banner Menjadi Guru yang Bukan “Beban Negara” (Catatan Pinggir Dunia Pendidikan)

Menjadi Guru yang Bukan “Beban Negara” (Catatan Pinggir Dunia Pendidikan)



Suara Numbei News - Di tengah isu hoaks yang kadung viral tentang sebutan "guru beban negara", memicu percakapan publik bergulir ke banyak arah, dari kemarahan hingga kesempatan. Potongan video yang telanjur beredar ini membuat orang bereaksi dengan cara berbeda, ada yang merasa tersinggung karena profesi guru dianggap diremehkan, ada yang langsung meluapkan amarah dengan menuntut klarifikasi, bahkan ada yang mencoba memanfaatkannya untuk menguatkan argumen politik atau kepentingan kelompok tertentu.

Dari obrolan di grup WhatsApp, status panjang di Facebook, sampai perdebatan serius di televisi, isu ini bergerak menjadi berbagai bentuk narasi. Guru pun akhirnya tidak lagi dipandang sebagai sosok yang setiap hari berdiri di depan kelas, lama kelamaan akhirnya mereka telanjur terbiasa dipakai oleh siapa pun untuk menyuarakan kepentingannya. Sayangnya, di tengah keramaian itu, guru sebagai “manusia” itu sendiri sering tenggelam, tertimpa opini orang lain yang lebih keras dan cepat viral di ruang maya.

Lantaran viralnya isu ini, kemudian saya teringat masa-masa ketika saya menjadi murid. Saya masih bisa membayangkan hari-hari saat saya belajar membaca. Di ruang kelas yang dindingnya penuh coretan kapur, guru saya dengan sabar menuntun kami mengeja huruf satu per satu. Dari huruf “a” sampai “z”, dari suara terbata-bata sampai akhirnya bisa merangkai kata.

Sering kali ia mengulang-ulang pelajaran karena kami masih keliru. Ia tidak pernah marah, meski suaranya parau dan kapur di tangannya sudah habis. Dari proses itu, jalan hidup saya terbuka, saya mulai mengenal buku, menulis, dan saat ini berjuang untuk memahami dunia yang lebih luas.

Cerita serupa mungkin juga dialami jutaan orang lain. Ada guru yang setiap pagi menempuh perjalanan panjang dengan sepeda tua, melawan hujan dan terik matahari. Ada yang tinggal di rumah, jauh dari keluarga, karena ditugaskan di daerah terpencil. Ada pula yang harus mencari nafkah tambahan selepas mengajar, sekadar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meski begitu, mereka tetap berdiri di depan kelas dengan senyum, membuang semua beban mereka, dan menceritakan kepada kami tentang bagaimana seharusnya menjadi manusia.

Pengorbanan itu, dewasa ini sepertinya agak luput dari perhatian kita semua. Prestasi guru bergeser kepada pengukuran metrik-metrik dan standarisasi. Kinerja guru dihitung per-target dan per-keluaran yang terstandarisasi. Beban administrasi dan tanggungan-tanggungan serupa lain yang dijadikan dasar untuk memberi mereka gaji tampaknya sudah mengalihkan perhatian kita dari hal-hal yang bersifat substansi.

Alhasil, kita dewasa ini terlalu sibuk memperdebatkan angka anggaran dan gaji, dan akhirnya mengabaikan kenyataan bahwa guru mengorbankan begitu banyak hal. Waktu bersama keluarga, kesempatan mencari penghasilan lebih besar, bahkan kenyamanan hidup yang mestinya wajar, semua dipertaruhkan demi memastikan anak-anak bangsa tetap belajar.

Saya sendiri sebagai salah satu guru di perguruan tinggi mengakui bahwa saya tidaklah sempurna dan masih berproses. Saya berulang kali masih mencoba menyesuaikan diri dengan perangkat pembelajaran yang begitu detail dan jelimet. Saya juga kadang kewalahan ketika dituntut mengajarkan keterampilan yang jauh lebih tinggi dari kemampuan yang saya kuasai, sehingga saya masih harus mencari materi ke sana kemari, ikut pelatihan ke sana kemari.

Saya juga melihat ada guru yang tampaknya mulai menyerah dengan kurikulum dan standar administrasi yang bergonta-ganti. Namun, di saat yang sama ada guru yang masih terus berusaha agar muridnya bisa membaca lancar, bisa mengenal apa itu etika, meski tidak semua target kurikulum tercapai. Wajah-wajah seperti inilah yang saat ini dapat Anda lihat setiap hari di ruang kelas.

Mereka tentu saja tidak selalu sempurna. Ada keterbatasan, ada kelemahan, ada rasa lelah yang kadang tampak. Tetapi mereka tetap masuk kelas, tetap menuliskan huruf di papan, tetap memandu murid mengeja, tetap berusaha memberi arah. Banyak juga bahkan siswa sendiri yang menganggap ucapan atau materi-materi yang mereka ajarkan sudah ketinggalan zaman. Banyak kritik tajam secara tidak langsung menganggap bahwa mereka perlu di-upgrade, perlu diberi pelatihan metode pembelajaran yang saat ini saya sendiri sulit menghafalkan.

Akan tetapi, di tengah opini tersebut, baik yang positif maupun negatif, yang menjadikan guru sebagai objek di ruang maya. Lubuk hati terdalam saya masih sangat percaya bahwa sedikit atau banyak, sederhana atau rumit, apa yang mereka ajarkan adalah kebenaran. Apa yang mereka ucapkan kepada penerus bangsa ini masih merupakan kebenaran.

Justru di situlah letak pertanyaan yang mestinya kita renungkan bersama, apakah sosok yang rela mengorbankan waktu, tenaga, bahkan kenyamanannya demi memastikan anak-anak bangsa tetap belajar, layak dipandang dan diisukan sebagai “beban negara?” Ataukah sebutan itu lahir dari cara pandang salah kaprah kita, yang telanjur lebih sibuk menghitung angka daripada menimbang nilai dan substansi?

Di balik segala keterbatasan itu, kami para guru tetap berusaha berdiri tegak, meski sadar betul masih banyak kelemahan, masih ada kekurangan, dan masih sering kewalahan dengan tumpukan administrasi atau tuntutan standar yang terus berganti. Kami berharap negara tidak berhenti memberi ruang untuk pelatihan, bimbingan, dan dukungan agar kami bisa terus belajar sekaligus mengajar dengan lebih baik.

Namun, meski tanpa semua itu, kami tetap yakin bahwa setiap kata yang kami ucapkan di ruang kelas, setiap huruf yang kami tuliskan di papan, dan setiap nilai yang kami wariskan kepada murid-murid adalah kebenaran yang lahir dari niat tulus untuk mendidik. Keterbatasan kami semoga tidak menghapus keyakinan itu, dan semoga keyakinan inilah yang menjadi alasan bagi bangsa ini untuk melihat kami bukan sebagai “beban negara”, melainkan sebagai bagian dari kekuatan yang terus menjaga agar kebenaran tidak padam.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama