ekspresi dari harapan terhadap kehidupan yang lebih bermakna.

Unger memandang politik bukan sekadar ruang negosiasi kekuasaan atau kompromi pragmatis, tetapi sebagai medan emansipasi yang mendalam, tempat manusia dapat merekayasa ulang institusi, membebaskan imajinasi sosial, dan mewujudkan harapan akan kehidupan bersama yang lebih bermakna. Dalam karyanya, Unger menolak premis dasar liberalisme institusional yang membekukan struktur politik sebagai sesuatu yang final atau tak terubah. Ia menyatakan bahwa politik harus menjadi laboratorium harapan, di mana individu dan kolektif diberi ruang untuk menguji kemungkinan-kemungkinan baru tentang bagaimana hidup, bekerja, dan memerintah. Harapan, bagi Unger, bukanlah ilusi sentimental, tetapi kekuatan transformatif yang rasional—kekuatan yang harus diartikulasikan melalui tindakan politik dan perombakan struktural yang berani.

Mimpi Distopia

Namun dunia hari ini tampaknya sedang bergerak menjauh dari laboratorium harapan itu. Dalam konteks dunia kontemporer yang kian bergejolak—saat bayang-bayang Perang Dunia Ketiga menggantung di udara dan konflik bersenjata antara Iran dan Israel memuncak dalam bentuk saling kirim rudal—pemikiran Unger tentang politik dan harapan menawarkan kontra-narasi yang mendesak dan provokatif. Ketika politik global kini cenderung menyeret warga negara ke dalam logika permusuhan yang ditentukan oleh elite militer dan kepentingan geopolitik, Unger mengingatkan bahwa politik seharusnya menjadi alat emansipasi kolektif, bukan mesin reproduksi ketakutan, kemarahan, dan fatalisme. Politik hari ini, sebagaimana diperankan oleh tokoh-tokoh seperti Ayatollah Khamenei dan Benjamin Netanyahu, justru menggambarkan distorsi makna politik itu sendiri: dari ruang transformatif menjadi teater distopia, di mana imajinasi tentang masa depan dibajak oleh skenario kehancuran.

Namun justru dalam situasi gelap inilah pemikiran Unger paling bernilai. Ujar Unger, Ia menolak tunduk pada realisme pesimistis dan menyerukan bahwa, bahkan dalam reruntuhan institusi dan keputusasaan geopolitik, kita masih memiliki potensi untuk merekayasa ulang dunia. Tapi itu hanya mungkin jika rakyat diperlengkapi dengan alat untuk bertindak: pendidikan politik kritis, sistem demokrasi yang terbuka, dan keberanian untuk membayangkan kehidupan bersama yang tak tunduk pada logika dendam sejarah. Dalam pengertian inilah, politik—bagi Unger—harus direbut kembali sebagai rumah harapan, bukan pabrik distopia. Jika politik hari ini memancarkan kemarahan dan ketidakberdayaan, maka tantangan terbesar generasi kita bukan sekadar menolak perang, tetapi membangun kembali kemungkinan politik yang tidak mematikan masa depan.

Jika Unger berbicara tentang harapan sebagai proyek institusional dan kolektif, maka filsuf Jerman Ernst Bloch melihatnya dari sisi eksistensial yang lebih dalam. Dalam Das Prinzip Hoffnung (The Principle of Hope), Ernst Bloch membingkai kehidupan eksistensial manusia bukan sebagai keberadaan yang statis atau tertutup, melainkan sebagai proyek terbuka yang selalu mengarah ke masa depan. Bagi Bloch, manusia adalah makhluk yang "belum selesai" (noch-nicht), yang eksistensinya ditandai oleh ketidakterpenuhan dan kekurangan—tetapi justru karena itulah, manusia mampu berharap, membayangkan, dan memproyeksikan dunia yang lebih baik. Harapan bukanlah ilusi pasif, melainkan prinsip aktif dan ontologis yang menggerakkan sejarah, seni, agama, dan praksis politik. Di dalam setiap mitos, mimpi, dan gerakan pembebasan, terdapat das Noch-Nicht-Bewusste—dimensi belum-sadar dari manusia yang membawa energi utopis untuk menembus kenyataan dan menciptakan masa depan yang lebih manusiawi.

Melalui kerangka ini, Bloch merehabilitasi harapan sebagai inti dari eksistensi manusia yang tidak tunduk pada keterbatasan empiris atau trauma historis, tetapi justru tumbuh dari keduanya. Dalam hidup yang digerakkan oleh harapan, manusia bukan hanya menjadi subjek dari kondisi sosialnya, melainkan juga agen transformatif yang mampu membentuk ulang dunia. Eksistensi, dengan demikian, bukan hanya "ada", tetapi "menuju"—menuju bentuk kehidupan yang belum terwujud, namun terus diperjuangkan. Inilah makna eksistensial yang mendalam dalam filsafat harapan Bloch: hidup adalah proses menjadi, dan menjadi berarti berharap secara radikal.

Dalam perspektif Ernst Bloch, warga negara harus terus berharap dan menyalakan lilin di tengah kegelapan justru karena harapan adalah satu-satunya kekuatan manusiawi yang tidak bisa sepenuhnya dikendalikan oleh negara, militer, atau logika perang itu sendiri. Ketika negara-negara memproduksi ketakutan, membentuk warga sebagai korban takdir geopolitik, dan menyempitkan imajinasi pada “tidak ada alternatif” selain konflik, Bloch mengajak kita untuk melihat harapan bukan sebagai pelarian, tetapi sebagai tindakan perlawanan ontologis dan politis. Harapan, dalam pandangannya, bukanlah optimisme buta atau keyakinan kosong, melainkan impuls aktif yang menggugah kesadaran, merangsang imajinasi, dan menghidupkan kemungkinan bagi dunia yang belum ada—dunia tanpa perang, tanpa logika kehancuran, dan tanpa pendisiplinan brutal terhadap masa depan.

Bagi Bloch, warga negara bukan hanya bisa berharap, tetapi wajib mengubah harapan menjadi tindakan kolektif yang konkret, menjadi praxis utopis. Harapan tidak boleh dibiarkan menjadi pasif atau sentimental, karena jika tidak diarahkan, ia bisa dengan mudah dikomodifikasi oleh propaganda atau dinetralisasi oleh apatisme. Sebaliknya, harapan harus diterjemahkan menjadi peta jalan gerakan: membentuk ruang-ruang diskursif tandingan, menyusun aliansi lintas identitas, menolak narasi perang sebagai keniscayaan, dan menuntut deeskalasi melalui tekanan politik dari bawah. Dalam kasus Iran dan Israel, warga yang menolak reduksi identitas mereka menjadi alat perang dapat dan harus menjadi subjek historis baru yang memperjuangkan perdamaian melalui interupsi terhadap mesin negara: melalui demonstrasi, seni, teater, puisi, organisasi akar rumput, media alternatif, dan bentuk-bentuk prafiguratif dari masyarakat damai. Dalam semangat Bloch, setiap tindakan kecil yang menolak logika destruktif negara adalah lilin yang menandai arah menuju fajar— dunia yang belum ada, tetapi mungkin diwujudkan.

Meredakan Eskalasi Dan Melanjutkan Hidup

Di tengah kegaduhan global yang semakin memuncak—dengan langit-langit yang dihiasi lontaran rudal, ancaman nuklir yang tak lagi sekadar wacana, dan pemimpin maniak yang mempertontonkan kekuasaan dengan pongah—politik tampak seperti panggung bagi para penghasut kehancuran. Namun justru dalam lanskap yang suram inilah, kita harus menagih kembali janji asal mula politik: sebagai rumah bersama bagi harapan yang optimistik dan progresif. Politik bukan hanya instrumen perebutan kekuasaan, tetapi arena tempat warga negara dapat menyusun kembali hidup bersama, membayangkan masa depan yang tak ditentukan oleh senjata atau dendam, melainkan oleh keberanian untuk hidup damai, setara, dan manusiawi.

Memilih untuk tetap berharap di tengah ancaman global bukanlah sikap naif, melainkan tindakan berani yang menolak tunduk pada logika ketakutan yang terus diproduksi. Ketika elite memaksa kita untuk percaya bahwa tak ada jalan selain perang, warga dunia harus menjawab dengan satu suara: masih ada ruang bagi kemungkinan. Masih ada politik yang tidak korup oleh kekerasan, masih ada demokrasi yang tidak dibajak oleh mesin militer, dan masih ada harapan yang tidak akan padam hanya karena rudal melintas di udara. Dalam politik yang sungguh-sungguh dibentuk oleh kehendak rakyat, masa depan bukan sesuatu yang menakutkan—tetapi sesuatu yang layak diperjuangkan.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama