Parmenides, filsuf Yunani kuno, menyatakan bahwa logos
(akal-bahasa) mengungkap hakikat realitas yang abadi. Jika bahasa mampu
menyentuh kebenaran yang tak berubah, apakah itu berarti kebenaran itu sendiri
berasal dari sumber yang lebih tinggi?
Plato, murid Socrates, mengembangkan pemikiran ini
dengan teori dunia Idea. Baginya, kata-kata yang kita ucapkan hanyalah bayangan
dari kebenaran sejati yang abadi. Dalam Timaeus, ia menggambarkan Demiurge,
sang "perajin kosmos," yang menata alam semesta dengan rasionalitas
ilahi.
Plotinus, filsuf Neoplatonik, membawa gagasan ini
lebih jauh. Baginya, segala sesuatu berasal dari "Yang Esa" (The One),
dan bahasa manusia adalah upaya untuk menyentuh keabadian itu. "Ketika
kita berbicara tentang kebenaran," tulisnya, "kita sebenarnya
berusaha kembali ke sumber segala makna."
Thomas Aquinas, teolog abad pertengahan, juga
melihat bahasa sebagai cerminan Logos Ilahi, Firman Tuhan yang menjadi dasar
segala ciptaan. Dalam Summa Theologica, ia berargumen bahwa kemampuan manusia
memahami dan menamai realitas menunjukkan adanya kecerdasan ilahi di balik alam
semesta.
Ludwig Wittgenstein, yang sangat terkenal dengan
Language Game-nya, dalam Tractatus Logico-Philosophicus, awalnya berpendapat
bahwa batas bahasa adalah batas dunia, tetapi di kemudian hari ia mengakui
bahwa ada yang "tak terkatakan" yang mungkin merujuk pada yang
transenden.
Martin Heidegger, filsuf eksistensialis, melihat
bahasa sebagai "Rumah Ada". Tempat di mana realitas menyatakan
dirinya. Bagi Heidegger, kita tidak menciptakan bahasa, melainkan "dihadapkan"
padanya sebagai sesuatu yang sudah ada sebelum kita. Emanuele Severino, filsuf
kontemporer, memperkuat gagasan ini dengan menyatakan bahwa makna bahasa
bersifat kekal, dan jika ada yang kekal, maka pasti ada fondasi metafisik yang
menjaganya.
Jika kita merenungkan betapa dalam dan kompleksnya
bahasa, sulit untuk percaya bahwa ia hanya produk evolusi biologis semata.
Kemampuannya menyampaikan kebenaran, keindahan, dan makna yang melampaui zaman
seolah mengisyaratkan bahwa ada "Sang Pemberi Makna" di baliknya.
Seperti dikatakan Plotinus, "Setiap kata yang sejati adalah gema dari Yang
Ilahi."
Bagaimana dengan matematika; yakni sejenis bahasa
lain yang berkenaan dengan angka dan keteraturan geometri dan logis ?
Alain Badiou, seorang filsuf kontemporer asal
Perancis, menyifati matematika sebagai ontologi murni. Matematika adalah bahasa
yang mengungkap hakikat realitas tanpa perlu kata-kata. "Matematika adalah
penyataan sejati tentang yang-ada sebagaimana adanya," tulis Badiou dalam Being
and Event, sebuah pernyataan yang menggema dari zaman Pythagoras hingga era
kuantum.
Sedangkan Henri Poincaré menggambarkan keajaiban
ini: "Matematika adalah seni memberi nama yang sama pada hal-hal yang
berbeda." Persamaan sederhana seperti e^(iπ) + 1 = 0 mampu menyatukan lima
konsep fundamental matematika dalam satu kesatuan yang indah. Bagi Badiou,
keanggunan semacam ini bukan kebetulan, melainkan jejak dari apa yang disebut
Plato sebagai "Yang Baik" (The Good)—sumber segala kebenaran dan keindahan.
Barangkali keanggunan Ini yang tersingkap oleh
Srinivasan Ramanujan. Matematikawan genius India ini mengaku mendapat
rumus-rumusnya melalui "wisnumaya anugraha" (berkah ilahi). Sementara
itu, Michio Kaku dengan tegas menyatakan: "Tuhan adalah seorang
matematikawan," merujuk pada kesempurnaan hukum matematika yang mengatur
alam semesta. Michio Kaku menjelaskan, bagaimana mungkin hukum dasar semesta
fisik yang terdiri atas trilyun trilyun trilyun entitas ini bisa dituliskan
dengan pensil di secarik kertas. Betapa menakjubkan. Badiou melihat semua ini
sebagai bukti bahwa matematika bukan ciptaan manusia, melainkan penemuan—sebuah
upaya manusia menyentuh kebenaran yang sudah ada sebelum kita lahir.
Badiou tidak sendirian. Sejarah pemikiran mencatat
bagaimana Plotinus melihat bilangan sebagai pancaran dari "Yang Esa",
sementara Proclus menyatakan: "Di mana pun ada bilangan, di situ ada
keindahan." Roger Penrose bahkan berani berkata: "Tuhan tidak hanya
bermain dadu, Ia juga bermain bilangan imajiner," mengadaptasi ucapan
terkenal Einstein.
Di tengah dunia yang semakin terfragmentasi oleh
opini dan relativisme, matematika tetap berdiri sebagai mercusuar kebenaran
yang tak tergoyahkan. Setiap kali seorang anak kecil memahami keindahan
bilangan prima, setiap kali seorang ilmuwan memecahkan persamaan yang rumit,
mereka sebenarnya sedang berdialog dengan bahasa universal Sang Mahabaik.
Meminjam ucapan sahabat saya, Prof. Armein, Sang
Insinyur Pencipta Semesta ini benar-benar Maha Cerdas. Bahasa, baik dalam
bentuk verbal maupun matematika, bersifat Ilahi. Ia adalah rekacipta Sang
Insinyur , agar manusia berbeda dengan hewan. Ia adalah rekaanugerah Sang
Insinyur , agar manusia bisa menjadi semakin dekat dan memakrifati Yang Ilahi.
Dan, seperti dikatakan Badiou: "Kebenaran matematis adalah peristiwa yang
membuka horizon baru bagi pemikiran."
Sejak zaman kuno, manusia terpesona oleh keteraturan
alam semesta—bagaimana bintang bergerak dengan presisi, bagaimana bentuk
geometris muncul dalam struktur kehidupan, dan bagaimana hukum matematika
berlaku universal. Bagi banyak pemikir besar sepanjang sejarah, matematika
bukan sekadar alat hitung ciptaan manusia, melainkan petunjuk adanya kecerdasan
ilahi yang mengatur alam semesta.
Hermes Trismegistus , sesepuhnya Socrates,
Aristoteles dan Plato mewariskan prinsip "seperti di atas, begitu pula di
bawah" hingga Roger Penrose yang mengungkap kompleksitas matematis
kesadaran, matematika terus menjadi bahasa universal yang mengisyaratkan
keberadaan Sang Maha Perancang.
Pythagoras, filsuf dan matematikawan Yunani kuno,
percaya bahwa "angka adalah hakikat segala sesuatu." Baginya, harmoni
musik, gerak planet, bahkan struktur jiwa manusia dapat diungkap melalui rasio
bilangan. Sekolah Pythagoras menganggap matematika sebagai jalan suci menuju
kebenaran abadi, sebuah pandangan yang diwarisi oleh Plato. Dalam Republic,
Plato menggambarkan dunia Idea sebagai realitas matematis murni, di mana Demiurge
(Sang Perancang Kosmos) menciptakan alam semesta berdasarkan prinsip geometri ilahi.
Ilmuwan Muslim abad pertengahan seperti Alhazen (Ibn
al-Haytham) melanjutkan tradisi ini. Dalam Book of Optics, ia menggunakan
geometri dan aljabar untuk memahami cahaya, meyakini bahwa hukum matematika
yang ia temukan adalah bukti dari "kesempurnaan Sang Pencipta."
Keyakinan serupa dipegang Isaac Newton, yang melihat
hukum gravitasi dan kalkulus bukan sebagai penemuannya, melainkan sebagai
pengungkapan "hukum alam yang ditetapkan Tuhan." Dalam Principia
Mathematica, Newton menulis: "Sistem matahari, planet, dan komet yang
begitu indah hanya bisa berasal dari niat dan kekuasaan suatu Zat yang cerdas
dan berdaulat."
Blaise Pascal, matematikawan dan teolog Prancis,
menemukan ketegangan antara ketakjuban matematika dan kerendahan hati manusia.
"Alam semesta tak terbatas membungkam keangkuhanku," tulisnya.
Baginya, keteraturan matematis adalah jejak Tuhan yang sekaligus mengungkapkan
kebesaran-Nya dan keterbatasan akal manusia.
Di era modern, Kurt Gödel—pencetus teorema
ketidaklengkapan—menunjukkan bahwa dalam sistem logika apa pun, selalu ada
kebenaran yang tak terbantahkan namun tak terpahami sepenuhnya. Bagi Gödel, ini
mengisyaratkan adanya realitas metafisik yang melampaui rasio manusia. Dan
Godel malah mengusulkan bukti matematis tentang Keberadaan Tuhan.
Albert Einstein, meski tidak beragama dalam
pengertian konvensional, kerap menyebut "Tuhan" sebagai metafora bagi
kecerdasan kosmis yang tertanam dalam hukum alam. "Tuhan tidak bermain
dadu dengan alam semesta," katanya, menolak ketidakteraturan dalam
mekanika kuantum.
Fisikawan kontemporer seperti Michio Kaku dan Roger
Penrose terus mengungkap betapa matematika bukan hanya deskripsi, melainkan
"jantung realitas" itu sendiri. Penrose, dalam The Emperor's New Mind,
berargumen bahwa kesadaran manusia mustahil dijelaskan hanya melalui fisika
materialistik. Sebab, ada prinsip matematis yang begitu dalam sehingga mengarah
pada dimensi transenden.
Jika matematika hanyalah ciptaan manusia, mengapa ia
begitu universal dan mampu memprediksi fenomena alam sebelum diamati? Mengapa
dari fraktal hingga teori dawai, alam semesta mengikuti pola matematis yang
elegan? Bagi banyak pemikir, jawabannya jelas: matematika adalah bahasa Tuhan,
dan setiap persamaan adalah ayat dari kitab suci kosmos. Seperti dikatakan
Galileo, "Matematika adalah alfabet yang digunakan Tuhan untuk menulis
alam semesta." Dan barangkali, karena itu, Newton memberi judul magnum
opusnya; "Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica/Mathematical
Principles of Natural Philosophy)"
Nampaknya, intuisi Newton melihat bahwa di balik
semesta fisik yang terukur ini , Tuhan membuat semesta bergerak dan
berbincang-bincang dan menari dengan bahasa matematika. Ketika kita menyelami
keajaiban bilangan, barangkali kita sedang berdialog dengan Sang Maha Logos itu
sendiri.
Maka, saat Anda melihat deretan bilangan atau pola
geometris di alam, ingatlah: Anda mungkin sedang menyaksikan secercah cahaya
dari Yang Tak Terhingga, yang memilih untuk menyapa kita bukan melalui
kata-kata, melainkan melalui keanggunan bilangan dan bentuk. Sebagaimana
Ramanujan berkata pada saat-saat terakhir hidupnya: "Persamaan-persamaan
ini bukan buatanku. Mereka telah ada di sana, menunggu untuk ditemukan."
(**)