Sejarah membuktikan,
relasi antara politisi dan badan intelijen sering kali penuh ketegangan. Di
satu sisi, politisi dipilih oleh rakyat, beroperasi dalam ruang demokrasi dan
legitimasi publik. Di sisi lain, agen-agen intelijen bekerja dalam
bayang-bayang, sering kali tanpa pengawasan langsung masyarakat, namun memiliki
akses pada informasi yang bisa mengubah arah kebijakan negara. Dalam
keseimbangan inilah, dinamika kekuasaan diuji secara terus-menerus.
Ambil contoh Amerika
Serikat. Pada masa Presiden John F. Kennedy, hubungan antara Gedung Putih dan
CIA mengalami gesekan serius pasca kegagalan invasi Teluk Babi di Kuba tahun
1961. Kennedy dikabarkan sangat marah atas ketidakakuratan informasi yang
diberikan CIA, bahkan sempat berkata ingin “memecah CIA menjadi seribu bagian
dan menyebarkannya ke angin” (Ranelagh, 1986). Dari sini terlihat bahwa
walaupun CIA merupakan alat negara, bukan alat politisi, namun pengaruhnya
cukup besar untuk mengancam kredibilitas pemimpin.
Di Indonesia, tensi
serupa juga pernah mencuat ke permukaan. Hubungan Presiden Abdurrahman Wahid
dengan Badan Intelijen Negara (BIN) pada awal 2000-an menjadi catatan penting.
Gus Dur pernah mengkritik keras peran intelijen yang dianggap terlalu politis
dan bermain di ranah kekuasaan secara langsung (Zuhro, 2003). Sebaliknya, pihak
intelijen juga merasa bahwa informasi yang mereka miliki tak selalu dijadikan
dasar kebijakan. Terjadi semacam tarik-ulur antara “siapa yang lebih tahu” dan
“siapa yang berhak memutuskan”.
Hubungan yang sehat
antara politisi dan intelijen mestinya bertumpu pada satu prinsip: pembagian
peran yang tegas dan saling menghormati. Politisi menetapkan arah, intelijen
menyuplai peta. Namun, dalam praktiknya, garis ini sering kabur. Ketika
politisi terlalu tergantung pada informasi intelijen, kebijakan bisa bias oleh
persepsi ancaman yang dilebih-lebihkan. Sebaliknya, saat intelijen merasa
memiliki informasi yang terlalu penting untuk hanya “diberikan begitu saja,”
mereka bisa menjadi aktor politik de facto yakni beroperasi tanpa akuntabilitas
demokratis.
Menurut Loch K. Johnson
(2007), seorang pakar intelijen dari University of Georgia, demokrasi yang
sehat menuntut adanya mekanisme checks and balances terhadap lembaga intelijen.
Bukan untuk membatasi ruang gerak mereka secara membabi buta, tapi untuk
memastikan bahwa kerja mereka tetap berada dalam kerangka hukum dan konstitusi.
Dalam hal ini, parlemen dan badan pengawas independen harus diberdayakan secara
nyata, bukan sekadar formalitas.
Sayangnya, banyak
negara, termasuk Indonesia, belum memiliki sistem pengawasan intelijen yang
memadai. UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara memang telah memberikan
dasar hukum bagi aktivitas BIN. Namun, mekanisme pengawasannya belum kuat.
Komisi I DPR memiliki fungsi pengawasan, tetapi dalam praktiknya sering tidak
efektif karena ketergantungan informasi pada lembaga yang diawasi. Di sinilah
persoalan muncul: siapa yang mengawasi para pengawas?
Dalam lanskap politik
yang terus berubah, kolaborasi antara politisi dan intelijen menjadi
keniscayaan. Politisi membutuhkan informasi yang kredibel dan komprehensif
untuk merumuskan kebijakan yang responsif. Sementara intelijen membutuhkan arah
strategis dari pemimpin yang terpilih secara demokratis agar tidak bergerak
dalam kekosongan legitimasi. Tapi kolaborasi ini hanya akan menghasilkan
stabilitas jika masing-masing pihak memahami batas dan etika perannya.
Dalam banyak kasus,
kegagalan menjaga keseimbangan ini justru melahirkan krisis. Entah dalam bentuk
kudeta diam-diam, pembocoran informasi, atau manipulasi opini publik lewat
operasi informasi. Ketika intelijen menjadi alat politisi, mereka kehilangan independensinya.
Sebaliknya, ketika politisi mencoba mengendalikan informasi, mereka bisa
mengaburkan realitas demi kepentingan elektoral.
Pada akhirnya,
demokrasi bukan sekadar soal suara mayoritas, melainkan juga soal tata kelola
kekuasaan yang bertanggung jawab. Dan dalam tata kelola itu, relasi antara
politisi dan intelijen adalah barometer sejauh mana sebuah negara mampu
menyeimbangkan kekuasaan yang terlihat dengan yang tak terlihat. Dalam sunyi
mereka, intelijen menjaga negara. Dalam sorotan mereka, politisi membentuk masa
depan. Tapi tanpa keseimbangan, keduanya bisa berubah menjadi ancaman satu sama
lain.