Ungkapan “uang adalah raja” lahir dari kenyataan
bahwa uang memang punya daya pengaruh luar biasa. Ia dapat membeli barang,
membayar jasa, mempengaruhi keputusan, bahkan menentukan arah kebijakan. Dalam
politik, uang kerap menjadi penentu dukungan; dalam bisnis, ia adalah bahan
bakar utama. Fakta ini sulit dibantah. Tetapi, apakah pengaruh tersebut
otomatis menjadikannya tujuan tertinggi hidup manusia?
Kebahagiaan tertinggi tidak dicapai dengan harta, melainkan dengan kesempurnaan jiwa.” Filsuf klasik, Al-Farabi
Bagi Al-Farabi, uang hanyalah alat, bukan tujuan.
Jika alat ini didewakan, manusia akan kehilangan orientasi hidup yang hakiki.
Etika dan kebajikan berada di atas kepentingan material, karena hanya kebajikan
yang mampu membawa manusia menuju kesempurnaan sejati.
Aldous Huxley, pemikir perennialisme Barat, juga
menggemakan hal serupa. Dalam "The Perennial Philosophy" ia menulis
bahwa inti ajaran semua tradisi luhur adalah kesadaran akan realitas transenden
yang melampaui materi. Menurutnya, manusia yang hanya mengejar kekayaan akan
kehilangan kontak dengan dimensi terdalam keberadaannya. Pesan ini memperkuat
pandangan bahwa nilai-nilai moral adalah pondasi hidup yang tak boleh
digadaikan demi keuntungan sesaat.
Dari perspektif akademik modern, Amartya Sen—peraih
Nobel Ekonomi—melalui Capability Approach menolak pandangan bahwa kesejahteraan
hanya diukur dari pendapatan. Menurutnya, yang lebih penting adalah “kemampuan”
seseorang untuk menjalani kehidupan yang ia nilai berharga. Pendekatan ini
menggeser fokus dari sekadar uang menuju kebebasan dan kesempatan untuk hidup
bermakna.
Dalam filsafat, perdebatan ini tercermin pada
pertarungan antara perennialisme dan materialisme. Perennialisme meyakini
adanya nilai kebenaran abadi—moralitas, kejujuran, dan cinta kasih—yang
melampaui zaman dan budaya. Sebaliknya, materialisme menempatkan realitas
fisik, termasuk uang, sebagai penentu utama kehidupan. Materialisme sering kali
mengabaikan dimensi spiritual atau moral yang tak kasat mata, sementara
perennialisme menegaskan bahwa dimensi tersebut adalah inti dari kemanusiaan.
Jika ditarik ke kehidupan nyata, pandangan
materialistik sering terlihat dalam budaya populer dan media sosial.
Popularitas diukur dari penghasilan dan aset yang dipamerkan. Namun, dalam
kerangka perennialisme, popularitas dan kekayaan hanyalah efek samping dari
kualitas moral, bukan tujuan utama. Seorang guru desa yang mengajar dengan
sepenuh hati meski bergaji minim, bisa jadi lebih “kaya” secara makna hidup dibanding
selebritas yang hidup dalam tekanan pencitraan.
Implikasi materialisme di kehidupan kini jelas:
orientasi hidup menjadi transaksional. Hubungan sosial dihitung dalam
untung-rugi finansial, dan kebijakan publik kerap berpihak pada mereka yang
memiliki modal besar. Hasilnya adalah ketimpangan sosial yang makin lebar dan
rapuhnya kepercayaan antar manusia.
Sebaliknya, implikasi perennialisme mendorong
masyarakat membangun relasi berbasis nilai dan kebajikan. Kemakmuran ekonomi
tetap diupayakan, namun sebagai sarana memperkuat kualitas hidup secara utuh.
Sebuah kebijakan pendidikan misalnya, dinilai bukan hanya dari efisiensi biaya,
tetapi dari sejauh mana ia membentuk karakter dan memperluas wawasan generasi
muda.
Contoh ekstrem materialisme bisa dilihat dalam
praktik politik uang saat pemilu. Suara rakyat dibeli layaknya barang dagangan,
dan setelah itu pemimpin merasa tak lagi berkewajiban melayani. Di sini, uang
memang menjadi “raja” yang menentukan hasil, namun sekaligus meruntuhkan
kualitas demokrasi.
Sebaliknya, contoh praktik perennialisme hadir dalam
kisah seorang dokter yang tetap melayani pasien di daerah terpencil meski
tawaran kerja di kota besar menjanjikan penghasilan tinggi. Keputusannya
dilandasi nilai pengabdian, bukan imbalan finansial. Inilah bukti bahwa
moralitas bisa menjadi “keagungan hidup” yang menandingi dominasi uang.1
Mengakui kekuatan moral bukan berarti menafikan
peran uang. Hidup tanpa uang hampir mustahil. Tantangannya adalah menempatkan
uang pada posisi proporsional: sebagai pelayan, bukan tuan. Moralitas menjadi
kompas yang memastikan arah perjalanan, sementara uang adalah bahan bakar untuk
mencapai tujuan. why
Sayangnya, di tengah sistem ekonomi global yang
kompetitif, suara moral sering terpinggirkan. Kecepatan perputaran modal dan
tuntutan efisiensi membuat pertimbangan etika kerap dianggap “lambat” atau
“tidak realistis”. Di sinilah pentingnya pendidikan nilai sejak dini agar
generasi mendatang mampu menyeimbangkan pencapaian material dan integritas
pribadi.q
Kehidupan modern memaksa kita mahir mengelola uang,
namun juga menuntut kebijaksanaan agar tidak diperbudak olehnya. Uang dapat
membeli ranjang empuk, tetapi tidak tidur nyenyak; ia bisa membeli jam tangan
mewah, tetapi tidak waktu berkualitas. Moralitas dan nilai-nilai abadi adalah
mercusuar yang menjaga arah di tengah gelombang pragmatisme. why
Pada akhirnya, perdebatan uang versus moralitas
tidak perlu berakhir dalam dikotomi kaku. Manusia bisa mengakui peran uang
sambil menghidupi nilai-nilai perennial yang memberi makna sejati. Yang
berbahaya adalah ketika uang menjadi satu-satunya ukuran segalanya. Seperti
pepatah lama, “Uang adalah pelayan yang baik, tetapi tuan yang jahat.” Dan dalam
memilih tuan kehidupan, kita semua tahu siapa yang seharusnya memimpin.