banner Merdeka Tanpa Sejahtera: Mengapa Reformasi Menyeluruh Tak Bisa Ditunda?

Merdeka Tanpa Sejahtera: Mengapa Reformasi Menyeluruh Tak Bisa Ditunda?



Suara Numbei News - Kemerdekaan merupakan hal yang diidam-idamkan oleh setiap bangsa, karena makna yang terkandung didalamnya bukan hanya sekedar terlepas secara fisik dari para penjajah. Akan tetapi, menjadi sebuah simbol bahwasanya bangsa itu memiliki kebebasan untuk mengatur keberjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa ada intervensi dari pihak manapun sehingga dapat menjamin kehormatan, kesejahteraan dan masa depan rakyatnya di atas kaki sendiri.

Tepat pada 80 tahun yang lalu para founding fathers bangsa kita telah merumuskan berbagai pemikiran-pemikiran kebangsaan dengan mengedepankan persatuan diatas segalanya. Dimana pada akhirnya terjadi sebuah titik temu bahwasanya negara harus hadir untuk melindungi setiap rakyatnya dan menjamin kesejahteraan bagi para rakyatnya. Amanah yang terdapat pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ini menjadi sebuah refleksi bagi seluruh rakyat Indonesia. Apakah amanah itu sudah berjalan sesuai yang dicita-citakan oleh founding fathers bangsa kita atau hanya menjadi sebuah impian-impian yang masih belum mampu kita realisasikan?

Indonesia yang saat ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 285.973.591 berdasarkan data yang dihimpun dari population today menjadikan negara ini masuk ke posisi 4 besar dengan jumlah populasi terbanyak di dunia. Dengan jumlah populasi yang banyak ini justru akan menjadi pisau bermata dua untuk Indonesia. Apakah ini akan menjadikan sebuah keuntungan atau justru sebaliknya menjadi sebuah ancaman nyata bagi negara ini?

Pada Juli 2025 Bank Dunia merilis bahwasanya Indonesia mengalami kenaikan jumlah orang miskin menjadi 194,6 juta jiwa. Hal ini menjadi sebuah ironis tersendiri karena bangsa yang sudah berumur 80 tahun ternyata sebesar 68,04% penduduknya masuk ke dalam kategori miskin. Jika kita bandingkan dengan negara tetangga, yaitu Korea Selatan. Dimana Korea Selatan yang merdeka di tahun 1948 dan pernah mengalami konflik besar yang menghancurkan infrastruktur serta ekonomi mereka. Akan tetapi, mampu bangkit dan ditetapkan oleh Bank Dunia pada awal 1990-an masuk ke dalam kategori negara maju. Banyak faktor yang pada akhirnya membuat Korea Selatan menjadi sebuah negara maju, seperti perubahan pada bidang ekonomi, sosial, politik, dll.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? apa yang menyebabkan negara yang sudah hampir memasuki usia satu abad, tetapi masih banyak rakyatnya yang belum merasakan kesejahteraan.

Sistem politik terbelenggu politik kartel

Sejak era kemerdekaan Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan bentuk pemerintahan. Pergantian ini bukan hanya sekedar pergantian pemimpin, tetapi pergeseran cara demokrasi dijalankan sesuai konteks politik dan kepentingan penguasa. Sejak kemerdekaan, Indonesia beberapa kali mengubah sistem politiknya sesuai konteks zaman dan kepentingan penguasa. Pada era Orde Lama, demokrasi parlementer memberi ruang kebebasan politik luas, namun berujung pada instabilitas kabinet. Upaya Presiden Soekarno menstabilkan politik lewat Demokrasi Terpimpin justru memusatkan kekuasaan di tangan presiden dan membungkam oposisi. Orde Baru dibawah Soeharto mengusung Demokrasi Pancasila dengan janji stabilitas dan pertumbuhan, tetapi membatasi kebebasan sipil, mengkonsolidasikan kekuasaan, dan memelihara korupsi, kolusi, serta nepotisme. Krisis moneter 1997 memicu runtuhnya rezim ini.

Reformasi 1998 membuka jalan bagi demokratisasi, termasuk pemilihan presiden langsung. Namun, sejak awal diberlakukan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang semakin tinggi: dari 3% kursi DPR menjadi 20% kursi atau 25% suara sah nasional. Aturan ini menyuburkan politik kartel, di mana partai-partai besar berkolaborasi layaknya kartel bisnis untuk membagi kekuasaan, sumber daya, dan keuntungan politik. Alih-alih bersaing menawarkan gagasan kepada rakyat, elite partai lebih sibuk menjaga status quo.

Konsekuensinya, ruang politik dikuasai segelintir elite, ongkos politik melambung, dan oligarki semakin menguat. Kebijakan seringkali lebih berpihak pada investor politik ketimbang kepentingan publik. Partisipasi rakyat tereduksi menjadi formalitas di bilik suara, sementara proses pembuatan kebijakan berlangsung di ruang tertutup yang sarat transaksi. Dalam kondisi ini, demokrasi berjalan di atas rel yang dikendalikan kartel politik membuat cita-cita reformasi menjauh dari harapan awalnya.

Keberpihakan pada ekonomi kapital

Sejak jatuhnya Orde Baru pada 1998, Indonesia memasuki era Reformasi yang diwarnai keterbukaan politik dan kebebasan berekspresi. Namun, di bidang ekonomi, arah kebijakan justru semakin condong pada model kapitalisme neoliberal. Liberalisasi perdagangan, privatisasi BUMN, dan pembukaan keran investasi asing besar-besaran menjadi ciri utama. Resep ini berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi relatif stabil di kisaran lima persen per tahun, namun manfaatnya tidak dirasakan merata oleh seluruh lapisan masyarakat.

Pertumbuhan yang dihasilkan cenderung bersifat eksklusif, menguntungkan kelompok pemilik modal besar dan memperlebar jurang ketimpangan. Sektor informal tetap mendominasi, upah riil tumbuh lambat, dan basis industri manufaktur melemah akibat gempuran impor. Di tengah situasi ini, Indonesia memang berhasil naik menjadi negara berpendapatan menengah sejak awal 2010-an, namun justru terjebak dalam middle income trap, sebuah kondisi di mana pendapatan per kapita stagnan karena produktivitas rendah, inovasi lemah, dan ketergantungan tinggi pada ekspor komoditas mentah.

Kondisi tersebut membuat cita-cita founding fathers untuk membangun negara kesejahteraan sulit tercapai. Model ekonomi yang lebih mengutamakan kepentingan pasar dibanding kepentingan rakyat menghambat penguatan jaminan sosial, pemerataan pendidikan, dan akses kesehatan berkualitas bagi seluruh warga. Akibatnya, negara memang tumbuh, tetapi kesejahteraan universal belum terwujud.

Lemahnya penegakkan hukum dan titipan kepentingan politik

Selain masalah politik dan ekonomi, hambatan besar bagi kemajuan Indonesia adalah lemahnya penegakan hukum. Salah satu penyebab utamanya adalah proses pemilihan hakim di lembaga-lembaga strategis yang membuka ruang intervensi politik.

Di Mahkamah Agung, calon hakim agung dipilih melalui seleksi Komisi Yudisial, namun hasilnya tetap harus melalui uji kelayakan di DPR dan pengesahan oleh Presiden. Keterlibatan DPR memberi peluang terjadinya lobi dan titipan kepentingan. Di Mahkamah Konstitusi, sembilan hakim konstitusi diusulkan oleh tiga lembaga: Presiden (3 orang), DPR (3 orang), dan MA (3 orang). Karena DPR dan Presiden adalah entitas politik, pengusulan hakim kerap dipengaruhi pertimbangan kepentingan kekuasaan.

Bahkan di pengadilan umum, agama, tata usaha negara, dan militer, proses pengangkatan hakim dilakukan oleh Presiden atas usulan MA. Di sini pun promosi dan mutasi hakim dapat terpengaruh faktor nonteknis. Kondisi ini membuat independensi hakim seringkali dipertanyakan. Ketika proses rekrutmen sudah terwarnai kepentingan, sulit mengharapkan penegakan hukum yang murni berpihak pada keadilan. Akibatnya, hukum seringkali menjadi alat mempertahankan status quo, bukan sarana membongkar ketidakadilan.

Indonesia membutuhkan reformasi menyeluruh. Perubahan setengah hati hanya akan membuat masalah berulang, sementara cita-cita kemerdekaan tetap jauh dari genggaman.

Reformasi Sistem Politik

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menurunkan presidential threshold menjadi 0% adalah titik balik penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Selama lebih dari satu dekade, ambang batas pencalonan presiden telah menjadi “gerbang eksklusif” yang hanya bisa dilewati oleh segelintir partai besar, sehingga rakyat kehilangan keragaman pilihan. Penurunan menjadi 0% bukan sekadar angka, melainkan simbol pembebasan kompetisi politik dari cengkeraman oligarki. Namun, kebijakan ini hanya akan bermakna jika diikuti pengawalan ketat agar tidak muncul regulasi baru yang diam-diam menghidupkan kembali hambatan tersebut.

Masalahnya tidak berhenti pada threshold. Politik Indonesia masih sakit oleh biaya kontestasi yang mahal, yang mendorong partai menggantungkan diri pada investor politik. Hasilnya adalah politik balas budi, jabatan strategis dan proyek pemerintah menjadi “alat tukar” untuk mengembalikan modal politik yang sudah dikeluarkan. Sumber masalah ini hanya bisa diatasi jika negara berani mengambil alih tanggung jawab pendanaan partai politik dan kampanye, dengan sistem berbasis APBN yang transparan dan terawasi publik. Setiap rupiah dana kampanye harus bisa dilacak asal-usul dan penggunaannya, agar kebijakan publik tak lagi menjadi barang dagangan.

Namun demokrasi tidak hanya soal aturan dan uang. Tanpa masyarakat sipil yang kuat, semua reformasi politik akan berakhir menjadi kosmetik belaka. Karena itu, kanal partisipasi publik harus diperkuat mulai dari public hearing wajib untuk setiap rancangan undang-undang strategis, keterbukaan data kebijakan, hingga perlindungan kebebasan pers dan berpendapat. Masyarakat sipil yang aktif dan kritis adalah benteng terakhir melawan konsentrasi kekuasaan.

Reformasi Ekonomi

Arah ekonomi Indonesia perlu digeser dari sekadar menjaga pertumbuhan menjadi menciptakan kesejahteraan yang merata. Fokus utama harus pada membangun fondasi kemandirian melalui diversifikasi industri, peningkatan nilai tambah, dan pemerataan pusat-pusat pertumbuhan di seluruh wilayah. Industri manufaktur harus direvitalisasi, tidak sekadar menjadi tukang rakit produk asing, tetapi mampu bersaing di pasar global dengan teknologi dan merek lokal yang kuat.

Kuncinya ada pada investasi besar-besaran pada sumber daya manusia. Pendidikan tinggi harus terjangkau dan berkualitas, sementara lulusan SMA/SMK/SMP/SD yang tidak melanjutkan kuliah perlu difasilitasi dengan program pelatihan keterampilan di setiap kelurahan atau desa. Pelatihan ini harus berbasis kebutuhan industri lokal, sehingga tenaga kerja siap masuk pasar kerja atau membuka usaha mandiri.

Di sisi lain, penguatan UMKM dan produk lokal mutlak dilakukan. Pemerintah perlu memberi insentif pajak, akses pembiayaan murah, dan dukungan pemasaran, termasuk memperluas ekspor produk-produk unggulan daerah. Pemerataan pembangunan ekonomi juga penting, setiap provinsi harus memiliki kota pusat perekonomian yang menjadi simpul industri, perdagangan, dan logistik, sehingga pertumbuhan tidak hanya terkonsentrasi di satu daerah.

Reformasi Hukum

Tanpa hukum yang independen, seluruh upaya reformasi politik dan ekonomi akan runtuh. Keadilan hanya dapat ditegakkan bila proses hukum bebas dari intervensi politik dan kepentingan segelintir elite. Karena itu, reformasi hukum harus dimulai dari ujung paling atas, yakni proses pemilihan hakim. Komisi Yudisial perlu diberi kewenangan penuh dalam menyeleksi hakim agung, tanpa campur tangan DPR atau Presiden yang rentan meloloskan “titipan” politik. Untuk Mahkamah Konstitusi, mekanisme uji publik harus dilakukan oleh panel independen yang melibatkan akademisi, masyarakat sipil, dan organisasi profesi hukum, bukan hanya lembaga politik.

Selain itu, penegak hukum baik hakim, jaksa, maupun penyidik harus dilindungi secara maksimal dari ancaman, intimidasi, atau tekanan politik. Perlindungan ini bukan hanya berupa regulasi, tetapi juga dukungan keamanan, jaminan karier, dan sistem pengaduan yang efektif. Penegak hukum yang berani membongkar kasus besar harus merasa aman, bukan justru menjadi target kriminalisasi.

Transparansi juga harus menjadi pilar utama. Penerapan sistem e-court yang memuat dokumen, jadwal, dan rekaman sidang secara daring dapat meminimalkan praktik suap sekaligus membuka akses masyarakat terhadap proses peradilan. Dengan sistem ini, tidak ada lagi ruang gelap untuk negosiasi di luar hukum, dan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan dapat dipulihkan.

Reformasi sejati bukan sekadar mengganti wajah penguasa, melainkan membongkar akar masalah dan membangun sistem yang adil, transparan, serta berpihak pada rakyat. Harapannya, Indonesia Emas 2045 bukan hanya sekedar jargon. Melainkan, janji yang harus diwujudkan bersama.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama