Gizi memang fondasi penting bagi pertumbuhan fisik
dan intelektual anak. Mereka yang sehat cenderung lebih fokus belajar, jarang
sakit, dan memiliki stamina mengikuti kegiatan sekolah.
Namun, pertanyaan mendasar muncul: apakah
mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk MBG akan otomatis meningkatkan
mutu pendidikan kita?
Angka Fantastis
Skala anggaran MBG memang mengejutkan. Dalam APBN
2025, pemerintah dan DPR menyepakati alokasi Rp71 triliun untuk tahap awal.
Hingga Mei 2025, data Kementerian Keuangan mencatat realisasi baru sekitar Rp3
triliun, dengan penerima manfaat 3,98 juta anak. Artinya, masih ada tantangan
besar di lapangan—mulai pengadaan bahan, distribusi, hingga pengawasan mutu
makanan.
Lebih jauh, pemerintah menargetkan cakupan hingga 83
juta penerima dengan skenario biaya Rp140 triliun pada 2025. Bahkan, dalam
RAPBN 2026, Presiden mengumumkan lonjakan anggaran MBG menjadi Rp335 triliun,
atau sekitar 44 persen dari total fungsi pendidikan nasional tahun depan. Itu
berarti hampir separuh anggaran pendidikan diarahkan untuk program konsumsi
makanan, bukan untuk penguatan inti proses belajar.
Pertanyaannya: jika sebagian besar belanja
pendidikan tersedot ke MBG, bagaimana nasib kebutuhan mendesak lain, seperti
peningkatan kualitas guru, pemerataan sarana, dan akses teknologi pendidikan di
daerah terpencil?
Kunci Pendidikan
Maju
Pengalaman berbagai negara memberi pelajaran jelas:
pendidikan unggul ditopang oleh guru berkualitas dan ruang belajar layak, bukan
sekadar intervensi gizi.
Pertama, Finlandia menempatkan guru sebagai profesi
prestisius. Setiap guru wajib memiliki kualifikasi magister dengan seleksi
ketat berbasis riset. Guru dipandang setara dengan profesi dokter atau
pengacara. Hasilnya, meski tanpa ujian nasional berlapis atau program makan
gratis raksasa, Finlandia konsisten unggul dalam asesmen internasional.
Kedua, Singapura menata karier guru melalui tiga jalur:
teaching track, leadership track, dan specialist track. Promosi dan kenaikan
gaji berbasis kinerja, bukan masa kerja. Pelatihan profesional berkelanjutan
menjadi kewajiban sehingga guru selalu adaptif dengan perubahan zaman.
Ketiga, Jepang memang punya program makan sekolah kuat,
disebut kyūshoku. Namun, makan siang di sana bukan sekadar logistik memberi
makan, melainkan bagian dari kurikulum pendidikan gizi (shokuiku). Siswa
belajar tentang nutrisi, kebersihan, kerja sama, hingga etika. Dengan demikian,
gizi benar-benar terhubung ke proses belajar.
Keempat, Brasil punya pendekatan berbeda. Melalui Programa
Nacional de Alimentação Escolar (PNAE), sekolah diwajibkan membeli minimal 30
persen bahan pangan dari petani lokal. Anak mendapat gizi lebih baik, sementara
ekonomi desa bergerak. Anggaran tetap terkendali dan tidak menggerus belanja
pendidikan utama.
Benang merahnya jelas: program makan bergizi bisa
memberi manfaat, tetapi kunci keberhasilan pendidikan tetap terletak pada
kualitas guru dan pemerataan fasilitas belajar.
Risiko MBG yang
Terlalu Dominan
Jika porsi MBG terlalu besar, ada tiga risiko
serius. Pertama, anggaran inti pendidikan berkurang. Jika benar Rp335 triliun
dialokasikan untuk MBG di 2026, ruang fiskal untuk pelatihan guru, pembangunan
laboratorium, perpustakaan, atau penguatan literasi akan semakin sempit.
Padahal, kualitas pembelajaran lebih ditentukan oleh guru dan sarana, bukan
sekadar kenyang.
Kedua, fiskal jangka panjang terancam. Lonjakan dari
Rp71 triliun (2025) ke Rp335 triliun (2026) menimbulkan pertanyaan: dari mana dana
sebesar itu diperoleh? Realisasi program yang baru Rp3 triliun pada Mei 2025
menunjukkan birokrasi mungkin belum siap mengelola program sebesar ini. Tanpa
tata kelola ketat, risiko inefisiensi dan kebocoran anggaran sangat besar.
Ketiga, tanggung jawab keluarga dan masyarakat bisa
tergeser. Jika semua makan ditanggung negara, muncul ketergantungan. Ekosistem
kantin sekolah atau usaha makanan kecil di sekitar sekolah bisa mati. Anak pun
berpotensi kehilangan kesempatan belajar mandiri tentang pilihan makanan sehat
di rumah.
Dalam konteks ini, LIPI pernah mengingatkan bahwa
*“kualitas pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kualitas guru dan proses
belajar, bukan semata dari intervensi tambahan seperti bantuan makanan.”*
Pandangan ini menegaskan bahwa program makan bergizi seharusnya pelengkap,
bukan pengganti investasi fundamental pendidikan.
Reposisi
Anggaran
Bagaimana sebaiknya? Ada empat langkah reposisi.
Pertama, jadikan profesi guru prestisius. Indonesia perlu menargetkan standar
kualifikasi lebih tinggi, minimal magister untuk guru inti, dengan dukungan
beasiswa berbasis praktik. Jalur karier bertingkat seperti di Singapura akan
membuat guru lebih termotivasi.
Kedua, pemerataan sarana prasarana. Negara wajib
memastikan standar minimum: ruang kelas layak, sanitasi, listrik, internet, dan
laboratorium. Fokus pada daerah terpencil agar kesenjangan kualitas tidak makin
lebar.
Ketiga, desain ulang MBG agar mendukung
pembelajaran. Targetkan hanya keluarga paling rentan. Integrasikan makan siang ke
dalam kurikulum, seperti shokuiku di Jepang. Terapkan aturan 30 persen belanja
dari petani lokal seperti Brasil, agar program gizi sekaligus menggerakkan
ekonomi desa.
Keempat, evaluasi berbasis bukti. Uji dampak MBG
melalui studi ilmiah: apakah benar meningkatkan kehadiran, mengurangi anemia,
atau memperbaiki skor literasi? Tanpa evaluasi, program berisiko hanya menjadi
jargon politik yang mahal.
Penutup
Tidak ada yang menyangkal pentingnya gizi. Anak
Indonesia harus sehat dan bebas stunting. Tetapi, bangsa ini tidak akan maju
hanya karena anak-anaknya kenyang. Bangsa ini akan maju jika mereka dididik
oleh guru hebat, di ruang belajar layak, dengan sistem yang memberi kesempatan
tumbuh bagi semua.
Seperti ditegaskan LIPI, pendidikan berkualitas
hanya bisa lahir dari investasi jangka panjang pada guru, sarana, dan proses
belajar yang setara bagi semua anak.
Karena itu, MBG perlu ditempatkan secara tepat: bukan
pusat anggaran pendidikan, melainkan program pendukung yang terintegrasi dengan
pembelajaran. Pada akhirnya, bukan nasi kotak yang akan melahirkan generasi
emas Indonesia, melainkan guru berkualitas dan ruang kelas yang hidup. (*)