Politik dan harapan
merupakan dua buah kata yang kerap kali dipertentangkan. Seolah, dalam politik,
harapan akan dikoyak-koyakkan begitu saja oleh para aktor dan narasi ceritanya.
Politik bukanlah tempat yang tepat untuk berharap. Karena politik didesain
hanya untuk para ahli siasat, yang bermain catur secara terukur, dengan bersiap
diri mengorbankan apa saja yang menjadi bidaknya—jika diperlukan, untuk
mencapai tujuan-tujuan pragmatisnya. Politik adalah tempat bagi para realis,
yang berkumpul, dan menyusun narasi bagi masa depan yang destopik. Sebagaimana
politik adalah rumah besar dimana aktor-aktor kuat seperti Trump, Putin,
Jinping, hingga Netanyahu, mengkonstruksi jalan cerita dunia yang semakin ke
sini, semakin dipenuhi pesimisme yang menular. Padahal, jika kita mencoba untuk
lebih menyelam ke dalam pemikiran para filsuf politik modern, justru kedua kata
ini, politik dan harapan, adalah dua keping mata uang yang tak terpisahkan.
Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Dan, secara historis, politik,
adalah rumah bagi lahirnya segala harapan yang luhur tentang masa depan yang
optimistik.
Unger dan Politik Harapan
Di titik inilah
pemikiran Roberto Unger memberi cahaya. Roberto Mangabeira Unger seorang filsuf
Brasil dan teoritikus institusional, secara langsung menghubungkan politik
dengan pembebasan imajinasi kolektif dan harapan institusional. Dalam The Left
Alternative dan The Self Awakened: Pragmatism Unbound, ia berargumen bahwa
politik seharusnya membuka ruang bagi reka cipta sosial dan kelembagaan,
sebagai ekspresi dari harapan terhadap kehidupan yang lebih bermakna.
Unger memandang politik
bukan sekadar ruang negosiasi kekuasaan atau kompromi pragmatis, tetapi sebagai
medan emansipasi yang mendalam, tempat manusia dapat merekayasa ulang
institusi, membebaskan imajinasi sosial, dan mewujudkan harapan akan kehidupan
bersama yang lebih bermakna. Dalam karyanya, Unger menolak premis dasar
liberalisme institusional yang membekukan struktur politik sebagai sesuatu yang
final atau tak terubah. Ia menyatakan bahwa politik harus menjadi laboratorium
harapan, di mana individu dan kolektif diberi ruang untuk menguji kemungkinan-kemungkinan
baru tentang bagaimana hidup, bekerja, dan memerintah. Harapan, bagi Unger,
bukanlah ilusi sentimental, tetapi kekuatan transformatif yang
rasional—kekuatan yang harus diartikulasikan melalui tindakan politik dan
perombakan struktural yang berani.
Mimpi Distopia
Namun dunia hari ini
tampaknya sedang bergerak menjauh dari laboratorium harapan itu. Dalam konteks
dunia kontemporer yang kian bergejolak—saat bayang-bayang Perang Dunia Ketiga
menggantung di udara dan konflik bersenjata antara Iran dan Israel memuncak
dalam bentuk saling kirim rudal—pemikiran Unger tentang politik dan harapan
menawarkan kontra-narasi yang mendesak dan provokatif. Ketika politik global
kini cenderung menyeret warga negara ke dalam logika permusuhan yang ditentukan
oleh elite militer dan kepentingan geopolitik, Unger mengingatkan bahwa politik
seharusnya menjadi alat emansipasi kolektif, bukan mesin reproduksi ketakutan,
kemarahan, dan fatalisme. Politik hari ini, sebagaimana diperankan oleh
tokoh-tokoh seperti Ayatollah Khamenei dan Benjamin Netanyahu, justru
menggambarkan distorsi makna politik itu sendiri: dari ruang transformatif
menjadi teater distopia, di mana imajinasi tentang masa depan dibajak oleh
skenario kehancuran.
Namun justru dalam
situasi gelap inilah pemikiran Unger paling bernilai. Ujar Unger, Ia menolak
tunduk pada realisme pesimistis dan menyerukan bahwa, bahkan dalam reruntuhan
institusi dan keputusasaan geopolitik, kita masih memiliki potensi untuk
merekayasa ulang dunia. Tapi itu hanya mungkin jika rakyat diperlengkapi dengan
alat untuk bertindak: pendidikan politik kritis, sistem demokrasi yang terbuka,
dan keberanian untuk membayangkan kehidupan bersama yang tak tunduk pada logika
dendam sejarah. Dalam pengertian inilah, politik—bagi Unger—harus direbut
kembali sebagai rumah harapan, bukan pabrik distopia. Jika politik hari ini
memancarkan kemarahan dan ketidakberdayaan, maka tantangan terbesar generasi
kita bukan sekadar menolak perang, tetapi membangun kembali kemungkinan politik
yang tidak mematikan masa depan.
Jika Unger berbicara
tentang harapan sebagai proyek institusional dan kolektif, maka filsuf Jerman
Ernst Bloch melihatnya dari sisi eksistensial yang lebih dalam. Dalam Das
Prinzip Hoffnung (The Principle of Hope), Ernst Bloch membingkai kehidupan
eksistensial manusia bukan sebagai keberadaan yang statis atau tertutup,
melainkan sebagai proyek terbuka yang selalu mengarah ke masa depan. Bagi
Bloch, manusia adalah makhluk yang "belum selesai" (noch-nicht), yang
eksistensinya ditandai oleh ketidakterpenuhan dan kekurangan—tetapi justru
karena itulah, manusia mampu berharap, membayangkan, dan memproyeksikan dunia
yang lebih baik. Harapan bukanlah ilusi pasif, melainkan prinsip aktif dan ontologis
yang menggerakkan sejarah, seni, agama, dan praksis politik. Di dalam setiap
mitos, mimpi, dan gerakan pembebasan, terdapat das Noch-Nicht-Bewusste—dimensi
belum-sadar dari manusia yang membawa energi utopis untuk menembus kenyataan
dan menciptakan masa depan yang lebih manusiawi.
Melalui kerangka ini,
Bloch merehabilitasi harapan sebagai inti dari eksistensi manusia yang tidak
tunduk pada keterbatasan empiris atau trauma historis, tetapi justru tumbuh
dari keduanya. Dalam hidup yang digerakkan oleh harapan, manusia bukan hanya
menjadi subjek dari kondisi sosialnya, melainkan juga agen transformatif yang
mampu membentuk ulang dunia. Eksistensi, dengan demikian, bukan hanya
"ada", tetapi "menuju"—menuju bentuk kehidupan yang belum
terwujud, namun terus diperjuangkan. Inilah makna eksistensial yang mendalam
dalam filsafat harapan Bloch: hidup adalah proses menjadi, dan menjadi berarti
berharap secara radikal.
Dalam perspektif Ernst
Bloch, warga negara harus terus berharap dan menyalakan lilin di tengah
kegelapan justru karena harapan adalah satu-satunya kekuatan manusiawi yang
tidak bisa sepenuhnya dikendalikan oleh negara, militer, atau logika perang itu
sendiri. Ketika negara-negara memproduksi ketakutan, membentuk warga sebagai
korban takdir geopolitik, dan menyempitkan imajinasi pada “tidak ada
alternatif” selain konflik, Bloch mengajak kita untuk melihat harapan bukan
sebagai pelarian, tetapi sebagai tindakan perlawanan ontologis dan politis.
Harapan, dalam pandangannya, bukanlah optimisme buta atau keyakinan kosong,
melainkan impuls aktif yang menggugah kesadaran, merangsang imajinasi, dan
menghidupkan kemungkinan bagi dunia yang belum ada—dunia tanpa perang, tanpa
logika kehancuran, dan tanpa pendisiplinan brutal terhadap masa depan.
Bagi Bloch, warga
negara bukan hanya bisa berharap, tetapi wajib mengubah harapan menjadi
tindakan kolektif yang konkret, menjadi praxis utopis. Harapan tidak boleh
dibiarkan menjadi pasif atau sentimental, karena jika tidak diarahkan, ia bisa
dengan mudah dikomodifikasi oleh propaganda atau dinetralisasi oleh apatisme.
Sebaliknya, harapan harus diterjemahkan menjadi peta jalan gerakan: membentuk
ruang-ruang diskursif tandingan, menyusun aliansi lintas identitas, menolak
narasi perang sebagai keniscayaan, dan menuntut deeskalasi melalui tekanan
politik dari bawah. Dalam kasus Iran dan Israel, warga yang menolak reduksi
identitas mereka menjadi alat perang dapat dan harus menjadi subjek historis
baru yang memperjuangkan perdamaian melalui interupsi terhadap mesin negara: melalui
demonstrasi, seni, teater, puisi, organisasi akar rumput, media alternatif, dan
bentuk-bentuk prafiguratif dari masyarakat damai. Dalam semangat Bloch, setiap
tindakan kecil yang menolak logika destruktif negara adalah lilin yang menandai
arah menuju fajar— dunia yang belum ada, tetapi mungkin diwujudkan.
Meredakan Eskalasi Dan Melanjutkan Hidup
Di tengah kegaduhan
global yang semakin memuncak—dengan langit-langit yang dihiasi lontaran rudal,
ancaman nuklir yang tak lagi sekadar wacana, dan pemimpin maniak yang
mempertontonkan kekuasaan dengan pongah—politik tampak seperti panggung bagi
para penghasut kehancuran. Namun justru dalam lanskap yang suram inilah, kita
harus menagih kembali janji asal mula politik: sebagai rumah bersama bagi harapan
yang optimistik dan progresif. Politik bukan hanya instrumen perebutan
kekuasaan, tetapi arena tempat warga negara dapat menyusun kembali hidup
bersama, membayangkan masa depan yang tak ditentukan oleh senjata atau dendam,
melainkan oleh keberanian untuk hidup damai, setara, dan manusiawi.
Memilih untuk tetap
berharap di tengah ancaman global bukanlah sikap naif, melainkan tindakan
berani yang menolak tunduk pada logika ketakutan yang terus diproduksi. Ketika
elite memaksa kita untuk percaya bahwa tak ada jalan selain perang, warga dunia
harus menjawab dengan satu suara: masih ada ruang bagi kemungkinan. Masih ada
politik yang tidak korup oleh kekerasan, masih ada demokrasi yang tidak dibajak
oleh mesin militer, dan masih ada harapan yang tidak akan padam hanya karena
rudal melintas di udara. Dalam politik yang sungguh-sungguh dibentuk oleh
kehendak rakyat, masa depan bukan sesuatu yang menakutkan—tetapi sesuatu yang
layak diperjuangkan.