banner Paradoks Pendidikan Kita: Deep Learning untuk Guru (yang) Shallow Living

Paradoks Pendidikan Kita: Deep Learning untuk Guru (yang) Shallow Living

Guru dalam Kabut Prioritas. Sumber: Ilustrasi generatif dengan bantuan DALL·E, OpenAI.


Suara Numbei News - Ada momen yang membuat saya tertegun saat membaca pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa hari lalu. Yang membuat saya tertegun bukan isinya, meskipun kita tahu bahwa gaji guru dan dosen yang kecil memang sudah menjadi rahasia umum, tapi bagaimana cara menyampaikannya.

Apakah semuanya harus keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat?"

Pertanyaan yang terdengar seperti seorang bendahara negara yang bingung mengatur keuangan rumah tangga. Seolah-olah anggaran pendidikan Rp 724,3 triliun, kira-kira dua puluh persen dari total APBN, adalah uang saku yang tidak cukup untuk membeli es krim semua anak.

Mari kita buka buku besar keuangan negara dan bertanya dengan jujur: jika anggaran pendidikan sudah mencapai hampir seperempat dari belanja negara, mengapa masih ada guru masih harus menjadi ojek online setelah mengajar? Jawaban yang mungkin tidak ingin kita dengar adalah bahwa uangnya memang ada, tapi alokasi dan prioritasnya yang bermasalah secara fundamental.

Sri Mulyani memaparkan pembagian anggaran pendidikan dalam tiga klaster yang terdengar rapi. Klaster pertama untuk siswa dan mahasiswa, termasuk program Makan Bergizi Gratis yang anggarannya membengkak dari tujuh puluh satu triliun menjadi seratus dua puluh satu triliun rupiah. Ironisnya, program yang digadang-gadang sebagai flagship ini justru mengirimkan ratusan siswa ke rumah sakit karena keracunan dalam tujuh bulan pertama.

Klaster kedua konon dialokasikan untuk gaji dan tunjangan guru serta dosen. Tapi berapa besar sebenarnya alokasi ini dari total tujuh ratus dua puluh empat triliun rupiah? Tidak ada detail yang transparan yang diberikan soal ini. Klaster ketiga untuk sarana prasarana, kita membangun gedung megah, tapi melupakan bahwa guru yang akan mengajar di dalamnya masih bergumul dengan masalah ekonomi dasar.

Homo Homini Socius: Ketika Negara Lupa Konsep Kemitraan

Romo Driyarkara, filsuf pendidikan Indonesia, pernah menekankan konsep "Homo Homini Socius", manusia adalah sahabat bagi manusia lainnya. Ia mencoba mengubah citra manusia yang buruk menjadi lebih positif, melihat sesama sebagai mitra dalam membangun peradaban, bukan sebagai beban atau ancaman.

Pemikiran Driyarkara ini seharusnya menjadi landasan bagaimana negara memperlakukan guru dan dosen. Mereka bukan charity case yang perlu dikasihani, bukan pula beban anggaran yang harus diminimalkan. Mereka adalah mitra paling strategis dalam membangun masa depan bangsa.

Tapi realitasnya? Negara memperlakukan guru dengan mentalitas "Homo Homini Lupus", manusia sebagai serigala bagi sesamanya. Guru dianggap sebagai kompetitor dalam perebutan anggaran yang terbatas. Ketika anggaran harus dialokasikan, guru kalah prioritas dengan program-program yang lebih seksi secara politik.

Romo Driyarkara meletakkan buah pemikirannya sebagai dasar pendidikan manusia yang baru, agar manusia semakin menyadari keberadaannya sebagai subjek tanpa mengabaikan sesamanya. Dalam konteks ini, negara yang menguasai anggaran raksasa seharusnya tidak mengabaikan guru yang menjadi ujung tombak pendidikan.

Deep Learning vs Shallow Living: Ironi Kebijakan Pendidikan

Sementara itu, Kemendikdasmen dengan semangat meluncurkan konsep "Deep Learning" sebagai revolusi pembelajaran terbaru. Tiga elemen pembelajaran mendalam digaungkan dengan antusias: meaningful learning yang mengaitkan pelajaran dengan realitas hidup siswa, mindful learning yang melatih siswa untuk benar-benar hadir dan reflektif dalam belajar, serta joyful learning yang menciptakan kebahagiaan dalam proses pembelajaran.

Program ini dimulai dengan pilot project di sekolah-sekolah percontohan pada tahun ajaran 2025/2026, dengan target yang ambisius: empat belas hingga delapan puluh persen sekolah akan menerapkannya pada dua ribu dua puluh enam hingga dua ribu dua puluh delapan, dan delapan puluh hingga seratus persen sekolah pada dua ribu dua puluh delapan hingga dua ribu tiga puluh. Bersamaan dengan itu, mata pelajaran coding dan kecerdasan buatan akan diintegrasikan sebagai mata pelajaran pilihan mulai SD kelas lima hingga SMA.

Ironi yang menyakitkan terletak di sini: kita bicara soal deep learning sementara guru yang akan mengimplementasikannya hidup dalam shallow living, kehidupan yang dangkal secara ekonomi. Kita bermimpi tentang integrasi AI dalam pembelajaran sementara guru masih berjuang dengan masalah artificial scarcity, sebuah kelangkaan buatan yang diciptakan oleh misalokasi anggaran.

Bagaimana mungkin guru bisa mengajarkan coding dengan efektif jika dia sendiri tidak punya laptop pribadi karena gajinya habis untuk kebutuhan sehari-hari? Bagaimana mungkin guru bisa menerapkan mindful learning jika otaknya terus terganggu oleh tagihan yang belum dibayar?

Perbandingan alokasi anggaran untuk berbagai program mengungkap pertanyaan fundamental tentang prioritas negara. Program Makan Bergizi Gratis dengan anggaran seratus dua puluh satu triliun rupiah menghasilkan ratusan siswa keracunan dalam tujuh bulan. Sementara itu, program pembangunan Ibu Kota Negara dengan proyeksi anggaran total empat ratus enam puluh enam triliun rupiah berjalan tanpa pertanyaan berarti.

Uang triliunan rupiah mengalir untuk membangun istana dan gedung pemerintahan baru, tapi ketika bicara soal gaji layak untuk guru, menteri keuangan malah bertanya apakah semuanya harus ditanggung negara. Ini bukan lagi soal keterbatasan anggaran, tapi soal prioritas politik yang keliru.

Partisipasi Masyarakat: Eufemisme untuk Lepas Tanggung Jawab

Ketika Sri Mulyani bertanya tentang partisipasi masyarakat dalam membiayai gaji guru, sebenarnya dia sedang mengajukan pertanyaan yang sudah terjawab oleh realitas. Masyarakat Indonesia sudah berpartisipasi berlebihan dalam pembiayaan pendidikan.

Orang tua siswa sekolah swasta membayar SPP ratusan ribu hingga jutaan rupiah per bulan. Industri les privat dan bimbingan belajar bernilai triliunan rupiah. Donasi alumni, CSR perusahaan, dan berbagai bentuk bantuan masyarakat lainnya sudah mengalir ke sekolah-sekolah. Bahkan para guru yang gajinya kecil akhirnya mencari tambahan penghasilan dengan mengajar les, yang berarti orang tua harus membayar lagi.

Jadi pertanyaan tentang partisipasi masyarakat sesungguhnya keliru. Yang belum berpartisipasi dengan benar adalah negara, yang meski sudah mengalokasikan anggaran besar, tapi tidak efektif dalam menjamin kesejahteraan guru sebagai tulang punggung sistem pendidikan.

Sebuah Investasi, Bukan Sekadar Charity

Guru dan dosen bukanlah charity case yang perlu dikasihani. Mereka adalah investasi terbaik untuk masa depan bangsa. Setiap rupiah yang diinvestasikan untuk kesejahteraan guru akan menghasilkan multiplier effect yang jauh lebih besar daripada program-program infrastruktur fisik yang glamor.

Bayangkan jika dokter harus membeli obat dengan uang pribadi untuk pasiennya, atau jika polisi harus membeli bensin sendiri untuk berpatroli. Absurd, bukan? Tapi untuk guru, realitas seperti ini dianggap normal, bahkan mulia.

Negara-negara maju memahami bahwa kualitas guru adalah faktor paling penting dalam menentukan kualitas pendidikan. Mereka berinvestasi besar-besaran untuk menarik talenta terbaik menjadi guru. Sementara Indonesia malah bertanya apakah negara harus menanggung semua beban gaji guru.

Dalam konteks rencana integrasi AI dan coding dalam kurikulum nasional, paradoks kesejahteraan guru menjadi semakin mencolok. Pemerintah bermimpi tentang pembelajaran digital yang canggih, tapi melupakan bahwa teknologi adalah sebuah alat yang efektivitasnya sangat bergantung pada kualitas penggunanya.

Guru yang hidupnya sejahtera akan memiliki mental bandwidth yang cukup untuk mempelajari teknologi baru dan berinovasi dalam metode pengajaran. Sebaliknya, guru yang terjebak dalam survival mode akan kesulitan mengadopsi teknologi kompleks karena energi mentalnya habis untuk memikirkan kebutuhan dasar keluarga.

Deep learning sebagai pendekatan pembelajaran memerlukan guru yang memiliki kapasitas untuk deep thinking. Bagaimana mungkin guru bisa berpikir mendalam tentang strategi pembelajaran jika otaknya terus terganggu oleh notifikasi tagihan yang belum dibayar?

Memilih Masa Depan yang Bermartabat

Dengan anggaran pendidikan tujuh ratus dua puluh empat triliun rupiah, Indonesia seharusnya mampu memberikan kesejahteraan yang layak bagi guru dan dosen. Yang dibutuhkan bukan tambahan uang dari masyarakat, tapi sebuah political will untuk memprioritaskan kesejahteraan guru di atas program-program prestisius yang efektivitasnya diragukan.

Konsep Deep Learning dan integrasi AI dalam pendidikan hanya akan menjadi jargon kosong jika tidak didukung oleh guru-guru yang sejahtera dan termotivasi. Teknologi terbaik sekalipun tidak akan efektif jika dioperasikan oleh guru yang terdistraksi oleh masalah ekonomi.

Romo Driyarkara mengajarkan kita bahwa manusia adalah sahabat bagi sesamanya. Dalam konteks pendidikan, ini berarti negara dan guru harus menjadi sahabat dalam membangun masa depan yang lebih baik. Bukan hubungan eksploitatif di mana satu pihak dikorbankan demi kepentingan yang lain.

Masa depan pendidikan Indonesia bergantung pada pilihan yang kita buat hari ini: apakah kita akan memilih guru yang sejahtera dan sistem pendidikan yang bermartabat, ataukah kita akan terus terjebak dalam lingkaran setan program prestisius dengan guru yang terpinggirkan.

Salam Cerdas dan Humanis.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama