Sulit dipercaya, tetapi
itulah kenyataan yang disuguhkan sistem. Seorang guru honorer yang mengajar
lima hari seminggu, menyusun materi, membimbing siswa, bahkan seringkali
merogoh kantong pribadi untuk membeli spidol atau fotokopi soal ujian, digaji
kurang dari biaya nasi kotak rapat di gedung kementerian. Rasanya tak adil,
tetapi kenyataan itu terus berlangsung dari tahun ke tahun, dengan atau tanpa
protes publik. Sementara para pejabat merancang kebijakan di ruang ber-AC
sambil menikmati makan siang senilai ratusan ribu, di pelosok desa, seorang
guru harus memilih antara membeli beras atau membayar ongkos ojek agar tetap
bisa mengajar esok hari.
Angka-angka ini bukan
sekadar statistik. Ia berbicara tentang bagaimana sebuah negara memperlakukan
pahlawan pendidikan. Jika logika anggaran merefleksikan prioritas negara, maka
kita perlu bertanya: kenapa rapat lebih dihargai daripada mengajar? Kenapa
kenyamanan birokrat lebih utama daripada nasib pendidik? Dalam kebijakan
anggaran seperti ini, kita melihat bukan hanya ketimpangan, tapi juga
ketidakadilan yang telah dinormalisasi. Guru honorer tak punya forum besar
untuk menyuarakan keluh kesahnya. Mereka terlalu sibuk bertahan hidup, terlalu
lelah berharap pada janji-janji perubahan yang tak kunjung datang. Padahal
merekalah yang mendidik anak-anak kita, membentuk masa depan bangsa.
Dunia pendidikan di
negeri ini sering dielu-elukan sebagai prioritas utama. Namun, jika ditelusuri
lebih dalam, kata-kata itu ternyata hanyalah slogan kosong. Sebab bagaimana
mungkin kita berbicara tentang kualitas pendidikan jika gurunya tidak dijamin
hidup layak? Bagaimana kita berharap anak-anak bangsa tumbuh dalam semangat
belajar jika gurunya mengajar sambil memikirkan bagaimana bayar utang warung?
Ini bukan sekadar soal
angka. Ini soal keberpihakan. Ini soal siapa yang dianggap layak diperjuangkan,
dan siapa yang cukup diberi ucapan “terima kasih” tanpa kesejahteraan.
Pemerintah seharusnya menyadari bahwa bangsa besar tidak dihasilkan dari gedung
mewah atau rapat mahal, tapi dari ruang kelas yang sederhana dengan guru-guru
yang ikhlas dan dihargai. Jika biaya makan siang bisa Rp171 ribu, maka tak masuk
akal jika gaji guru tetap Rp300 ribu. Ketimpangan ini harus dihentikan, bukan
hanya demi keadilan, tapi demi kewarasan kebijakan publik.
Sudah saatnya kita
menyalakan alarm nurani. Anggaran bukan sekadar dokumen fiskal, melainkan
cermin nilai-nilai negara. Jika guru tidak ditempatkan di posisi terhormat
dalam anggaran, maka masa depan bangsa hanya akan menjadi omong kosong. Negara
yang besar bukanlah negara yang pejabatnya kenyang, tapi yang pendidiknya
dihargai. Kita mungkin bisa menunda banyak proyek, tetapi kita tidak boleh
menunda kesejahteraan guru. Sebab saat guru dihina secara sistemik melalui upah
yang tak manusiawi, maka pendidikan telah dilukai, dan bangsa telah kehilangan
arah.