Adalah JT, Kepala Dusun I Desa Nano, Kecamatan
Boking, yang dilaporkan ke Polsek Boking karena diduga melakukan percobaan
pencabulan terhadap seorang anak perempuan berinisial GK (14) pada Rabu, 23
Oktober 2024.
Kasus ini telah resmi masuk laporan polisi dengan
Nomor Polisi: LP/B/14/X/2024/Polsek Boking/Polres TTS/Polda NTT, tertanggal 24
Oktober 2024.
Berdasarkan keterangan korban, peristiwa itu terjadi
di rumahnya sendiri. Pelaku awalnya datang dengan alasan membeli rokok. Namun,
niat yang dibungkus kepercayaan warga justru berubah menjadi ancaman.
“Dia datang beli rokok tapi tidak ada rokok.
Tiba-tiba dia peluk saya dan bilang ‘kita main ko’. Saya tolak lalu keluar
rumah minta tolong. Dia sempat bilang lagi ke saya ‘apakah sudah lupa waktu itu
urusan di Polsek Boking’,” tutur GK.
Kisah GK menyayat hati, bagaimana seorang anak
remaja harus berhadapan dengan pengalaman traumatis dari seorang figur publik
yang seharusnya melindungi.
Orang tua korban, Gotlif Kase, mengaku pihak
keluarga pernah dimediasi di Polsek Boking. Dalam pertemuan itu, pelaku
mengakui perbuatannya dan sepakat berdamai dengan syarat membayar ganti rugi
sebesar Rp30 juta serta mengundurkan diri dari jabatan perangkat desa.
Kesepakatan itu tertuang dalam pernyataan damai pada 5 Februari 2025.
Namun kenyataan berkata lain. Hingga kini, Jitro
Tefi masih aktif bekerja di kantor desa. Janji yang pernah diucapkan hanya
tinggal di atas kertas.
“Sejak mediasi itu, dia memang sudah buat pernyataan
untuk berhenti sebagai perangkat desa. Tapi kenyataannya sampai sekarang masih
aktif di kantor desa. Kalau memang serius, kenapa tidak langsung buat surat
pengunduran diri?” tegas Gotlif dengan nada kecewa.
Saat ditemui di kediamannya, Minggu malam
(17/8/2025), Jitro Tefi akhirnya mengakui perbuatannya. Ia menyatakan bersalah
dan berjanji akan segera mengundurkan diri.
“Betul pak, saya sudah melakukan itu dan saya salah.
Saya ambil keputusan berhenti dari perangkat desa karena tidak ada pilihan
lain. Segera saya akan buat surat pengunduran diri,” ucapnya.
Kasus ini tidak hanya mengguncang hati keluarga
korban, tetapi juga mencoreng nama baik desa dan menorehkan luka bagi
masyarakat.
Seorang anak kecil kini memikul trauma, sementara
sosok yang seharusnya melindungi justru mengingkari janji pertanggungjawaban.
Keluarga korban berharap hukum tetap berjalan, janji
ditepati, dan keadilan hadir tanpa kompromi.
“Kami hanya minta keadilan, agar anak kami bisa
kembali sekolah dengan tenang, tanpa dihantui bayangan pelaku,” pinta Gotlif.
Kasus ini menjadi cermin betapa pentingnya ketegasan
aparat hukum dan konsistensi pemerintah desa dalam menegakkan keadilan, agar
anak-anak tidak lagi menjadi korban dari mereka yang menyalahgunakan kuasa dan
kepercayaan.*** korantimor.com