Dari obrolan di grup WhatsApp, status panjang di
Facebook, sampai perdebatan serius di televisi, isu ini bergerak menjadi
berbagai bentuk narasi. Guru pun akhirnya tidak lagi dipandang sebagai sosok
yang setiap hari berdiri di depan kelas, lama kelamaan akhirnya mereka telanjur
terbiasa dipakai oleh siapa pun untuk menyuarakan kepentingannya. Sayangnya, di
tengah keramaian itu, guru sebagai “manusia” itu sendiri sering tenggelam,
tertimpa opini orang lain yang lebih keras dan cepat viral di ruang maya.
Lantaran viralnya isu ini, kemudian saya teringat
masa-masa ketika saya menjadi murid. Saya masih bisa membayangkan hari-hari
saat saya belajar membaca. Di ruang kelas yang dindingnya penuh coretan kapur,
guru saya dengan sabar menuntun kami mengeja huruf satu per satu. Dari huruf
“a” sampai “z”, dari suara terbata-bata sampai akhirnya bisa merangkai kata.
Sering kali ia mengulang-ulang pelajaran karena kami
masih keliru. Ia tidak pernah marah, meski suaranya parau dan kapur di
tangannya sudah habis. Dari proses itu, jalan hidup saya terbuka, saya mulai
mengenal buku, menulis, dan saat ini berjuang untuk memahami dunia yang lebih
luas.
Cerita serupa mungkin juga dialami jutaan orang
lain. Ada guru yang setiap pagi menempuh perjalanan panjang dengan sepeda tua,
melawan hujan dan terik matahari. Ada yang tinggal di rumah, jauh dari
keluarga, karena ditugaskan di daerah terpencil. Ada pula yang harus mencari
nafkah tambahan selepas mengajar, sekadar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Meski begitu, mereka tetap berdiri di depan kelas dengan senyum, membuang semua
beban mereka, dan menceritakan kepada kami tentang bagaimana seharusnya menjadi
manusia.
Pengorbanan itu, dewasa ini sepertinya agak luput
dari perhatian kita semua. Prestasi guru bergeser kepada pengukuran
metrik-metrik dan standarisasi. Kinerja guru dihitung per-target dan
per-keluaran yang terstandarisasi. Beban administrasi dan tanggungan-tanggungan
serupa lain yang dijadikan dasar untuk memberi mereka gaji tampaknya sudah mengalihkan
perhatian kita dari hal-hal yang bersifat substansi.
Alhasil, kita dewasa ini terlalu sibuk
memperdebatkan angka anggaran dan gaji, dan akhirnya mengabaikan kenyataan
bahwa guru mengorbankan begitu banyak hal. Waktu bersama keluarga, kesempatan mencari
penghasilan lebih besar, bahkan kenyamanan hidup yang mestinya wajar, semua
dipertaruhkan demi memastikan anak-anak bangsa tetap belajar.
Saya sendiri sebagai salah satu guru di perguruan
tinggi mengakui bahwa saya tidaklah sempurna dan masih berproses. Saya berulang
kali masih mencoba menyesuaikan diri dengan perangkat pembelajaran yang begitu
detail dan jelimet. Saya juga kadang kewalahan ketika dituntut mengajarkan
keterampilan yang jauh lebih tinggi dari kemampuan yang saya kuasai, sehingga
saya masih harus mencari materi ke sana kemari, ikut pelatihan ke sana kemari.
Saya juga melihat ada guru yang tampaknya mulai
menyerah dengan kurikulum dan standar administrasi yang bergonta-ganti. Namun,
di saat yang sama ada guru yang masih terus berusaha agar muridnya bisa membaca
lancar, bisa mengenal apa itu etika, meski tidak semua target kurikulum
tercapai. Wajah-wajah seperti inilah yang saat ini dapat Anda lihat setiap hari
di ruang kelas.
Mereka tentu saja tidak selalu sempurna. Ada
keterbatasan, ada kelemahan, ada rasa lelah yang kadang tampak. Tetapi mereka
tetap masuk kelas, tetap menuliskan huruf di papan, tetap memandu murid
mengeja, tetap berusaha memberi arah. Banyak juga bahkan siswa sendiri yang
menganggap ucapan atau materi-materi yang mereka ajarkan sudah ketinggalan
zaman. Banyak kritik tajam secara tidak langsung menganggap bahwa mereka perlu
di-upgrade, perlu diberi pelatihan metode pembelajaran yang saat ini saya
sendiri sulit menghafalkan.
Akan tetapi, di tengah opini tersebut, baik yang
positif maupun negatif, yang menjadikan guru sebagai objek di ruang maya. Lubuk
hati terdalam saya masih sangat percaya bahwa sedikit atau banyak, sederhana
atau rumit, apa yang mereka ajarkan adalah kebenaran. Apa yang mereka ucapkan
kepada penerus bangsa ini masih merupakan kebenaran.
Justru di situlah letak pertanyaan yang mestinya
kita renungkan bersama, apakah sosok yang rela mengorbankan waktu, tenaga,
bahkan kenyamanannya demi memastikan anak-anak bangsa tetap belajar, layak
dipandang dan diisukan sebagai “beban negara?” Ataukah sebutan itu lahir dari
cara pandang salah kaprah kita, yang telanjur lebih sibuk menghitung angka
daripada menimbang nilai dan substansi?
Di balik segala keterbatasan itu, kami para guru
tetap berusaha berdiri tegak, meski sadar betul masih banyak kelemahan, masih
ada kekurangan, dan masih sering kewalahan dengan tumpukan administrasi atau
tuntutan standar yang terus berganti. Kami berharap negara tidak berhenti
memberi ruang untuk pelatihan, bimbingan, dan dukungan agar kami bisa terus
belajar sekaligus mengajar dengan lebih baik.
Namun, meski tanpa semua itu, kami tetap yakin bahwa
setiap kata yang kami ucapkan di ruang kelas, setiap huruf yang kami tuliskan
di papan, dan setiap nilai yang kami wariskan kepada murid-murid adalah
kebenaran yang lahir dari niat tulus untuk mendidik. Keterbatasan kami semoga
tidak menghapus keyakinan itu, dan semoga keyakinan inilah yang menjadi alasan
bagi bangsa ini untuk melihat kami bukan sebagai “beban negara”, melainkan
sebagai bagian dari kekuatan yang terus menjaga agar kebenaran tidak padam.