banner "Uang adalah Raja”: Memahami Filsafat Perennialisme vs Materialisme?

"Uang adalah Raja”: Memahami Filsafat Perennialisme vs Materialisme?



Suara Numbei News - Pertanyaan klasik “apakah segala sesuatu di dunia ini ditentukan oleh uang?” tetap membayangi benak banyak orang. Kita hidup di zaman ketika nilai seseorang sering diukur dari saldo rekening, jenis mobil, atau alamat rumahnya. Fenomena “uang adalah raja” seolah menjadi hukum tak tertulis di berbagai lini kehidupan. Namun, di sisi lain, ada suara hati yang menegaskan bahwa moralitas dan martabat jauh lebih berharga daripada materi. Benturan abadi antara materialisme dan nilai-nilai luhur inilah yang mewarnai perjalanan peradaban manusia.

Ungkapan “uang adalah raja” lahir dari kenyataan bahwa uang memang punya daya pengaruh luar biasa. Ia dapat membeli barang, membayar jasa, mempengaruhi keputusan, bahkan menentukan arah kebijakan. Dalam politik, uang kerap menjadi penentu dukungan; dalam bisnis, ia adalah bahan bakar utama. Fakta ini sulit dibantah. Tetapi, apakah pengaruh tersebut otomatis menjadikannya tujuan tertinggi hidup manusia?

Kebahagiaan tertinggi tidak dicapai dengan harta, melainkan dengan kesempurnaan jiwa.”  Filsuf klasik, Al-Farabi

Bagi Al-Farabi, uang hanyalah alat, bukan tujuan. Jika alat ini didewakan, manusia akan kehilangan orientasi hidup yang hakiki. Etika dan kebajikan berada di atas kepentingan material, karena hanya kebajikan yang mampu membawa manusia menuju kesempurnaan sejati.

Aldous Huxley, pemikir perennialisme Barat, juga menggemakan hal serupa. Dalam "The Perennial Philosophy" ia menulis bahwa inti ajaran semua tradisi luhur adalah kesadaran akan realitas transenden yang melampaui materi. Menurutnya, manusia yang hanya mengejar kekayaan akan kehilangan kontak dengan dimensi terdalam keberadaannya. Pesan ini memperkuat pandangan bahwa nilai-nilai moral adalah pondasi hidup yang tak boleh digadaikan demi keuntungan sesaat.

Dari perspektif akademik modern, Amartya Sen—peraih Nobel Ekonomi—melalui Capability Approach menolak pandangan bahwa kesejahteraan hanya diukur dari pendapatan. Menurutnya, yang lebih penting adalah “kemampuan” seseorang untuk menjalani kehidupan yang ia nilai berharga. Pendekatan ini menggeser fokus dari sekadar uang menuju kebebasan dan kesempatan untuk hidup bermakna.

Dalam filsafat, perdebatan ini tercermin pada pertarungan antara perennialisme dan materialisme. Perennialisme meyakini adanya nilai kebenaran abadi—moralitas, kejujuran, dan cinta kasih—yang melampaui zaman dan budaya. Sebaliknya, materialisme menempatkan realitas fisik, termasuk uang, sebagai penentu utama kehidupan. Materialisme sering kali mengabaikan dimensi spiritual atau moral yang tak kasat mata, sementara perennialisme menegaskan bahwa dimensi tersebut adalah inti dari kemanusiaan.

Jika ditarik ke kehidupan nyata, pandangan materialistik sering terlihat dalam budaya populer dan media sosial. Popularitas diukur dari penghasilan dan aset yang dipamerkan. Namun, dalam kerangka perennialisme, popularitas dan kekayaan hanyalah efek samping dari kualitas moral, bukan tujuan utama. Seorang guru desa yang mengajar dengan sepenuh hati meski bergaji minim, bisa jadi lebih “kaya” secara makna hidup dibanding selebritas yang hidup dalam tekanan pencitraan.

Implikasi materialisme di kehidupan kini jelas: orientasi hidup menjadi transaksional. Hubungan sosial dihitung dalam untung-rugi finansial, dan kebijakan publik kerap berpihak pada mereka yang memiliki modal besar. Hasilnya adalah ketimpangan sosial yang makin lebar dan rapuhnya kepercayaan antar manusia.

Sebaliknya, implikasi perennialisme mendorong masyarakat membangun relasi berbasis nilai dan kebajikan. Kemakmuran ekonomi tetap diupayakan, namun sebagai sarana memperkuat kualitas hidup secara utuh. Sebuah kebijakan pendidikan misalnya, dinilai bukan hanya dari efisiensi biaya, tetapi dari sejauh mana ia membentuk karakter dan memperluas wawasan generasi muda.

Contoh ekstrem materialisme bisa dilihat dalam praktik politik uang saat pemilu. Suara rakyat dibeli layaknya barang dagangan, dan setelah itu pemimpin merasa tak lagi berkewajiban melayani. Di sini, uang memang menjadi “raja” yang menentukan hasil, namun sekaligus meruntuhkan kualitas demokrasi.

Sebaliknya, contoh praktik perennialisme hadir dalam kisah seorang dokter yang tetap melayani pasien di daerah terpencil meski tawaran kerja di kota besar menjanjikan penghasilan tinggi. Keputusannya dilandasi nilai pengabdian, bukan imbalan finansial. Inilah bukti bahwa moralitas bisa menjadi “keagungan hidup” yang menandingi dominasi uang.1

Mengakui kekuatan moral bukan berarti menafikan peran uang. Hidup tanpa uang hampir mustahil. Tantangannya adalah menempatkan uang pada posisi proporsional: sebagai pelayan, bukan tuan. Moralitas menjadi kompas yang memastikan arah perjalanan, sementara uang adalah bahan bakar untuk mencapai tujuan. why

Sayangnya, di tengah sistem ekonomi global yang kompetitif, suara moral sering terpinggirkan. Kecepatan perputaran modal dan tuntutan efisiensi membuat pertimbangan etika kerap dianggap “lambat” atau “tidak realistis”. Di sinilah pentingnya pendidikan nilai sejak dini agar generasi mendatang mampu menyeimbangkan pencapaian material dan integritas pribadi.q

Kehidupan modern memaksa kita mahir mengelola uang, namun juga menuntut kebijaksanaan agar tidak diperbudak olehnya. Uang dapat membeli ranjang empuk, tetapi tidak tidur nyenyak; ia bisa membeli jam tangan mewah, tetapi tidak waktu berkualitas. Moralitas dan nilai-nilai abadi adalah mercusuar yang menjaga arah di tengah gelombang pragmatisme. why

Pada akhirnya, perdebatan uang versus moralitas tidak perlu berakhir dalam dikotomi kaku. Manusia bisa mengakui peran uang sambil menghidupi nilai-nilai perennial yang memberi makna sejati. Yang berbahaya adalah ketika uang menjadi satu-satunya ukuran segalanya. Seperti pepatah lama, “Uang adalah pelayan yang baik, tetapi tuan yang jahat.” Dan dalam memilih tuan kehidupan, kita semua tahu siapa yang seharusnya memimpin.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama